Bab 03 [ Iharasi Sousuke POV ]

2208 Words
Kutaruh sebelah tanganku di dahi, dan membiarkannya menutup sebagian wajahku, sementara aku mencoba mengatur napasku yang rasanya mau putus. "Kau lucu, minumlah ini," ujar Inoe-san sambil memberikanku secangkir air hangat. "Terima kasih...." Aku menenggak perlahan air hangat yang diberikan Inoe-san, wanita yang bertugas sebagai salah satu staff ahli forensik di kantor ini. Aku ingat bagaimana aku terjebak dalam keinginan inspektur Oogaki untuk mengajakku makan siang di restoran cepat saji dan niatnya mentraktirku makan burger sepuasnya. Jujur bukan aku tidak sopan dengan menolak ajakan itu tapi, setelah inspektur Oogaki terus bicara soal burger aku tak hentinya merasa mual dan beberapa kali mau muntah rasanya hingga akhirnya karena perasaan pusing dan tidak nyaman yang kurasakan semakin parah sejak di awal. Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi denganku, dan aku menemukan diriku terbaring di brangkar milik Inoue-san. Karena hal itulah sekarang aku ada di sini. Berbaring pada sofa panjang sambil menyembunyikan wajahku setelah Inoe-san memeriksa keadaanku secara menyeluruh, dari sanalah dia juga tahu kalau sekarang aku sedang mengandung. "Jadi, sejak kapan kau tahu kalau kau sedang mengandung?" "Ah, itu ... sekitar seminggu lalu," jawabku tak yakin. "Melupakan period heat-mu?" aku mengangguk, "lalu, siapa ayahnya?" Aku menggeleng, "Kupikir, aku akan mengaborsinya." "Aborsi? Kau yakin?" Aku kembali mengangguk. "Pekerjaanku tidak memungkinkan untuk memiliki seorang bayi, jadi kurasa selama ayahnya tidak tahu kalau dia ada, sebaiknya kubuang saja." Aku beralasan. "Apa ini pertama kalinya?" "Maksudmu?" "Aku ini Alpha, sementara suamiku seorang Beta. Mungkin aku tidak bisa tahu bagaimana rasanya hamil dan melahirkan nanti, tapi kurasa pilihanmu bukanlah sesuatu yang bijak." "Kau sedang membujukku Inoe-san?" "Tidak juga," Inoe-san tersenyum, "kupikir akan sangat menyenangkan kalau ada anak kecil di rumah, melihatnya lahir, menggeliat, tersenyum, menangis bahkan saat kau khawatir ketika tahu kondisi badannya sedang tidak baik." "Aku tidak akan bisa melakukan itu semua." "Kau tidak yakin pada dirimu?" "Seorang bayi hanya akan merepotkan kehidupanku dan orang itu. Jadi kurasa, daripada setelah dia lahir malah jadi beban untuk salah satu dari kami, aku lebih memilih untuk mengaborsinya." Aku tidak tahu apakah Inoe-san satu suara denganku atau tidak tapi, setelah aku mengatakan itu dia hanya diam tak merespon apapun. Bisa kukatakan kalau aku kasihan padanya. Dia seorang Alpha dominan, sementara dia memilih seorang Beta untuk jadi pasangan hidupnya. Tidak ada yang salah saat seorang perempuan memilih laki-laki yang dia cintai untuk jadi suaminya tapi, dalam kasus Inoe-san tidaklah semudah itu. Karena hampir 80% Alpha akan memilih seorang Alpha lain yang mungkin seorang resesif untuk melanjutkan keturunan, atau setidaknya dia harus memilih satu orang Omega untuk tugas tersebut. Hanya saja Inoe-san tidak demikian, wanita yang sudah bekerja di sini jauh sebelum aku datang itu malah memilih seorang Beta yang berprofesi sebagai guru taman kanak-kanak untuk mengisi sebagian hidupnya. Seorang Beta yang katakanlah dia tidak ada apa-apanya selain jadi kacung bagi para Alpha dominan atau hanya berperan seperti manusia biasa yang tidak tahu apapun tentang siklus kami para Alpha dan Omega. Meski begitu, Inoe-san selalu bahagia dengan kehidupannya dan kuharap pasanganku juga bisa menerima aku, seperti Inoe-san menerima Beta-nya. "Baiklah, jadi apa yang kau bawa dari TKP tadi?" "Itu ... sampel air yang kuambil dari TKP dan pecahan dari badan bom yang ditemukan oleh tim di TKP beberapa waktu lalu. Kurasa kalau aku ingin agar Inoe-san untuk memeriksanya, karena ada sedikit kejanggalan yang membuatku penasaran." "Kejanggalan?" Aku mengangguk, "aku pernah mendengar kalau korban selamat mengalami luka bakar dan beberapa diantaranya bahkan mengidap kanker kulit yang cukup parah, sementara aku penasaran kenapa bisa seperti itu." "Aku juga penasaran, tapi karena tidak dapat hal yang spesifik untuk memastikan semuanya maka aku sempat menyimpulkan kalau korban memang memiliki riwayat kanker kulit tapi belum terekam sempurna atau bahkan kupikir kalau mereka tidak melakukan pemeriksaan sama sekali." "Jadi...?" Inoe-san menggaruk belakang kepalanya sejenak sebelum akhirnya dia memilih mengalihkan topik kami. "Kurasa aku butuh waktu untuk menganalisa ini lebih baik, karena kurasa aku tertarik pada sampel air yang kau bawa." "Berapa lama?" "Kau bisa kembali lagi setelah jam tiga nanti." "Baiklah...." Sebenarnya aku masih ingin berada di sini, lebih lama tiduran dan mengembalikan tenagaku yang habis. Tapi di luar sana pekerjaanku tak kalah banyak dengan isi kepalaku. Setelah berterimakasih karena sudah memeriksa kesehatanku dan memberikanku segelas air hangat pada Inoe-san, aku keluar dari dalam ruangan wanita itu. Tapi saat aku berjalan ke lift untuk naik ke lantai dua di mana divisi ku berada, aku berpapasan dengan Kuroda-san. Pria itu masih dengan sangat sinis melihatku yang masuk ke dalam lift, sementara dia sedang membawa beberapa berkas yang entah dia dapat dari mana. Tak ada percakapan apapun sampai pintu lift itu tertutup. "Apa yang kau dapatkan dengan sampel yang kau bawa itu?" "Ah, Inoe-san bilang kalau dia ingin memeriksanya lebih detail jadi dia memintaku untuk kembali lagi ke sana jam tiga nanti." "Begitu." "Umn...." Canggung.... "Lalu, bagaimana keadaanmu?" "Eh? A-aku hanya kurang istirahat jadi tidak terlalu fokus. Maaf...." "Kalau kau tidak enak badan, sebaiknya kau pulang. Aku tidak ingin kau malah merepotkan kalau tetap berada di sini." Lagi.... Lagi-lagi dia meremehkanku. "Terima kasih, tapi aku masih kuat kalau hanya untuk bekerja di belakang meja." Ucapku tegas. Lift yang membawaku ke lantai dua berhenti dan pintunya terbuka perlahan. Dengan cepat aku berjalan melewatinya yang masih berdiri diam di dalam sana. "Kalau kau mau bertemu Inoe lagi hubungi aku. Ada yang ingin kubicarakan juga dengannya." "Huh?" "Aku akan ke bagian humas. Kalau ada yang mencariku katakan setelah jam makan siang aku akan menghubungi mereka dan kau, jangan lewatkan makan siangmu. Jaga juga kesehatanmu." Ujarnya sambil menekan tombol lift lalu menghilang di dalam sana. "Apa-apaan itu...?" Dia pikir aku ini saingannya apa? Kenapa setiap kali aku dapat kasus dia seperti sangat tidak suka. Dia juga selalu mengatakan hal-hal yang menyakitkan dan seperti terus mendiskriminasi statusku yang seorang omega. Sejujurnya, kalau bukan karena aku yang meminta pada pihak pusat untuk memindahkanku ke kantor distrik, mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengannya. Aku kembali berjalan ke tempat di mana mejaku berada. Tapi aku cukup dikejutkan saat aku melihat ada sebuah kotak makanan di atas sana dan masih terbungkus rapi. "Ano, maaf ... ini milik siapa?" tanyaku pada seseorang. "Itu ... aku tidak yakin sebenarnya tapi, sepertinya Kuroda-san yang menaruhnya di sana." "Kuroda-san...?" Alpha itu.... Apa yang dia inginkan.... "Sedang apa kau di sini Kuroda?" Inoe-san memandang sinis pada Kuroda-san yang ikut masuk bersamaku. "Ada yang ingin kutanyakan padamu," jawabnya tanpa ekspresi, "lagipula aku ingin tahu hasil pemeriksaan tim forensik soal apa yang dibawa Iharasi tadi siang." "Ch, kau memang tidak pernah bisa bersikap imut. Harusnya aku peringatkan Souchan untuk tidak membawamu ke ruanganku." "Ano ... bisakah kalian tidak bertengkar sekarang?" Aku menginterupsi. Aku sedang tidak mood mendengar seseorang bertengkar mulut sekarang. "Baiklah, tapi sebelumnya aku ingin bertanya, sampel air ini kau dapatkan dari mana, Souchan?" Tanya Inoe-san sambil menunjukan plastik wrap pada kami. "Ah, itu ... aku mengambil itu dari TKP saat bersama Kuroda-san dan inspektur Oogaki." "Bukannya kau tidak menerima kasus itu?" Inoe-san melirik Kuroda-san lagi sepertinya ingin mengajak pria itu untuk kembali bertengkar mulut tapi segera kuhentikan. "Itu ... inspektur Oogaki memaksaku untuk ikut." "Apa Kuroda-san membuatmu kesal lagi hari ini sampai-sampai kau harus menerima kasus itu?" Ucap Inoe-san lagi-lagi melirik Kuroda dan tersenyum seperti mengejek. Meskipun tidak terang-terangan, tapi aku yakin kalau hampir seluruh divisi di kantor ini tahu hubungan buruk antara aku dan atasanku sendiri. Juga tentang bagaimana kerasnya Kuroda-san pada anak buahnya. Meskipun kami bekerja pada satu divisi, tapi kami selalu melakukan perang dingin. Aku dan Kuroda-san tidak pernah bisa akur untuk banyak hal. "Tidak, bukan...." Aku membantah saat sadar kalau ekspresi pria itu sedikit tersulut. Aku memang tidak ingin ikut dalam kasus tersebut tapi bukan karena aku bertengkar lagi dengannya, justru karena Kuroda-san tidak mengatakan apapun tentang keputusan inspektur Oogaki makanya aku tidak bisa menolak. "Jadi, kau mengambil sampel air ini dari keran?" Inoe-san bertanya lagi. "Tidak, aku mengambilnya di genangan di lokasi dekat toilet dan wastafel yang ada di TKP. Kenapa? Kau menemukan sesuatu yang janggal?" "Pertanyaanku, kenapa kau mengambil sampel air ini dan menarik kesimpulan seperti yang kau katakan padaku tadi?" "Itu ... sebenarnya aku tidak yakin kalau apa yang kulakukan bisa membawa titik terang atau tidak tapi, aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan pasien korban pemboman itu dengan kanker kulit yang mereka derita." "Begitu ... aku juga sebenarnya tidak yakin tapi, kurasa ada senyawa arsenik yang sangat tinggi di dalam sana." "Arsenik?" Ujarku dan Kuroda-san bersamaan. "Iya, arsenik bisa menjadi penyetor utama buruknya kesehatan masyarakat masa kini. Karena selain ditemukan dalam kandungan air tanah, arsenik juga bisa ditemukan dalam beberapa makanan olahan, baik yang basah maupun kering. Mungkin kalau masuk ke dalam tubuh manusia dalam jumlah sedikit hanya akan menyebabkan sakit perut dan diare tingkat sedang, cara kerjanya persis seperti E-c**i yang sering kita temukan pada lalat. Tapi kandungan yang kulihat terlalu banyak untuk sekedar membuat sakit perut." "Kanker." Kuroda-san menyela. "Benar. Dalam sampel air yang kudapatkan dari Souchan, aku menemukan air itu memiliki lebih dari 60mg/L arsenik di dalamnya. Yang artinya, siapapun akan dengan cepat mendapatkan efek dari itu. Dan racun yang sama yang kulihat memang ada dalam potongan puing yang Souchan bawa padaku tadi siang." "Jadi menurutmu ini semua ada hubungannya dengan pemasok penyedia air untuk stasiun?" Kuroda-san menebak. Tapi Inoe-san hanya diam. "Apa kita harus memeriksa perusahaan penyedia air yang memasok air ke sana. Tapi ... kalau hanya dalam air, kurasa bukan cuma pihak stasiun saja yang dirugikan tapi juga perusahan di sekitarnya dan produksi industri rumahan yang juga menggunakan air yang sama." ujarku, "itu artinya, kita harus mencari bukti lanjutan untuk memastikan kalau perusahaan penyedia air itu memang bersalah karena sudah membiarkan air dengan kandungan arsenik yang tinggi beredar di masyarakat. Itu sangat berbahaya." "Aku setuju soal itu, tapi aku masih heran kenapa arsenik juga bisa ada di dalam bom itu. Bukankah kalau hanya untuk membunuh masal pelaku hanya perlu memasukan lebih banyak bubuk mesiu dan meledakkannya begitu saja?" Inoe-san benar. Kalau cuma untuk membunuh, mereka hanya harus melakukan itu dan tidak perlu mencampur bahan berbahaya seperti arsenik begitu..., "Ano ... jadi penyakit yang diderita oleh korban selamat itu adalah...." "Aku yakin kalau itu disebabkan oleh arsenik." Jawab Inoe-san pasti. "Kuroda-san, bisakah kita ke rumah sakit untuk melihat kor-" "Aku menolak keinginanmu, Souchan!" Inoe-san menyela, " "Ke-kenapa?" "Kandunganmu sudah masuk usia tiga bulan, aku tidak ingin kalau sampai bayimu terkontaminasi oleh racun arsenik, itu terlalu beresiko" Inoe-san tiba-tiba mengatakan itu dengan sangat lantang dan penuh penekanan, "dan kau Kuroda...," "...." "aku minta padamu jangan ikut sertakan Souchan dalam kasus kali ini, aku tidak ingin bayi dalam kandungannya kenapa-napa." "... Maaf, tapi pekerjaan adalah soal profesionalitas. Jadi, aku akan tetap membuat Iharasi dalam penyidikan kali ini untuk membuktikan teori yang dia sebutkan tadi, dan untuk kandungannya...," Kuroda-san melirik ke arahku dengan matanya yang tetap dingin seperti es, "kurasa aku akan membuat sedikit pengecualian." Pengecualian.... Apa maksudnya dengan pengecualian...? Apa dia sedang mempermainkanku lagi? Dia benar-benar membuatku kesal. "Iharasi, aku duluan ya." "Ah," jawabku sambil melambaikan tangan. Aku tidak sadar kalau ini sudah lewat dari jam pulang. Seharusnya aku hanya lembur satu atau dua jam tapi, aku malah tetap berada di sini sampai selarut ini padahal aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan konsentrasi selama duduk dan bekerja. Kepalaku terus berputar dan rasanya ingin sekali mencari tempat untuk meluruskan tulang punggungku sejenak. Kuusap wajahku sebelum akhirnya perhatianku teralih pada kotak makan siang yang sama sekali tak kusentuh. Orang yang duduk disebelah mejaku mengatakan kalau itu dari Kuroda-san tapi, selama jam kerja pria itu tidak mengatakan apapun padaku tentang kenapa dia memberikan bekal makanan ini. Kuambil kotak makan siang itu dan kupikir kalau aku harus mengembalikan itu padanya. Meski aku tahu kalau perutku sangat lapar tapi aku tidak sanggup memasukan makanan apapun kedalam mulutku. Aku bahkan hanya bisa makan beberapa potong biskuit yang kubeli saat jam istirahat tadi di kantin kantor. Perutku benar-benar tidak bisa menerima makanan apapun padahal setelah hampir sepanjang pagi muntah, aku sudah menguras isi perutku dan tak ada lagi yang tertinggal. Harusnya aku merasa sangat lapar tapi ... tak ada makanan khusus yang bisa masuk ke dalam lambungku. Setelah membereskan semua barang, aku segera berjalan keluar dari kantor. Ini sudah hampir pukul sebelas malam, kurasa aku harus bergegas untuk mengejar kereta terakhir. Aku mempercepat langkahku untuk tiba di stasiun, menggunakan pass ticket untuk membuka akses pintu menuju peron. Beruntung sekali aku karena aku tidak terlalu terlambat untuk kereta terakhir malam ini. Meskipun ini kereta terakhir, tapi aku melihat cukup banyak orang di dalam sana. Beberapa bahkan terlihat mengantuk dan tertidur sambil memeluk tas kerja mereka. Aku juga ... biasanya aku akan melakukan hal yang sama seperti mereka tiap kali pulang selarut ini. Tapi sekarang, aku malah memilih berdiri di depan pintu sambil sebelah tanganku memegang perut yang tersembunyi dibalik jas dan kemeja kerjaku. Perut itu memang masih datar tapi, aku sudah bisa merasakan bagaimana ada kehidupan yang sedang tumbuh di dalam sana. Membuatku tak nyaman sepanjang hari dan seolah terus meminta perhatianku. Dan saat kusentuh perutku seperti ini, rasanya dia seperti berhenti membuatku tak nyaman dengan tubuhku sendiri. Seolah-olah dia perlahan mulai tertidur di dalam sana. Aku mungkin ingin mengaborsinya, membuangnya selama ayah anak ini tidak tahu menahu soal keberadaan dia. Tapi sekarang.... "Huh...?" Aku melihat pantulan wajah seorang yang tak asing untukku dari kaca jendela pintu kereta api itu. Seorang pria dengan sepasang mata sedinign es dan ekspresi kaku yang seperti ingin menelanku bulat-bulat. -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD