satu

1989 Words
Do what you love or love what you do. Barangkali, sudah banyak yang mendengar kalimat terbaik ini. Motivasi bagi siapa pun yang memerlukan. Sebab, hidup memang hanya perlu memilih dari dua opsi itu. Lakukan apa yang dicintai, atau kalau memang itu tidak berkenan (kamu bisa menyebutnya terpaksa) maka berusahalah untuk mencintai apa yang dilakukan. Untuk diriku sendiri, aku bisa melakukan keduanya. Menyesuaikan kondisi yang sedang kujalani. Dalam perihal pekerjaan, aku lebih memilih opsi kedua; mencintai apa yang kulakukan. Sementara urusan lain seperti makanan, aku jelas memilih yang pertama. Atau, kalau mau lebih meluas, dalam pertemanan, aku pun bisa memilih yang pertama. Karena sejujurnya, aku jauh lebih suka poin pertama. Kesimpulannya, hidup memang pilihan, tetapi tidak melulu menyisihkan opsi yang tak terpilih di detik itu. Sebab kita tak pernah tahu, keesokannya, opsi 'buangan' akan menjadi satu-satunya yang paling solutif dan dibutuhkan. Kasusnya sama seperti yang sedang kujalani sekarang. Seberapapun aku malas, tuntutan itu tetap harus dijalani. Diskusi bersama produser, membahas tema dan bintang tamu yang akan dihadirkan tiga hari lagi. Selalu seperti ini. Tak ada hari tanpa pembahasan tema, bintang tamu, rundown, naskah, briefing pengisi acara dan segala printilannya. "Nayla udah deal sama Al buat datang tiga hari dari sekarang." Bang Jovi---sang produser Bincang Malam---mulai membuka rapat. "Kita nanti bakalan pakai tema Aktor dan Aktris Baru dan Berbakat. Jadi, ada tiga yang bakalan dateng. Al, Chelsea sama Inava. Ketiganya ini udah fix dan sama-sama baru di dunia film. Dan khusus Al, film perdananya kemarin bisa tembus tujuh ratus ribu dalam tiga hari. Keren enggak?" "Serius, Bang?" Angkasa, salah satu patnerku sebagai tim kreatif. Satu-satunya lelaki di tim kami yang terdiri dari enam orang. "Gue nggak nonton deh. Film apaan sih?" "Endless Love. Itu based on novel gitu. Jadi, emang udah gampang narik penonton karena pembaca dari novelnya pun udah nggak keitung." Mata Bang Jovi mengelilingi kami, satu persatu. Seakan siap memberikan tugas negara yang kamu pun sebetulnya sudah bisa menebak. "Nira, Ilana, Amy dan Farah tetap stay buat ngurusin rundown malam ini sekaligus briefing kedua bintang tamunya. Angkasa sama Kay ke rumah Al buat bikin VT (video tape) karena dia yang banyak dicari netizen. Nah ini masalahnya, agak hati-hati, Kay dan Asa." Alarm bahaya seketika menyala merah terang, tetapi aku masih berusaha tenang. "Al nggak punya sosmed apapun, jadi di dalam VT itu nanti, bikin jawaban dari semua pertanyaan masyarakat selama ini. Jadi, pas di upload ke IG BC (Bincang Malam), semua orang bakal tertarik buat nonton. Dan satu lagi, dia agak nyebelin orangnya." Aku mengembuskan napas lega. Semua peringatan Bang Jovi sama sekali tidak menakutkan. Sebab, selama ini, aku sudah bertemu dengan berbagai karakter dari bintang tamu. Dan yang lebih parah adalah datang lima menit sebelum on air. Bayangkan saja bagaimana paniknya asisten produser dan tim karena kesulitan untuk melalukan briefing tambahan. Namun, satu-satunya pertanyaanku sejak tadi adalah; siapa Chelsea, Inava dan Al itu? Karena yang kutahu, satu-satunya aktor di Indonesia adalah Reza Rahadian. Khusus di tahun 2017 ini, aku sudah menonton tiga filmnya; Surga Yang Tak Dirindukan 2, Kartini, dan Critical Eleven. Kalaupun bukan berbintang Reza, aku masih mau masuk ke gedung teater untuk film semacam Cek Toko Sebelah yang lumayan mampu membuat pipiku olahraga. Keluar dari lift di lobi bersama Asa dan Rio (kameramen), aku menemukan Nayla sedang mondar-mandir di depan meja resepsionis dengan tangan yang mengusap wajah. Lihatlah, staf talent satu itu, begitu sibuk karena menghadapi bintang tamu yang kadang ajaib. Tapi, aku kadang cemburu karena dia yang jago berkomunikasi dan persuasi. "Nay, kenapa lo?" Asa bertanya. "Kambing memang!" umpatnya pelan, mukanya sudah memerah dan dia mendekati kami. "Tahu enggak? Bintang tamu yang buat besok malam, tiba-tiba ngontak gue dan bilang ada keperluan mendadak. Besok, Man! Gue mau cari cadangan siapa coba." Nah, begitu salah satunya. "Yang udah pernah dipakek gitu nggak boleh lagi?" Aku ikut memberi solusi. "Lo tinggal lihat daftar datanya, siapa tahu ada yang pas dan mudah buat dinego." "Kayshilla sayaaaang, besok kan tema yang kalian bikin cewek traveller, seberapa banyak sih artis kita yang bener-bener berdedikasi buat alam?" Ah ya, tema hasil brainstorming kami sampai rela lembur. "So?" "Gue mau bilang Bang Jovi dulu deh. Siapa tahu dia punya ide lain. Kalian ini mau ke mana?" "Ke rumahnya Al. Buat VT." Dia menganggukkan kepala. "Asa tahu siapa Al?" Ini satu ledekan. Betapa mudahnya suasana hati perempuan ini berubah. "Rio tahu? Kalau Kay sih gue nggak perlu tanya. Dia paling cupu." "Apaan lo!" Aku menendang betisnya dan membuat dia tertawa. "Gue kenal Reza Rahadian. Seenggaknya itu senjata ampuh gue di depan Bang Jo." "Sama satu lagi, Nay." Asa menginterupsi. "Following IG-nya Kay ampuh banget. Selain Jokowi, gubernur Jakarta, keluarga dan temennya, adanya cuma Zayn Malik, Zedd, Chris Evans, Justin Timberlake dan semua lelaki berambut di muka." "Anjir! Serius, Kay?" Kini, Rio pun ikut memojokkanku. Aku cuma mendengus. Apa salahnya menyenangkan mata dan pikiran? "Nah, itu kenapa gue bilang dia yang paling cupu. Mau datang ke rumah artis tapi nggak tahu siapa yang didatengin. Gue tebak, dia juga nggak ada tuh keinginan buat cari tahu." Untuk urusan menyindirr dan sarkasme, Nayla memang ahlinya. "Makanya, Kay, yang di-follow jangan cuma cowok-cowok berbrewok satu meter. Sadar ngapa sih! Indo tuh nggak punya model brewok begitu. Mentok-mentok kayak Ahmad Dhani. Mau?" Rio dan Asa terbahak di sampingku. Sebelum aku mengeluarkan pembelaaan, perempuan bawel itu sudah berjalan meninggalkan. Ouch. Baiklah. Aku kalah. Sesuai alamat yang diberi oleh staf talent, mobil kantor kami bergerak membelah jalanan Jakarta menuju Sunter. Di kursi belakang, Rio dan Asa sedang terbahak, aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang sedang mereka bahas. Sementara di sampingku, Pak Dadang menyetir dengan antengnya. "Anjir, gue kira ini pantatnya Miyabi." Suara Asa terdengar paling jernih. Lelaki itu .... "Astagfirullah ... yang mana, Yo? Goyangannya Miley di depan mukanya Robin jaman dulu?" "Bukan, b**o! Ada video si Miley sekilas kayak nyolek barangnya Robin." "Wanjer! Hahaha." Aku meringis, ketika Pak Dadang menoleh ke arahku. Demi Tuhan, dua lelaki itu memang k*****t. "Boys, stop it! Ini bukan kamar kalian yang dipenuhi ber-giga hardisk yang isinya Miyabi semua ya. Gue masih polos. Pak Dadang juga kasian tau." "Yeeee, gaya lo polos, Kay. Tiap malam aja bayangin Chris Evans kan?" Memejamkan mata, aku mengembuskan napas pelan. Berbicara dengan Asa memang akan berakhir begini. Aku yang kalah. "Kay, nggak penasaran sama apa yang lagi kita tonton?" "RIO!" Dan, tawa dua makhluk sinting itu kembali menggelegar. Inilah akibatnya berteman dengan lelaki yang sering lupa kalau aku dan mereka memiliki kelamin berbeda.  *** Rumah bernuansa putih. Berlantai dua. Gerbang menjulang tinggi. Aku dan dua pria sinting sedang berusaha menarik perhatian satpam. Rio menenteng perlengkapan kamera dan tripod, sementara aku mulai merangkai apa saja yang harus kutanyakan dalam pembuatan video ini nanti. "Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" "Siang, Pak. Kami dari program Bincang Malam TrendTV, sudah membuat janji dengan Mas Al." "Oh silakan masuk. Mas Al sudah nunggu di dalam." Mengangguk takzim, aku berjalan di belakang dua pria itu. Pintunya tak terkunci, kami langsung disambut oleh ... Astaga ... ini kan dia yang kemarin? Aku menundukan kepala, berusaha bersembunyi. Semoga dia tak mengenaliku. Oh, s**t. Jadi, ini Al, si aktor baru? "Masuk, Mas. Kita ngobrol di dalam aja. Mmm, Mbaknya nggak ikut masuk?" Perlahan, aku mengangkat wajah dan tersenyum canggung. Please, dia tak mengingatku. Katakan, dia tak mengenaliku. "Sebentar deh ... Mbaknya yang kemarin nendang betis gue ya?" "Enggak!" Aku nyengir. Di ujung sana, Rio dan Asa saling tatap, kemudian bertanya padaku lewat ekspresi wajahnya. "Gue malah baru lihat Mas sekarang." "Oh. Iya iya. Lagian nggak penting juga sih. Gue udah sering ketemu sama orang aneh semacam itu. Ayo masuk." Aneh dia bilang? Bukankah dia yang lebih aneh, datang tiba-tiba dan menarik selendangku untuk berlindung? "Oke, jadi gimana? Gue nggak punya banyak waktu. Kalian punya dua puluh menit, karena gue harus hadir di talkshow off air juga." Mataku membulat seketika. Dua puluh menit? Apa dia bercanda? Di sampingku, Asa berdeham ringan, sementara Rio sedang memasang semua alat. "Oke, Mas Al---" "Al aja. Gue masih dua tujuh. Belum tua kan?" Kami mengangguk, serentak. Inhale ... exhale .... Ini bukan kali pertama, Kay. Jangan terpancing emosi. "Lo punya dokumentasi pribadi enggak buat nanti di mix sama wawancara lo gitu?" Asa, yang kutahu adalah lelaki terbaik saat bekerja. Meskipun satu kekurangannya; m***m. "Jadi, nanti Kay bakalan kasih lo beberapa pertanyaan dan selama lo jawab itu ... diputar keseharian lo." "Gue mau tau dong temanya emang apaan?" Berdeham pelan, aku memberanikan diri menatap wajahnya. He's rude. Menyebalkan juga, i know. "Tema yang bakal kita angkat adalah aktor dan Aktris Baru dan Berbakat. Jadi, garis besarnya nanti bakalan bahas seputar awal Mas Al, Inava dan ..." Bagus, aku lupa siapa nama satu aktris yang disebut Bang Jo tadi. "Chelsea." Asa memastikan. "Ah, iya. Chelsea. Karena bintang tamu utama kita Mas Al, jadi yang perlu ditonjolkan di awal ya semua tentang Mas. Itu kenapa, ada pembuatan VT ini yang nanti bakalan di-post di sosmed kita supaya bisa narik penonton." "Pertanyaannya pure tentang pekerjaan?" "Mmm, untuk VT ini, kita pengin kasih jawaban ke masyarakat tentang kisah asmara dari seorang Al. Karena itu yang paling dicari tahu." "Dan, gue nggak mau pembahasan soal itu." Mati. "Kemarin, pihak kalian bilang pertanyaan umum seputar karir gue atau hal-hal yang gue suka. Kalau kalian cerdas, harusnya bisa paham alasan gue nggak punya sosmed karena apa." Kasar. Banget. "So, mau gimana? Tetap lanjut dengan pertanyaan itu? Gue rela mundur deh masih lumayan tiga hari lagi." "Mmm, gini, Al." Asa menengahi. "Lo nggak perlu jawab siapa cewek lo sekarang. Cukup bilang mungkin ... ada seseorang, tapi media nggak perlu tahu. That's it. Nanti bakalan kita penggal videonya pas dibagian lo bilang 'ada someone special' nah dengan itu aja orang-orang bakalan penasaran. Urusan nanti lo mau cerita atau enggak, tergantung gimana obrolan lo sama host kita. Gimana?" Asaaaa, aku menyayangimu. Sangat. "Oke. Boleh. Masnya cerdas nih. Kalau Mbaknya ... kebanyakan marah sih kayaknya ya." "Maksudnya?" "Gue inget banget kok lo orang yang sama yang kemarin nendang betis gue." "Oke, itu gue." Aku memandangnya serius. Dia memulai semua ini dengan cara tidak baik, kan? Apa dia pikir, cuma karena dia seorang aktor, lantas berhak menyudutkanku terus-menerus? "Tapi lo sadar enggak, sebelum nendang betis, gue selametin lo dulu dari wartawan gosip?" "Kay..." Aku mengabaikan ucapan Asa. Lelaki sombong macam begini memang nggak cuma sedikit. Namun, yang keterlaluan semacam Al mungkin belum banyak. "Gue lagi jalan, lo tiba-tiba tarik selendang gue dengan alasan berlindung dari wartawan. Gue baik lho, gue bantu lo dan bonceng lo buat keluar dari area kantor. Soal tendangan betis, siapa yang nggak marah kalau motor kita dihina sama orang yang udah kita tolong?" Dia tertawa. Jenis tawa meremehkan. "Waw. Lo tahu enggak kalau gue laporin lo ke produser dengan sikap nggak sopan lo ini, lo bakalan gimana?" "Dipecat." Aku menimpalinya. "Dan, lo nggak tahu siapa gue?" "Lo Al. Aktor baru." Tawanya makin membesar. "Nice girl. Oke, Mas. Kita lanjut aja. Mau wawancara di mana kira-kira?" Asa menoleh ke arahku. "Background apa yang bagus ya, Kay? Dekat kolam renang gitu kali ya?" "Boleh." "Ada kolam renang kan, Al?" "Ada. Di belakang." Kami mulai mempersipkan semuanya, sambil menunggu ia berganti pakaian. Semuanya berjalan sesuai dengan niat awal dan seharusnya. Well, aku akui dia memang manipulatif. Bisa seasyik itu saat di depan kamera tetapi sangat menyebalkan di real life. Tanpa make up pun, wajahnya bahkan bisa menyesuaikan dengan cahaya. Sangat menarik. Mungkin, kalau aku lebih dulu nonton filmnya dibanding bertemu kemarin, aku akan memuji ketampanannya. "Oke, selesai. Makasih banyak, Al. Sampai ketemu tiga hari lagi." "Sama-sama, Mas. Kira-kira videonya kapan jadinya?" "Ntar malem juga bisa jadi sih, atau paling lama besok. Kenapa?" "Nanti kirimin ke gue dong video jadinya." Tanpa kata 'tolong'. Bagus. "Karena gue nggak pakai segala sosmed, boleh kirim langsung ke rumah ini?" "Email nggak punya?" Aku sangat tidak suka ada pengisi acara yang songong kepada kru. Sungguh. "Punya manajemen lo gitu?" "Bisa kok, Al. Nanti kita kirim langsung ke sini dalam bentuk DVD." Aku memelototi Asa dan dia justru balas membesarkan matanya. "Oke, thank you." Lelaki sombong satu ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD