Hari pertama ia bekerja di perusahaan ini menjadi seorang sekretaris direktur terasa begitu berat bagi Listya, tahu sendiri kalau ternyata atasannya adalah mantan kekasih bréngsek yang tidak ingin ia temui lagi. Namun, karena sudah terlanjur menandatangani kontrak, ia haruslah bertahan. Sepelik apapun kisah masa lalu mereka, Listya mencoba berusaha bersikap profesional dan tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Baru satu hari ia bekerja di sini entah menyapa rasanya begitu berat sekali, ia harus dipaksa kuat menghadapi kenyataan ini. Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar, apalagi satu tahun itu ia habiskan bekerja dengan orang yang paling ingin ia hindari seumur hidupnya.
Andai ia bisa meminta Tuhan mengatur kembali takdirnya, mungkin saja ia akan meminta semoga saja ia tidak pernah bertemu lagi dengan pria bernama Sandi Ananda. Pria yang sudah membuatnya merasakan jatuh cinta begitu dalam serta luka yang teramat menyakitkan karena pengkhianatan pria itu. Memikirkan masa lalu memang tidak ada habis-habisnya, jika dulu ia tak terlalu dalam mencintai Sandi, mungkin saja luka yang rasakan tak terlalu sakit seperti ini. Mungkin, maaf dengan mudah akan ia berikan, ya, hanya mungkin karena kenyataannya cintanya dulu teramat besar sehingga ketika sang cinta telah membuatnya terluka dan kecewa, maka hati seakan ditusuk dan diberi garam pada lukanya yang telah menganga lebar.
"Sudah waktunya jam makan siang," ucap suara berat itu membuat Listya yang sibuk dengan lamunannya pun segera tersadar.
Tanpa perlu melihat dan mendongakkan kepalanya, ia sudah tahu siapa itu. Sudah pasti itu suara Sandi karena tidak ada orang lain selain dirinya dan pria itu. Sejujurnya ia tidak ingin berbicara dengan pria itu lagi, tetapi keadaan lah yang membuatnya mau tak mau akhirnya mendongak.
"Iya, Pak, terima kasih sudah mengingatkan." Listya membalas dengan datar, wanita itu hanya melihat Sandi sekilas kemudian sibuk membereskan meja kerjanya.
"Bapak ingin makan apa? Apa perlu saya pesankan makan siang untuk Bapak?" tanya Listya. Biar bagaimanapun Sandi itu atasannya jelas saja ia perlu menanyakan hal ini.
"Apa kita bisa makan siang bersama? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Listya sadar kalau Sandi akan membahas masalah pribadi ketika Sandi merubah gaya bahasanya saat berbicara dengannya kali ini.
"Mohon maaf, Pak. Saya hari ini ada janji makan siang bersama teman saya, kalau Bapak tidak ingin saya pesankan makan siang, saya pamit makan siang bersama teman saya dulu, Pak." Listya bergegas keluar dari ruangan itu, tetapi Sandi jelas saja tidak akan membiarkan Listya pergi sendirian. Pria itu keluar dari ruangannya untuk mengikuti Listya, ia sengaja menjaga jarak karena ia ingin tahu apakah Listya pergi makan siang dengan temannya atau bukan.
Sandi terus mengikuti langkah Listya dengan menjaga jarak hingga ia bisa melihat kalau wanita itu memasuki kantin kantor kemudian memesan makan siang, wanita itu nampak duduk sendirian hingga pesanannya tiba. Sandi merasa heran, katanya tadi Listya ingin makan siang dengan salah satu temannya. Nyatanya, wanita itu nampak menikmati makan siangnya sendiri. Sandi memesan sebuah makanan di kantin kantor itu, setelah mendapat jatahnya, ia membawa makanan itu dan berjalan menuju Listya. Ia menaruh piring berisi nasi goreng seafood di atas meja tepat di hadapan Listya hingga membuat wanita itu mendongak.
"Kamu bilang kalau kamu ingin makan dengan temanmu, di mana temanmu?" tanya Sandi sambil duduk di depan Listya tanpa meminta izin apakah ia boleh duduk di sini atau tidak.
"Teman saya sedang sibuk jadi dia tidak jadi datang, Pak." Padahal ini di luar jam kantor, tetapi Listya nampaknya masih bersikap formal pada Sandi. Sandi menghela napas melihat sikap dingin Listya padanya, Listya yang ia lihat hari ini seperti bukan Listya yang hangat yang dulunya ia kenal. Sangat wajar Listya bersikap dingin seperti ini karena memang kesalahannya di masa lalu tak mudah dimaafkan.
Listya tiba-tiba bangkit, ia ingin pindah dari meja ini karena merasa tak nyaman makan berdua dengan Sandi. Ia takut ada yang marah atau bahkan menjambak rambutnya karena ia telah lancang membiarkan Sandi hanya berdua dengannya. Tidak mungkin ia mengusir Sandi, jadi lebih baik ia yang mengalah pergi.
"Mau ke mana?" tanya Sandi ketika melihat gerak-gerik Listya.
"Maaf, Pak, bukan apa-apa. Saya tidak ingin nantinya ada yang cemburu jika melihat kita makan bersama, lebih baik saya pindah meja." Sebisa mungkin Listya berkata dengan sopan karena ia tidak ingin menyinggung sang atasan.
"Memangnya siapa yang akan marah?" tanya Sandi bingung dengan perkataan Listya.
"Istri Bapak," jawab Listya.
"Aku sudah bercerai, Tya," ucap Sandi lirih membuat Listya membeku.
Pria itu menghela napasnya, ia berdiri menghampiri Listya. Ia memaksa agar wanita itu kembali duduk di hadapannya, Listya yang masih terkejut mendengar kalau Sandi sudah bercerai hanya bisa diam ketika pria itu menuntunnya untuk duduk kembali.
"Kamu sudah bekerja cukup lama dengan Relix 'kan? Bahkan kamu juga lah orang yang membantu Relix sehingga perusahaan kembali berjaya." Sandi memulai ceritanya, ia menatap Listya lekat-lekat. Listya sendiri masih membeku, sibuk dengan pemikirannya sendiri.
"Laura–wanita yang kamu lihat pagi itu bersamaku, dia adalah sahabat adikku yang tak lain adalah Syafira. Ya, aku menikahinya karena aku ingin menepati janjiku padamu sebelum kamu pergi meninggalkanku, Tya." Listya hanya diam, sepertinya hatinya sudah siap mendengarkan cerita dari Sandi.
"Aku tidak pernah mengkhianatimu, Tya, malam itu aku dijebak. Kami berdua sama sekali tidak tahu siapa yang menjebak kami, semua itu murni kecelakaan." Suara Sandi semakin lirih ketika mengatakan itu, ia berharap semoga setelah ini Listya jadi paham kalau ia sama sekali tidak pernah berniat mengkhianati Listya.
"Aku minta maaf atas kejadian waktu itu, maafkan aku karena aku tidak menuruti keinginanmu agar segera pulang dari club itu. Aku benar-benar menyesal," lanjut Sandi.
"Kamu mencoba menjelaskan hal ini bukan karena kamu sudah bercerai 'kan?" tanya Listya membuat Sandi langsung menatap tepat di manik hitam Listya yang begitu ia rindukan.
"Maksud kamu?"
"Ya, bisa jadi. Kamu ingin menjadikanku sebagai kelinci percobaanmu lagi, aku tidak akan pernah tertipu untuk yang kesekian kalinya," ujar Listya begitu tenang.
"Kamu salah, Tya, hari ini niatku murni ingin menjelaskan dan meminta maaf padamu. Tidak ada niatan lain sama sekali." Sandi menyanggah perkataan Listya, tak tahukah wanita itu kalau dari dulu Sandi benar-benar mencintainya dan tidak pernah berniat menjadikannya mainan? Mengapa Listya tak menyadari ketulusannya?
"Maaf, aku tidak bisa percaya. Luka yang kamu torehkan terlalu dalam bagiku, aku tidak bisa percaya begitu saja penjelasanmu itu. Bisa jadi kamu mengada-ada karena ingin kembali meluluhkan hatiku. Mungkin, jika hanya memaafkan aku akan berusaha. Namun, untuk berniat melupakan kejadian menyakitkan tepat di depan mataku beberapa tahun lalu itu akan sangat sulit. Saya sudah selesai makan, saya permisi." Listya menaruh satu lembar uang lima puluh ribuan di atas meja kemudian tanpa kata ia meninggalkan Sandi sendirian.
Dalam perjalannya menuju toilet, Listya menyeka air mata yang sempat jatuh di pelupuk matanya. Wanita itu segera memasukkan toilet ketika air mata tak dapat ia bendung lagi, layaknya sebuah bendungan yang sebentar lagi akan rusak hingga menimbulkan aliran air yang begitu dahsyat. Setelah ia merasa lega, ia mencuci wajahnya dengan air wastafel. Ia tiba-tiba tersenyum sambil melihat wajahnya yang sembab.
"Kamu harus kuat ketika berada di sini, Tya. Jangan menampakkan kelemahanmu di depannya, bukan satu atau dua bulan kamu akan berada di sini tapi lebih dari itu. Hanya karena bàjingan itu kamu tidak perlu mengorbankan karir dan masa depanmu, kamu harus menjadi wanita kuat. Sesuai dengan ajaran mama," ucapnya berusaha menguatkan hati agar ia tidak cengeng dan menjadi wanita yang lemah.
"Fyuhh, semangat! Harus semangat!" Listya kembali mencuci wajahnya dengan air wastafel kemudian ia memperbaiki dandanannya agar terlihat kembali segar dan tak kentara kalau ia habis menangis.
Wanita itu keluar dari toilet sambil tersenyum, seakan tak pernah ada beban di hatinya. Begitu ringan dan lepas, walau tanpa orang lain tahu kalau senyum ceria nan ramah yang tengah ia perlihatkan adalah senyum palsu karena ia mencoba menutupi rasa sakit dan pahit di hatinya. Demi profesional, ia harus bisa menghadapi ini semua. Anggap saja kalau ini adalah ujian hidupnya, ujian hidup yang tengah Tuhan berikan padanya. Apakah ia akan tegar ketika dihadapkan dengan masa lalu ataukah malah sebaliknya?
"T-Tya, a-aku ...."
"Maaf, ini di kantor, Pak. Sudah waktunya jam kerja, ada beberapa pekerjaan yang harus saya dan Bapak selesaikan." Listya segera memotong kata-kata Sandi ketika pria itu menghadang jalannya yang akan memasuki lift, sekarang ini mereka menjadi pusat perhatian orang-orang kantor yang merasa heran dengan sikap Sandi pada sang sekretaris baru dan Listya tak menyukai tatapan orang-orang itu yang seakan mengatakan kalau ia adalah w*************a.
"Hmm, baiklah." Sandi berdehem, ia berusaha bersikap kembali formal. Tatapannya beralih pada beberapa karyawan yang tengah berbisik-bisik, merasa heran dengan sang direktur yang tumben sekali bersikap seperti itu pada orang baru setelah perceraiannya.
"Apa yang kalian lihat!? Kembali bekerja!" teriak Sandi hingga membuat para karyawan itu akhirnya bubar untuk pergi ke tempat kerjanya masing-masing.
Listya hanya melengos pergi ketika Sandi akan kembali mengajaknya bicara setelah memarahi beberapa karyawan itu. Terserah saja ia dianggap tidak sopan, ia yakin sekali kalau Sandi pasti tidak akan bisa memecatnya. Ya, ia akan dipecat setelah masa kerja habis, sebenarnya sih dia ingin agar ia bisa dipecat secepatnya agar ia bisa lari dan tidak akan pernah bertemu orang itu lagi. Sayangnya khayalan tinggal lah khayalan karena ia tahu Sandi pasti tidak akan pernah melepaskannya. Bukan bermaksud terlalu geer dan sangat percaya diri, ia sudah mengenal Sandi dengan baik. Jadi, ia tahu apa yang ada dipikiran pria itu hanya dengan melihat gerak-geriknya.
"Listya ...." Sandi sudah berhasil menyusul Listya.
"Hari ini Bapak ada meeting bersama para karyawan untuk membahas proyek lama yang masih berjalan, akan ada Pak Dariel selaku CEO di perusahaan ini juga yang turut hadir." Listya kembali membahas pekerjaan, ia membuka buku agendanya dan mengatakan jadwal Sandi hari ini.
"Apakah jadwal saya hari ini padat?" tanya Sandi akhirnya. Ia tidak mungkin lagi membahas masalah pribadi saat jam kerja seperti ini, apalagi ia melihat kalau Listya sepertinya tak nyaman ketika ia terus membahas hal tentang mereka yang sebenarnya belum usai.
"Sepertinya lumayan padat, Pak. Setelah meeting bersama karyawan dan Pak Dariel, Bapak juga ada jadwal meeting bersama beberapa investor. Setelah itu ada banyak berkas yang harus ditandatangani," jawab Listya menyebutkan semua jadwal Sandi hari ini yang lumayan padat.
"Baiklah, kamu persiapkan saja semuanya," ucap Sandi pada akhirnya. Pria itu memilih duduk di kursi kebesaran sesekali melihat Listya yang sudah sangat gesit sekali melakukan pekerjaannya.
Melihat itu, Sandi tersenyum. Listya memang orang yang begitu cerdas, tak pernah berubah. Bahkan dari dulu hingga sekarang, mengingat dulu-dulu ia jadi teringat kalau ia sedang malas maka Listya akan membantunya mengerjakan tugas kampus sehingga ketika ada Listya tugas kampus itu terasa lebih mudah dikerjakan. Meskipun Listya merupakan adik tingkatnya, tetapi wanita itu sangat cerdas dan otaknya cenderung lebih mudah memahami suatu hal ketimbang orang lain sebayanya. Dari dulu hingga sekarang, Listya tetaplah wanita idamannya. Sayang sekali masa lalu membuatnya harus berpisah dengan Listya, kalau bukan karena kecelakaan itu mungkin saja ia sudah hidup bahagia bersama Listya.
"Pak?" Listya memanggil Sandi yang sedari tadi sibuk melamun, wanita itu melambaikan tangannya tepat di wajah Sandi hingga membuat pria itu akhirnya tersadar.
"Ah, ada apa?" Sandi yang tersadar pun langsung duduk dengan tegap.
"Ini, semuanya sudah selesai. Sesuai dengan permintaan Bapak tadi," ucap Listya sambil menaruh beberapa lembar kertas di atas meja kerja Sandi.
"I-iya terima kasih." Sepertinya ia sudah lama melamun hingga tak sadar kalau Listya sudah menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
***
Hallo sudah up lagi, apakah ada pembaca di sini? Yang baca komennya dong biar tahu kalau ternyata masih ada yang nungguin mereka up wkwk