'Aku yakin hati kamu masih selembut sutra dan tidak akan pernah bisa sekeras baja.' —Sandi Ananda—
***
Listya memberengut kesal ketika ibunya mengajak Sandi agar pria itu ikut dengan mereka memasuki apartemennya. Ia ingin menjelaskan semuanya kalau yang dikatakan Sandi itu bohong, tetapi mamanya sepertinya tidak memberikan kesempatan untuk ia berbicara. Mamanya sibuk berceloteh dengan Sandi, mengatakan tak menyangka kalau ia bisa memiliki pacar setampan Sandi. Mendengar itu Listya sangat muak sekali, andai ia tadi tidak pulang bersama Sandi pasti semua ini tidak akan terjadi. Kesalahpahaman yang mengesalkan ini benar-benar menyiksa hatinya dan semua ini karena ulah pria bréngsek yang dengan lancangnya mengaku sebagai kekasihnya.
Ternyata hal yang ia lupakan adalah mamanya sendiri, ia lupa kalau tepat siang hari ini mamanya akan berkunjung ke apartemennya. Mengapa ia bisa melupakan hal sepenting ini? Dan lebih parahnya lagi kini mamanya jadi salah paham. Mengira kalau Sandi adalah kekasihnya, wajah mamanya begitu berseri-seri ketika mengajak Sandi berbicara. Mungkin yang ada di dalam hati Mama Lira saat ini adalah ia begitu gembira karena sebentar lagi putri kesayangannya itu akan melepas masa lajang. Listya berdecih, ia tidak akan sudi menerima Sandi kembali. Ia akan membuat perhitungan pada pria itu karena sudah membuat Mama Lira salah paham akan hubungannya yang sebenarnya dengan Sandi.
"Tya, kamu kok dari tadi diam aja? Enggak nawarin kekasih kamu minum?" tegur Mama Lira ketika Listya hanya diam saja. Mereka kini duduk di sofa ruang tamu dalam apartemen Listya, Listya duduk di samping mamanya sedangkan Sandi duduk bersebrangan dengan mereka, tepatnya berada di hadapan Listya.
"Dia tadi niatnya enggak akan mampir, soalnya ada pekerjaan penting. Gara-gara Mama maksa dia ke sini makanya dia jadinya telat ini, Ma." Mama Lira mendelik ketika mendengar kata-kata ketus dari putrinya.
"Tya, enggak baik begitu, Nak. Kalian lagi marahan, ya?" tanya Mama Lira memperhatikan Listya dan Sandi bergantian.
Listya menatap Sandi datar, Sandi yang ditatap seperti itu hanya bisa menggaruk belakang kepalanya. Ia sudah yakin kalau Listya pasti akan memarahinya karena sudah berani lancang menyebutkan diri bahwa ia adalah kekasihnya. Hal ini dilakukan Sandi agar Listya tak bisa lepas lagi darinya, apalagi kini Mama Lira terlihat menyukainya. Itu berarti ada banyak kesempatan untuk Sandi kembali mendekati Listya, anaknya masih dingin, maka tidak ada salahnya ia mendekati keluarganya sekaligus meminta restu.
"Eum, sebenarnya sedikit sih, Tan. Tya ngambek soalnya saya hari ini ada kerjaan, padahal kami udah janjian mau menghabiskan waktu bersama." Tya menahan emosinya ketika mendengar kata-kata penuh karangan dari Sandi, selain menjadi direktur sepertinya Sandi juga cocok menjadi seorang pengarang yang handal.
"Oh ternyata begitu, harusnya kamu maklumi Sandi, Nak. Dia pasti sedang sibuk-sibuknya," ujar Mama Lira yang membela Sandi dan hal itu membuat Listya merasa kalau ia bukanlah anak mamanya.
"Oh iya, Nak. Kamu ini kerjanya apa kalau boleh tahu?" tanya Mama Lira dengan raut wajah penasaran. Ini caranya menyeleksi calon suami putrinya apakah layak atau tidak untuk sang putri kesayangan.
"Saya jadi direktur di perusahaan keluarga, Tan, dan kebetulan Tya ini sekretaris saya," jawab Sandi membuat Mama Lira terperangah.
"Tya, kamu kok enggak bilang sama Mama kalau kamu pacaran sama bos kamu sendiri?" tanya Mama Lira menatap Listya tajam karena putrinya sudah menyembunyikan bibit unggul seperti ini.
"Ma, kami ini sebenarnya cuma atasan dan bawahan. Sama sekali enggak pacaran, Mama salah paham. Dia cuma bercanda aja kok, ya, kan, Pak?" Listya yang mulai lelah dengan keadaan yang memojokkannya pun akhirnya berkata yang sebenarnya, ia meminta persetujuan dari Sandi.
"Aih, Mama tahu kalau kamu pasti bohong. Dia ini beneran pacar kamu, kamu bilang gini karena lagi kesel sama dia 'kan? Enggak boleh gitu sayangnya Mama." Sandi tersenyum penuh kemenangan karena Mama Lira membelanya, sepertinya restu sudah di depan mata. Tinggal mencoba membuat Listya kembali padanya saja.
"Pantas aja kamu nolak kencan buta yang Mama atur, ternyata kamu udah punya pacar yang sangat potensial," sambung Mama Lira membuat Sandi melotot. Jadi Mama Lira berniat mengadakan kencan buta untuk Listya? Untung saja ia datang di waktu yang tepat.
"Ma ...."
"Kalau begitu saya permisi dulu, ya, Tante. Sepertinya Tante masih ingin menghabiskan waktu bersama Tya, saya juga ada pekerjaan di luar." Sandi memilih pamit karena setelah ini ia memang ada pekerjaan mendesak yang tidak dapat ia tinggalkan, padahal sebenarnya ia ingin sekali tetap berada di sini. Mengobrol dengan Mama Lira yang begitu ramah dan menerimanya dengan baik.
"Oh, hati-hati kalau gitu, ya, Nak. Nanti jangan lupa telepon Tya, dia suka ngambek itu kalau enggak ditelepon," ucap Mama Lira membuat Sandi tertawa sedangkan Listya mendelik kesal. Mamanya benar-benar, tidak tahukah kalau sebenarnya ia tidak ingin dekat-dekat dengan Sandi? Andai tadi supir taksi tidak sedang mogok naksi, pasti hal ini tidak akan terjadi.
"Iya, Tante. Kalau gitu saya permisi dulu, aku pulang dulu, ya?" Setelah berpamitan dengan Mama Lira dan Listya, Sandi akhirnya keluar dari apartemen sang pujaan hati.
"Tya, sini Mama mau ngomong." Setelah mengantar kepergian Sandi, Mama Lira langsung duduk mendekati Listya yang masih memberengut kesal.
"Apaan sih, Ma? Ngomong-ngomong aja, jangan terlalu dekat gini." Kesal karena sikap mamanya pada Sandi tadi, Listya berujar ketus.
"Kamu kok ketus gitu sama Mama? Harusnya yang marah itu Mama karena kamu menyembunyikan pacar kamu itu," ujar Mama Lira.
"Tya udah bilang kalau dia itu cuma atasan Tya, Ma. Enggak lebih dari itu," ucap Tya. Harus berapa kali ia berkata jujur?
"Ah, Mama enggak percaya. Kamu pasti bohong, udah jelas-jelas kalau dia itu pacar kamu. Kamu sengaja 'kan bohongin Mama? Biar abis ini Mama enggak desak kamu buat cepat nikah. Mama itu udah paham sifat kamu, Tya." Kalau Mama paham, kenapa Mama bisa salah sangka gini? Sebenarnya yang anaknya Mama Lira itu dia atau Sandi sih? Mengapa mamanya lebih percaya dengan omongan si bréngsek itu?
"Terserah Mama aja mau percaya atau enggak, yang penting Tya udah bicara jujur." Listya berucap malas, wanita itu berjalan menuju dapur. Mama Lira mengekori langkah putrinya karena ia pikir kalau pembicaraan mereka ini belum selesai.
Listya menuangkan air putih ke dalam gelas kemudian meminumnya. Tak ia pedulikan mamanya yang ternyata mengikuti langkahnya, terserah saja mamanya mau berkata apa. Yang terpenting ia tidak ada hubungan sama sekali dengan pria bréngsek itu selain urusan pekerjaan antara atasan dan bawahan.
"Udah berapa lama kalian pacaran? Kalau udah lama lebih baik kamu minta dia segera lamar kamu aja," ucap Mama Lira.
"Uhkk ... Mama!" teriak Listya kesal karena perkataan mamanya ia jadi tersedak air yang ia minum.
"Emang ada yang salah sama omongan Mama? Mama 'kan mau agar kalian bisa segera menikah, biar enggak kebanyakan dosa kalian. Mama tahu banget pergaulan anak muda zaman sekarang," cerocos Mama Lira tanpa memedulikan Listya yang kesal.
"Dia seorang duda, Ma," ujar Listya.
"Sandi duda?" tanya Mama Lira tak percaya.
"Iya."
"Kok bisa? Perasaan umurnya masih muda gitu. Eh anak dia ada berapa? Bagus dong kalau duda, nanti Mama punya cucu langsung dari dia." Astaga! Listya pikir setelah mengatakan status Sandi, mamanya bisa tidak menyukai pria itu. Nyatanya tanggapan mamanya sangat diluar dugaannya.
"Dia duda tanpa anak, Mama enggak masalah kalau dia duda? Kok aneh sih?" tanya Listya merasa heran.
"Oh, enggak apa-apa. Nanti juga dia punya anak dari kamu, ya status duda itu enggak jadi masalah. Toh dia single, kecuali kalau status dia suami orang. Itu baru Mama marah-marah sama kamu karena kamu udah jadi pelakor," ujar mamanya santai tanpa beban.
"Mama kok ngebet banget pingin Tya nikah? Kenapa enggak Mama aja yang nikah lagi kalau gitu." Dan perkataan Listya dihadiahi cubitan sayang dari mamanya.
"Ini anak perawan satu sembarangan, ya, kalau ngomong."
"A-aduh, s-sakit, Ma." Listya mengusap bekas cubitan mamanya.
"Makanya, kamu kok jadi anak masih nakal aja. Sembarangan kalau ngomong, enggak malu kalau sampai didengar Sandi? Untung aja dia tadi udah pulang, kalau enggak? Mau ditaruh di mana muka Mama ini. Punya anak satu kok enggak sopan gini." Listya cemberut, bodo amat dengan Sandi, ia tidak peduli.
"Dia bukan siapa-siapa Tya, Ma. Toh untuk apa Tya harus jaga sikap." Mama Lira mendelik membuat Listya langsung diam.
"Eh tapi, kok Sandi mau-mau aja ya sama kamu? Kamu ini 'kan banyak kekurangannya. Sandi itu ganteng, mapan, pintar, sopan dan baik. Atau jangan-jangan kamu, ya, yang nembak dia duluan?" Mama Lira menuduh Listya.
"Astaga, Mama! Tya enggak gitu!" teriak Listya frustasi dengan sikap mamanya.
"Iya, Mama tahu kok. Biasa aja nanggepinnya."
Bagaimana ia mau bersikap biasa saja menghadapi mamanya yang terlalu ini? Berbicara seenaknya tanpa tahu hal yang sebenarnya. Ini semua gara-gara pria bréngsek itu! Pokoknya setelah ini ia akan memaki Sandi habis-habisan. Tidak ada ampun bagi pria yang sudah mengacaukan hidupnya lagi setelah menyakiti.
"Mama kenapa jadi ke sini? Katanya ada urusan dan datang ke sininya bakalan telat, kok bisa cepat datangnya?" tanya Listya membuat mata Mama Lira memicing.
"Kenapa emangnya kalo Mama datangnya cepat? Hmm, Mama tahu ini. Kamu pasti mau nyembunyiin pacar kamu yang ganteng itu 'kan. Untung aja pas Sandi nganterin kamu, Mama udah datang. Jadinya Mama bisa kenalan sama pacarmu yang ganteng dan mapan itu."
"Udah Tya bilang kalau dia itu bukan pacar Tya, Ma. Mama kok enggak percaya gitu sih?" tanya Listya frustasi.
"Mama mau percaya sama kamu kalau Sandi yang bilang kalau dia bukan pacar kamu, udah jelas-jelas tadi dia ngenalin diri sebagai pacar kamu kok." Ini semua salah Sandi! Ia akan memaksa pria bréngsek itu agar pria itu mau mengklarifikasi apa yang diucapkannya pada sang mama sehingga membuat sang mama salah paham.
"Eh? Kamu mau ke mana?" tanya Mama Lira ketika Listya akan pergi.
"Keluar, Tya mau cari makan, Ma. Tya belum makan, laper," ujar Tya.
"Loh? Emangnya tadi kamu sama Sandi enggak makan siang dulu?'
"Duh, Mama! Tya sama dia enggak ada hubungan apa-apa. Tya nebeng sama dia karena para sopir taksi lagi mogok naksi, mobil Tya sendiri lagi ada di bengkel. Makanya Tya bisa pulang bareng sama dia dan enggak tahu kenapa dia malah ngenalin diri sebagai pacar Tya ke Mama," jelas Tya.
"Ooh, Mama enggak mau percaya penjelasan kamu yang enggak masuk akal itu."
"Ya udah kalo gitu, Tya ke bawah dulu mau cari makan. Mama tunggu di sini aja," ujar Listya kemudian pergi ke luar apartemennya tak lupa membawa dompet dan juga ponselnya.
Di koridor apartemen, Listya mengambil ponselnya untuk menghubungi Sandi. Tak perlu menunggu waktu lama untuk Sandi mengangkat panggilan darinya.
"Bapak, saya minta ke Bapak secepatnya untuk klarifikasi hubungan kita yang sebenarnya ke mama. Saya enggak mau beliau salah paham," ujar Listya tanpa menunggu sapaan dari Sandi terlebih dulu.
"Kenapa enggak kamu aja yang coba jelasin? Kenapa harus aku?" tanya Sandi pura-pura tak tahu apa yang sedang menjadi masalah Listya.
"Bapak jangan pura-pura enggak tahu, saya yakin Bapak tahu apa maksud saya. Saya mohon pada Bapak tolong kasih tahu ke Mama, dia hanya percaya apa yang Bapak katakan. Dan tidak mau percaya penjelasan saya yang sebenarnya."
"Loh? Memang apa yang aku ucapkan itu salah, Tya? Dulu di waktu kamu memutuskanku, aku tidak setuju 'kan? Itu berarti status kita saat ini masih menjadi sepasang kekasih. Benar begitu?" Listya menggeram kesal mendengar perkataan Sandi, wanita itu menghela napas dalam berusaha menyabarkan hatinya.
"Aku juga yakin kalau hati kamu masih selembut dulu, Tya, tidak akan pernah berubah menjadi sekeras baja. Aku yakin kamu masih Tya yang dulu aku kenal, tinggal aku yang berusaha untuk meyakinkanmu lagi." Listya tertegun mendengar perkataan lirih, tetapi sarat akan makna itu. Ia langsung menggelengkan kepalanya.
"Sampai kapanpun saya tidak akan tertipu lagi dengan rayuan Bapak!" TUT.
Penuh emosi, Listya langsung mematikan sambungan telepon.
***
Kira-kira apa yang kalian lakukan jika jadi Listya? Memberi kesempatan kedua? Ataukah terus mencoba mengeraskan hatinya dan tak akan pernah memberikan Sandi kesempatan untuk masuk?