Suara dentingan sendok saling beradu meramaikan pagi nan cerah ini. Semua penghuni rumah tampak menyelesaikan sarapan pagi yang sudah lama ditinggalkan. Hal ini dilakukan karena kedatangan tamu dari si Ayah.
"Ah, leganya. Enak sekali masakan menantumu tuh," ucap pria berambut gondrong itu yang tadi malam mengagetkan Galih—Abang Ambar yang baru pulang dari kerja karena lembur. Bagaimana tidak, berdiri diantara kegelapan. Memakai baju putih dan rambut gondrong terurai.
"Ya jelaslah, makanya kau cepat nikah sana supaya ada yang masakin."
"Halah, kau tahulah calonku udah nikah dan punya anak."
"Cewek 'kan masih banyak," ucap Ayah. Ambar, kakak iparnya dan abangnya hanya diam mendengarkan. Mereka masih menikmati makanannya. Sedangkan, kedua pria yang tak beda usia itu sudah menyelesaikan makanannya.
"Hahah, kenapa kau tidak nikah saja? Kau 'kan juga jomlo."
Ambar hampir saja memuntahkan makanannya. Arda pun juga sama, dia menahan tawa yang hendak ke luar. Sedangkan, Galih menahan kesal mendengarnya. Dia heran bagaimana bisa ayahnya membawa tamu yang sikapnya bikin kepala pusing. Padahal umurnya sudah tua tetapi kelakuan bak anak muda.
"Kau nikahkan saja aku dengan anakmu tuh," ujar pria berambut gondrong itu.
Ambar melotot mendengarnya. Walaupun hanya bercanda, tetapi bisa membuat hatinya merasa sesak seketika. Untung saja dia sudah menelan makanannya. Jika tersedak justru membahayakannya. Masalah sepele, tetapi bisa membuat orang meninggal.
"Udah-udah, kau membuat anak-anakku ketawa saja."
"Alhamdulillah, dapat pahala aku," kata pria itu dengan bangga.
Ayah lalu mengajak temannya menuju halaman depan. Ambar yang kesal pun memutuskan berdiri. Namun, ponselnya berbunyi membuatnya mengurungkan niatnya menuju kamar. Dia memang selalu membawa ponsel kemanapun. "Selamat pagi, Bu."
Suara karyawannya di seberang sana menyambut telinganya. "Ya?"
Helaan nafas terdengar. "Maaf, Bu. Wanita itu kembali datang dan menanyai keberadaan ibu."
Ambar kesal setengah mati. Lagi-lagi wanita paruh baya itu mengganggunya. "Kasih makan lalu suruh pergi. Saya tidak akan ke sana jika wanita itu masih ada di restoran."
"Baik, Bu."
"Kamu kenapa?" tanya Galih melihat raut wajah Ambar yang kesal.
"Tidak ada apa-apa," jawab Ambar dengan singkat.
"Kalau ada masalah bilang, jangan dipendam sendiri. Abang bisa bantu kamu," tutur Galih. Dia begitu posesif kepada adik perempuannya itu setelah kejadian dua tahun yang lalu.
"Enggak Bang," elak Ambar lalu pergi meninggalkan meja makan.
Galih menghela nafas pelan.
"Sudah Mas, biarkan Ambar menenangkan diri dulu. Kita tidak bisa memaksanya untuk bercerita."
"Iya benar, Sayang. Mas bantu cuci piring. Maafin Ambar ya enggak bantuin kamu malah nyelonong."
"Enggak apa-apa Mas." Arda justru senang. Hal ini baginya romantis. Cuci piring berdua dengan sang suami. Hal yang jarang dilakukan semenjak suaminya itu sibuk bekerja. Mengingatkannya pada masa muda dulu.
Setelah selesai mencuci piring, Arda menghampiri suaminya yang lebih dulu masuk ke dalam kamar. Tak ikut bergabung dengan ayah maupun teman ayahnya. Dia melihat Galih duduk bersender sofa dengan ponsel ditangannya. "Kenapa dengan wajahmu Mas?" tanya Arda saat melihat raut sedih yang begitu kentara di wajah suaminya.
"Sudah dua tahun, tetapi Ambar masih sama."
"Kita sudah mencoba berbagai cara Mas. Termasuk mencari tahu di mana lelaki itu. Tetapi, sampai saat ini belum ada titik terang."
"Jika lelaki itu kabur, tak mungkin selama ini. Orang tuanya bahkan masih mencari tahu keberadaannya. Mas sempat curiga jika ada orang-orang licik yang sengaja menghancurkan kehidupan Ambar."
Arda menghela nafas gusar jika memang benar apa yang dikatakan oleh suaminya itu. "Apa mungkin ada yang ingin balas dendam dengan Ambar?"
"Kenapa? Ambar bukan orang yang jahat."
"Mungkin karena cinta bertepuk sebelah tangan?" tebak Arda sambil berpikir keras.
"Bisa jadi. Ah, Mas tidak akan pernah melupakan karena kejadian itu membuat suasana rumah menjadi sepi. Ambar semakin tak kita kenali saja."
Arda mengusap bahu suaminya. Dia teringat perkataan sepupunya beberapa hari yang lalu. "Bagaimana jika dijodohkan?"
Galih melirik sekilas ke arah istrinya. Berpikir sejenak kemudian menggelengkan kepala. "Tak yakin."
"Kenapa tidak mencobanya? Hanya perkenalan saja, jika Ambar mau maka lanjut. Jika tidak ya mungkin mencarikan lelaki lain lagi."
"Siapa kandidatmu?" tanya Galih.
"Itu masalahnya. Aku bingung Mas."
"Idemu tidak terlalu buruk. Tetapi, kamu tahu setiap kita kenalkan lelaki Ambar selalu menolak. Bahkan, sampai mendiamkan aku beberapa hari," gerutu Galih kesal saat mengingatnya.
"Apa salahnya mencoba. Jika Ambar tak mau bisa menolak."
Galih tersenyum tipis mendengarnya. Dia mempunyai rencana lain supaya Ambar bisa kembali seperti dulu lagi. Baginya siapapun lelaki itu yang dapat mengembalikan senyuman manis Ambar, akan dia cari sampai ke ujung dunia sekalipun.
******
Ambar memutuskan libur bekerja dan menikmati harinya dengan berselancar di dunia maya. Mencari tahu info terkini. Membaca berita dapat mengalihkannya dari kejenuhan ini. Tak biasa berdiam diri kini harus dia paksakan.
Suara dering ponsel kembali berbunyi disaat dia baru saja hendak membuka aplikasi berwarna biru itu. Dia merasa jengkel karena diganggu begini. "Ada apa?" tanyanya dengan ketus setelah mengangkat panggilan telfon itu.
"Maaf, Bu. Wanita itu masih memaksa ingin bertemu dengan Ibu," ujar karyawannya yang terdengar agak takut. Ambar menghela nafas panjang. Dia sungguh pusing dengan masalah ini.
"Apa kamu tidak mendengarkan perkataan saya tadi? Kasih dia makan lalu usir dia!" Ambar berkata dengan nada marah.
"Su–dah, Bu. Tetapi .... "
"Panggil satpam, jangan membuat saya malu karena kericuhan yang terjadi. Saya tak akan ke sana. Saya serahkan semuanya kepada kamu," ujar Ambar dengan tegas.
"Ba–ik, Bu."
Ambar langsung mematikan sambungan telfon. Dia membanting ponsel dengan kesal. Terus menggerutu mengenai wanita paruh baya itu. Dia bingung apa masalah wanita itu hingga masih menemuinya. Dia harap tidak seperti dalam novel yang mengaku-ngaku sebagai seorang ibu supaya dapat uang dengan cepat. Dia tidak akan sebodoh itu.
Pikirannya yang kalut jadi suka suudzon. Dia menepuk pelan pipi kanannya. Sepertinya meminum es lebih enak untuk menyegarkan pikirannya.
Lalu dengan cepat dia ke luar kamar. Mengendap-endap karena tak mau bertemu dengan sang Ayah maupun teman ayahnya itu. Ambar menghela nafas lega saat tak menemukannya.
Dibukanya kulkas dan diambilnya es buah yang sempat dibuat oleh kakak iparnya itu. Dia memilih menikmati es buah di ruang makan.
"Eh, Ambar." Ternyata tidak sesuai harapan Ambar. Pria paruh baya itu menggeser kursi dan duduk dihadapannya.
"Ayahmu itu ninggalin saya di depan rumah. Lagaknya mau membantu wanita muda tetanggamu itu. Bentar lagi kau punya ibu tiri lagi," serunya sambil terkekeh pelan.
Ambar memilih diam dan menikmati esnya. Daripada mendengar perkataan pria paruh baya itu yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Merasa diperhatikan, Ambar bangkit dan memgambil es lagi di kulkas. Menuangkan es buah ke wadah mangkok plastik lalu diberikannya kepada pria paruh baya itu.
"Tak usah repot-repotlah kau," ucapnya.
Ambar tersenyum tipis.
"Makasihlah ya, ini buatan siapa? Tampaknya segar sekali."
"Kak Arda."
"Oh, kakak iparmu itu. Ngomong-ngomong, aku ini punya ponakan yang ganteng. Kamu belum punya calon 'kan? Nikah saja sama ponakanku."
Ambar menggerutu di dalam hati. Dia tak mau memikirkan soal itu. Apalagi hatinya masih kaku untuk menerima cinta kembali.
"Ayahmu tadi cerita andai saja ada kehadiram bayi di sini. Dia berharap segera mendapatkan cucu. Ayahmu kesepian. Anaknya sudah berumah tangga, kamu sibuk bekerja. Kasihanlah ayahmu itu, Ambar," ucap pria paruh baya itu mampu membuat Ambar terdiam. Dia merasa ditikam. Tetapi, dia tidak bisa melakukan apapun untuk mewujudkan keinginan Ayahnya. Sementara untuk saat ini.
"Ayahmu itu udah tua, udah bau tanah. Tinggal menunggu panggilan saja. Untuk apa kau menunda-nunda nikah? Tak kasihan kah kau sama ayahmu?" Perkataan pria berambut gondrong yang terkesan ikut campur masalah hidupnya itu membuat Ambar kesal setengah mati. Semenjak kehadiran pria itu di sini, hidupnya memang tak bisa tenang.
Ambar menghela nafas panjang, kemudian berucap, "Semua sudah tertulis. Saya sebagai manusia hanya bisa mengikuti alurnya saja. Mungkin jodoh saya sedang memperbaiki diri dan sibuk bekerja. Nanti akan bertemu di waktu yang tepat."
"Iya benar, tetapi jangan lupa kau perlu berusaha juga."
Ambar mengepalkan tangan kirinya yang berada di bawah meja. Berusaha menahan emosi yang ingin membludak begitu saja. Pertanyaan soal kapan menikah dan sejenisnya memang agaknya membuat dia tak bisa menahan emosi. Namun, karena pria dihadapannya itu sudah tua dia harus menghormatinya. Menjaga ucapan yang hendak ke luar dari mulutnya.
Sebagai jawaban, Ambar hanya mengangguk saja. Dia malas untuk berdebat. Masalah di restorannya saja belum selesai, kini bertambah masalah lagi. Dengan segera dia menghabiskan esnya. Supaya bisa kembali ke kamar lagi lalu merebahkan diri.
"Kenapa kau makan dengan cepat begitu?" tanyanya membuat Ambar hanya bisa terdiam.
"Tak usahlah makan dengan cepat-cepat gitu. Tak ada yang mau mengambil es kau itu."
Ambar mengangguk. Dia butuh seseorang yang melintasi area ini. Setidaknya supaya dia bisa cepat pergi dari hadapan pria paruh baya itu.
"Di sini lumayan sepi, ya. Tetanggamu seperti pada sibuk semua. Keliling ke sana ke mari, tak ada saya lihat orang-orang lewat. Ada, cuman satu, dua, tiga."
Ambar memilih diam mendengarkan. Saat terdengar suara langkah kaki membuat hatinya bersorak bahagia. Akhirnya, penyelamat datang.
"Eh, rupanya makan sama anakku," ujar Ayah. Ambar menghela nafas lega.
"Iya, sekalian mendekatkan diri sama calon istri," jawabnya sambil tertawa. Giginya yang sudah berlubang itu kelihatan yang membuat Ambar menahan tawa.
"Eh, berani-beraninya godain anak gue. Anak cantik gue ini tipenya anak pejabat," ujar Ayah tak mau kalah. Memilih duduk di samping Ambar. Seakan melindungi anak gadisnya supaya tidak direbut oleh buaya macam temannya itu.
Ambar yang sudah menghabiskan esnya pun memilih pamit ke dua pria paruh baya itu. Dia berjalan santai menuju kamarnya. Sepertinya jika ada teman ayahnya itu, dia memilih mendekam di dalam kamar saja. Sungguh membuatnya repot dan pusing saja.
Membuka pintu kamar, membanting tubuhnya di kasur yang empuk itu. Rasanya masalah tak pernah hilang dalam hidupnya. Entah sampai kapan masalah lari dalam hidupnya.