8. Lancang

1887 Words
Sudah satu mingguan Listya menahan dirinya untuk tidak mengungkit masalah pribadi saat di kantor, walaupun keinginan hatinya agar ia bisa lari dari sini begitu besar. Listya tidak menyalahkan Relix yang membuatnya bisa bekerja di sini, mungkin saja Relix tidak tahu kalau terjadi masalah yang pelik antara ia dan Sandi. Listya berusaha memahami itu untuk tidak menyalahkan sang mantan atasan yang sudah bersusah payah membuatnya bisa berpangkat lebih tinggi dengan gaji yang bisa dibilang fantastis. Sebisa mungkin Listya menghindari percakapan berbau pribadi ketika Sandi akan memulai berbicara, Listya benar-benar menguatkan hatinya untuk tidak terbawa perasaan lagi akan sikap Sandi kali ini. Bisa jadi pria itu masih penasaran dengannya dan masih diliputi rasa bersalah sehingga terus saja mencercanya agar ia mau mendengarkannya ketika pria itu membahas hal pribadi di luar tentang pekerjaan kantor. Sandi juga sepertinya sengaja membuatnya berlama-lama di kantornya seperti memberikannya pekerjaan tambahan yang membuatnya harus lembur bersama pria itu. Karena jika sudah saatnya jam pulang, Listya sama sekali menghindari percakapan bersama Sandi. Sebisa mungkin wanita itu menghindar, ketika Sandi berusaha memanggilnya maka ia akan mengabaikannya dan lebih memilih mempercepat langkahnya sampai Sandi tak bisa menyusupnya lagi. Begitu terus hal yang terjadi satu minggu ini, entah sampai kapan keseharian seperti ini harus ia jalani. "Hah!? Lo serius, Tya!?" Dan ketika ia menceritakan semuanya pada salah satu sahabatnya semasa ia SMA hingga pindah kuliah di luar negeri, begitulah tanggapannya. Wanita di hadapannya seakan tak percaya dengan apa yang Listya ceritakan. "Iya gue serius," balas Listya lemas. "Gíla! Gue enggak nyangka lo bisa sekantor sama bajíngan itu, Ty. Apa perlu gue hajar dia buat lo?" tawar wanita bernama Ine yang merupakan salah satu sahabatnya. Listya memiliki tiga orang sahabat yang bernama Claudya, Ine dan Lani. Hari ini ia dan Ine tengah berada di caffe langganan mereka dulu ketika masih SMA, ingin bernostalgia sekaligus berbagi cerita. Kebetulan sekali hari ini ia libur, jadi ada kesempatan menghabiskan waktu bersama salah satu sahabatnya yang sudah lumayan jarang mereka bertemu karena kesibukan masing-masing. Claudya dan Lani tidak bisa datang, Lani yang sibuk dengan pekerjaannya sedangkan Claudya yang tengah hamil besar anak keduanya membuatnya dilarang oleh suaminya pergi. Ine dan Claudya sudah hidup bahagia bersama dengan suami serta anak mereka, keduanya menikah setelah lulus kuliah. Berbeda dengan Listya dan Lani yang belum ingin menikah, Listya yang masih trauma akan masa lalu sedangkan Lani yang masih ingin fokus mengembangkan usahanya di bidang makanan. Yang paling bar-bar dan pemberontak diantara keempatnya adalah Ine, Ine tidak akan segan-segan menghajar siapapun yang sudah mengganggu sahabatnya. Pernah satu kali Ine menghajar mantan pacar Lani yang bréngsek sehingga pria itu tak lagi mengganggu Lani karena takut serta malu setelah harga dirinya sebagai seorang pria diinjak-injak oleh kelakuan Ine. Herannya, meskipun bar-bar begitu, ada pria yang diam-diam kagum dan mencintai Ine sehingga akhirnya gadis bar-bar itu menikah dengan seseorang yang menjadi pengagum rahasianya. "Jangan, Ne. Gue enggak mau cari masalah, selama sama dia gue cuma bersikap formal tanpa membahas urusan pribadi. Ya walaupun dia kadang-kadang suka nyeletuk masalah pribadi, tapi enggak pernah gue tanggapin." Listya tidak mau Ine mengotori tangannya dengan memukul sang atasan, ia juga tidak mau cari masalah dengan Sandi. Karena ia yakin setiap apa yang ia perbuat pasti akan dimanfaatkan oleh pria itu untuk mengambil sebuah keuntungan darinya dan Listya benci mengetahuinya fakta kalau ia sangat mengenal Sandi dengan baik. "Lo kasih tahu gue aja kalau dia bertingkah bréngsek sama lo, Ty," ucap Ine kemudian menyesap es cappucino-nya untuk sedikit mendinginkan kepalanya setelah mendengar cerita dari Listya. "Iya tenang aja, gue pasti bisa jaga diri gue dengan baik kok. Kan lo udah ngajarin gue hal itu," kekeh Listya membuat Ine tertawa. "Iya-iya terserah lo aja, Tya. Eh tapi lo udah move on dari dia 'kan? Jangan bilang habis ketemu lagi sama dia dan tahu kalau sekarang dia menduda lo jadi terpesona lagi sama dia? Mau-mau aja kalo misal diajak balikan sama dia." Listya mendelik mendengar godaan Ine. "Enggak akan! Gue enggak akan pernah mau! Pengkhianatan dia udah terlalu menyakitkan buat gue, gue enggak mau masuk ke dalam lubang yang sama!" ujar Listya begitu mantap, seakan suatu saat tidak akan pernah terjadi suatu takdir itu. "Baguslah, gue seneng dengernya. Tapi yang paling penting, lo jangan pernah bohongin perasaan lo sendiri. Meskipun gue enggak suka sama tuh bajíngan tapi gue enggak bisa seenaknya aja ngelarang lo buat dekat sama dia lagi kalau lo naksir dia sih." Lagi, Ine kembali menggoda Listya membuat wanita itu kesal bukan main. Ibu satu anak ini memang sungguh terlalu, sangat suka sekali sepertinya ketika ia kesal. "Udah dong, lo jangan godain gue mulu," ucap Listya yang kesal dengan godaan Ine. "Habisnya wajah lo lucu banget tahu, Ty! Hahahaha." Ine tertawa puas sekali mengejek Listya yang mendengkus kesal. "Gimana pernikahan lo? Baik-baik aja 'kan?" tanya Listya sambil menikmati makanan kesukaannya yaitu bolu coklat keju. Ia bertanya demikian karena kalau tidak salah ingat waktu itu Ine bercerita kalau wanita itu bertengkar dengan suaminya karena Ine yang kesal serta cemburu saat suaminya itu meladeni tingkah genit salah satu wanita yang mengaku sebagai pélanggannya. Padahal suami Ine hanya berlaku ramah dan sewajarnya saja, tetapi memang pada dasarnya saja Ine sekarang berubah menjadi cemburuan. "Hmm, iya udah baik sekarang. Dia udah minta maaf sama gue, ya udah gue maafin." Mendengar jawaban sedikit jutek dari Ine membuat Listya menahan tawanya. "Kenapa lo ketawa?" tanya Ine tak suka, matanya memicing kesal melihat reaksi Listya. "Enggak, dulu aja lo 'kan beberapa kali sempat nolak dia. Enggak tahunya sekarang lo yang cemburuan, takut banget, ya, kalau Adit sampai direbut cewek lain." Listya terkekeh setelah menyelesaikan perkataannya. "Enggak gitu sih sebenarnya, gue cuma enggak mau aja ngelepasin dia. Gue enggak cemburu, ya, gue hanya menjaga apa yang udah jadi hak milik gue. Lagian hanya dia aja yang bisa memaklumi sikap bar-bar gue ini, ya kalau sampai dia berpaling 'kan bisa kacau." Alasan yang sama sekali tidak dapat Listya terima, Ine ini memang orangnya terlalu gengsi mengakui perasaan yang sebenarnya. Padahal sudah lama sahabatnya itu menikah, tetapi masih saja ada rasa gengsi. Listya benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Ine. "Jangan gengsi mengakui kalau lo itu sebenarnya cemburu, Ine," ucap Listya berdecak sambil menggelengkan kepalanya meledek Ine seperti wanita itu yang tadi sudah meledeknya. Pembalasannya akhirnya berhasil. "Dasar sahabat tukang bales!" maki Ine melempari pilus kacang yang ia bawa dari rumah tadi dan síalnya lemparannya itu berhasil ditangkap oleh Listya yang dengan sigap membuka mulutnya. "Lagi dong, Ine. Enak ini pilusnya," ucap Listya setelah mengunyah pilus kacang itu. Dan begitulah, hari libur ini mereka habiskan untuk berbagi cerita dengan penuh canda tawa dan ledekan masing-masing. Hingga tak terasa waktu begitu cepat berlalu, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang yang artinya kalau Ine harus segera pulang karena anaknya pasti sudah menunggunya untuk dijemput di rumah mertua wanita itu. "Udah jam setengah dua belas ini, gue harus cepat-cepat pulang," ucap Ine sambil memasukkan benda-benda miliknya ke dalam tas selempang yang ia bawa. "Iya, gue juga mau balik. Kayaknya gue kelupaan sesuatu di apartemen, tapi apa, ya?" Listya mencoba berpikir kira-kira apa yang ia lupakan, ya. "Lo mau bareng enggak sama gue? Lo 'kan enggak bawa mobil," tawar Ine. Listya datang ke sini dengan menggunakan taksi karena mobilnya sedang berada di bengkel, entah ada kerusakan apa Listya tidak mengerti. "Enggak, arah kita 'kan beda. Gue enggak mau ngerepotin lo," balas Listya menolak tawaran Ine secara halus karena ia tidak mau merepotkan sang sahabat. "Lo kayak sama siapa aja sih, Ty, bilangnya ngerepotin? Sama sekali enggak repot kok, ayo!" Lagi, Listya menggeleng cepat. "Gue naik taksi aja, Ne. Banyak kok taksi yang lewat, lo pulang duluan aja. Anak lo pasti udah nungguin," ujar Listya. Ine terlihat menimbang-nimbang. "Beneran nih gue balik duluan? Lo enggak apa-apa gue tinggal?" tanya Ine. "Iya enggak ada, lo duluan aja. Kayak gue anak kecil yang bakalan ilang aja kalo lo tinggalin, gue udah dewasa, gue bisa jaga diri gue baik-baik." Ini tertawa mendengar perkataan Listya. "Bagi gue, lo tetap adik kecil gue, Tya." Seenaknya, Ine mengacak-acak rambut Listya. "Cuma beda satu tahun doang juga," gerutu Listya yang merasa kesal dengan tindakan Ine hingga membuat rambutnya berantakan. "Hahahaha, ya udah gue pulang duluan, ya, lo hati-hati." "Iya, lo juga hati-hati." Listya membalas lambaian tangan Ine seiring wanita itu yang memasuki mobilnya. Listya berjalan keluar caffe sambil menunggu taksi yang lewat, sudah lima belas menit ia menunggu, tetapi tidak ada satupun taksi yang lewat. Ia melirik jam di pergelangan tangannya sesekali memainkan ujung sepatu kets yang ia kenakan dengan ujung lainnya, merasa bosan sekali. Tumben tidak ada taksi yang lewat, biasanya tak sampai lima menit menunggu pasti akan ada taksi yang lewat. Wanita itu menunduk untuk menghalau sinar matahari yang membakar kulit, apalagi matahari kini telah berada tepat di atas kepala hingga menambah rasa panas membakar itu. Tiba-tiba saja ada sebuah mobil hitam yang berhenti tepat di hadapannya, ia mendongakkan wajahnya sehingga matanya bersitatap dengan seorang pria yang tepat sekali membuka kaca jendelanya. "Kamu mau pulang 'kan? Ayo masuk, biar kuantar," ucap Sandi pada Listya yang hanya diam. "Maaf, Pak. Saya sedang menunggu taksi, terima kasih banyak atas tawarannya," balas Listya sopan. Ia tak perlu tersenyum karena baginya senyumnya tak layak untuk pria yang kini tengah berniat mengantarkannya pulang. "Yakin kamu ingin menunggu taksi? Aku sangat yakin sekali kalau sampai malam pun tidak akan ada taksi yang lewat." Listya mengernyit, mengapa pria itu begitu yakin sekali ketika mengucapkannya? Ini bukan taktik Sandi agar ia bisa menerima tumpangan dari pria itu 'kan? "Kamu tidak melihat berita hari ini, ya? Tepat siang tadi para supir taksi mogok menaksi," ujar Sandi yang tahu kalau Listya pasti tidak melihat berita. Tanpa banyak berbicara, Listya membuka pintu mobil yang berada di samping Sandi kemudian ia langsung duduk dengan tenang. Tidak apa kali ini ia menumpang, daripada ia tidak akan pernah bisa pulang karena tidak akan ada taksi yang datang satu pun. "Terima kasih banyak karena sudah memberikan saya tumpangan, Pak," ucap Listya sopan ketika Sandi mulai menjalankan mobilnya. "Ini sudah bukan jam kantor, Tya. Ini bahkan hari libur, tidakkah kamu bisa berbicara dengan bahasa biasa tanpa bersikap formal padaku?" tanya Sandi yang mulai merasa jengah dengan Listya yang selalu saja bersikap formal seakan mereka hanyalah atasan dan bawahan padahal kenyataannya sebelum mereka berada di tempat kerja yang sama mereka adalah sepasang kekasih. "Maaf, bagi saya sekarang dan untuk selamanya hubungan itulah yang mendekatkan kita kembali, Pak." Listya membalas dengan dingin. Mendengar itu, Sandi hanya bisa diam. Namun, di dalam hatinya ia tidak menyetujui kata-kata Listya. Daripada memperpanjang sesuatu yang tidak jelas akan berakhir dengan apa, lebih baik ia fokus menyetir. Hingga akhirnya mereka bisa sampai di depan gedung apartemen Listya sesuai arahan wanita itu, Listya langsung turun dari mobil diikuti oleh Sandi. "Terima kasih banyak atas tumpangannya, Pak. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa pulang jika Bapak kebetulan tidak lewat sana." Listya berterima kasih sambil membungkuk hormat. "Sama-sama, Tya. Aku ...." "Tya!" Kata-kata Sandi terhenti ketika sebuah suara berteriak memanggil nama Listya. "Mama?" tanya Listya tak percaya ketika mamanya kini berjalan menghampirinya. "Loh? Ini siapa, Tya?" tanya mamanya yang tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya ketika melihat sang putri diantar pulang oleh seorang pria. "Dia ...." "Perkenalkan, saya Sandi, kekasih Tya, Tante." Sandi menyalami tangan Mama Listya membuat Listya langsung melotot atas kelancangan Sandi, bukan perbuatannya melainkan kata-katanya yang memperkenalkan diri kalau ia adalah kekasih Listya. *** Yuhuu up lagi, ayo komennya kalian semua. Keluarkan ketikan jari kalian buat komen hehehe
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD