5-Bab 5

1059 Words
"Ambar, nanti kamu temenin kakak ke acara ulang tahun temen kakak ya?" pinta Arda. Ambar yang sedang asyik menikmati camilan keripik singkong pun terpaksa menghentikannya. Dia menaikkan sebelah alisnya, sedang memikirkan kira-kira acara seperti apa itu. "Dia baru saja membuka cabang usahanya lagi di Yogyakarta. Dan, ketepatan sekali dengan hari ulang tahunnya, makanya dia mengundang beberapa teman untuk ikut merayakan hari bahagianya itu," jelas Arda. "Kenapa harus Ambar? Kenapa tidak dengan Bang Galih?" Pertanyaan Ambar membuat Arda merasa was-was jikalau Ambar tahu bahwa dirinya dan Galih sengaja mengajak Ambar dengan maksud siapa tahu Ambar kecantol lelaki sana. "Kamu tahu sendiri 'kan kalau abangmu itu sedang sibuk-sibuknya bekerja. Masak kamu tega membiarkan kakak iparmu ini sendirian datang ke sana? Bagaimana kalau ada laki-laki jahat yang menggoda kakak iparmu ini?" Arda memasang wajah memelas kepada Ambar. Supaya adik iparnya itu luluh kepadanya. Rencana ini tak boleh  sampai gagal lagi. "Bisa menambah relasi buat kamu Ambar, buat jaringan bisnis kamu. Kamu juga bisa membicarakannya kepada dia soal bisnis. Kebetulan dia juga membuka usaha kuliner," ujar Arda lagi. Selama dua menit Ambar terdiam. Menggantung Arda yang diliputi rasa penasaran dan penuh harap. Arda yang sedang berdiri di depan pintu pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Ambar. Duduk di karpet dengan nyaman. "Kak Arda ngapain duduk di bawah?" Ambar beranjak dari ranjang lalu ikut duduk di bawah bersama Arda. Dia menyerahkan setoples keripik singkong. "Gimana keputusan kamu?" tanya Arda saat melihat Ambar hanya diam saja. Ambar menghela nafas lelah. Dia sebenarnya malas datang ke acara seperti itu. Namun, melihat wajah memelas dari kakak iparnya juga sekaligus menjaganya dari jangkauan lelaki genit itupun harus dia lakukan. "Baiklah." Arda menyembunyikan senyuman bahagianya. Dia mengatakan acaranya diadakan nanti malam di cafe Bruno. Dia juga menyampaikan maksud mengajak Amnar pergi supaya tak bertemu dengan teman ayahnya yang selalu mengganggu ketenangan mereka. Tentu hal itu disetujui oleh Ambar, karena dia sungguh terganggu akan kedatangan pria paruh baya berambut gondrong itu. Keduanya pun memilih menikmati keripik singkong sambil bercengkerama. Akan tetapi, lebih tepatnya Arda yang sibuk mencari topik pembicaraan. Tidak dengan Ambar yang cuek dan memilih membisu. Baru saja duduk dengan tenang, suara ayah memanggil keduanya membuat Arda lekas ke luar kamar Ambar. Sedangkan, Ambar memilih diam dan menghiraukan. Dalam diam ini dia sambil memikirkan bagaimana caranya supaya dia bisa memecahkan teka-teki ini. Sepertinya dia harus datang ke kamar ayahnya secara diam-diam. ******* "Dimana Ayah?" tanya Ambar kepada Arda yang sedang memotong buat apel dan beberapa buah lainnya untuk dijadikan salad buah. "Tadi katanya mau memancing sama temennya itu," jawab Arda tanpa menatap Ambar. Dia tampak fokua supaya jari-jarinya tidak terkena oleh pisau. Ambar tersenyum tipis. Dengan mengendap-endap dia berjalan menuju kamar Ayah. Walau terkesan seperti pencuri, setidaknya ini yang dapat dia lakukan. Memang bukan hal yang patut dicontoh, tetapi ini salah satu cara untuk menuntaskan rasa penasarannya walaupun kemungkinan tipis dia menemukan sebuah pentunjuk. Karena baginya perkataan Sang Ayah selalu diliputi oleh kejujuran. Dia beranggapan bahwa wanita paruh baya itulah yang telah berbohong dan hendak menipunya. Saat langkah kakinya sampai di depan pintu kamar Ayah, dia menengok kanan-kiri lalu membuka pintu itu dengan pelan. Dia lega saat pintu kamarnya tidak terkunci. Dengan cepat Ambar masuk dan menutupnya. Mengedarkan pandangan ke seluruh kamar Ayah yang bercat warna putih. Dia merogoh laci-laci. Melongokkan kepalanya ke bawah ranjang. Dia juga tidak menemukan apapun. Masih satu tempat yang belum dia cari yakni almari. Dia membukanya dengan pelan, kebetulan sekali tidak dikunci. Mencarinya penuh kehati-hatian supaya tidak mencurigakan. Biar baju-baju itu masih tertata dengan rapi. Saat di almari bagian atas, dia menemukan sebuah berkas-berkas banyak di sana. Baik ijazah, KK, dan lain sebagainya. Namun, dia tak menemukan sebuah buku nikah. Hendak menutupnya kembali dengan penuh kecewa, Ambar melihat sebuah buku kecil yang membuatnya penasaran. Dia meraihnya dan membukanya perlembar. Tak ada tulisan yang istimewa, karena dia tak bisa membacanya. Namun, saat lembar ke 19 dia menemukan sebuah foto kecil bertiga. Dua lelaki dan satu wanita yang sangat dia kenal. Ah, kedua matanya membulat saat dia memperhatikannya lamat-lamat. Wanita itu adalah wanita paruh baya yang selalu datang ke restorannya. Jantungnya berdetak dengan kencang. Foto ini menandakan bahwa ayah sangat mengenali wanita itu. Hanya saja, kenapa buku nikah tidak dia temukan sama sekali. Bahkan, buku nikah antara ayah dan almarhum ibu tirinya juga tak ada. Entah dimana ayah meletakkannya. Ambar kembali menutup almari itu dan menyimpan foto itu di dalam saku bajunya. Dengan segera dia ke luar kamar, belum sempat tangannya menarik gagang pintu, seseorang dari luar sudah menariknya lebih dulu. Ambar terkejut. "Loh Ambar?" Dia menatap datar pria paruh baya yang menjadi teman ayahnya itu. "Kenapa ada di kamar ayahmu?" tanyanya membuat Ambar jengkel. Memangnya dia tak boleh masuk ke dalam kamar ayahnya? "Mencari Ayah, tetapi rupanya Ayah tak ada di kamar," jawab Ambar terdengar masuk akal. Namun, tidak dengan pria gondrong dihadapannya yang terlalu cerdik itu. "Kenapa pintunya harus ditutup?" "Ya, mungkin terkena angin. Ambar mau ke dapur dulu," ujar Ambar lalu berjalan menuju dapur. Dia tak perlu memanjangkan pembicaraan. Karena hal itu akan membuat pria itu tak berhenti berbicara padanya. Ambar mengambil es dalam kulkas. Dia meminumnya sambil duduk dengan wajah melamun. Hingga kedatangan Arda membuat Ambar terkejut. "Kenapa sih?" tanya Arda heran sambil mengambil keju dan mayonaise. Ambar menggelengkan kepala. "Ayah udah pulang toh?" "Belum, cuman temennya aja yang udah. Katanya ayah masih diajak berbicara sama tetangga." Ambar mengangguk paham. Dia lalu mencuci gelasnya. "Ambar ke kamar dulu, Kak." Arda mengangguk. Dia masih heran dengan sikap Ambar. Namun, dengan segera dia enyahkan pemikiran itu. Dia memilih melanjutkan kegiatannya. Sebelum nanti mempersiapkan diri untuk datang ke acara ulang tahun temannya. Saat asyik membuat salad buah. Pria berambut gondrong itu datang tiba-tiba membuat Arda kaget setengah mati. Untung saja jantungnya aman. "Wah, enak sekali sepertinya," katanya sambil tersenyum senang. Arda hanya mengangguk saja menanggapi perkataannya. "Pintar sekali kau memasak. Oh ya, mana suamimu itu? Kagak ada batang hidungnya sedari tadi." Arda menghela nafas panjang. "Lagi bekerja." "Kerja terus, makin kaya tuh. Kulihat dia juga sering pulang malam. Lembur terus ya. Ya, kudo'akan semoga rezekinya lancar." Arda mengaminkan. Dia memasukkan sekotak salad buah ke dalam kulkas. Akan dia makan nanti ketika sudah dingin. Dikembalikannya sisa keju ke tempat semula. Dia lalu pamit ke ruang tamu pada pria paruh baya itu. Daripada di sana bersama pria itu yang dia bingung harus berkata apa dan menjawab apa. "Sendiri lagi," gerutu pria paruh baya berambut gondrong itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD