Terus Mencari Tanpa Mengenal Lelah

1594 Words
Hujan turun dengan lebatnya, petir dan guntur bersahut-sahutan. Bening duduk di atas brankar sambil memandang keluar jendela, kedua telapak tangan menutupi telinganya, saat petir menyala bak sebuah lampu blitz, Bening menutup kedua matanya. Pikiran Bening kembali ke masa lalu, ibunya pergi bersama hujan dan dengan hujan pula, Sardi menarik tangannya dan membawanya pergi hingga ia tak lagi pernah berjumpa dengan Hardy, kakaknya. “Sewaktu aku masih kecil, aku suka sekali main hujan-hujanan. Sekarang pun masih, hanya saja aku memastikan rumahku sepi saat aku melakukannya ... aku malu jika ada orang tahu, segede ini masih suka hujan-hujanan. Tapi, aku memang suka.” Ari membayangkan kisah masa kecilnya. Bermain hujan-hujanan bersama saudara-saudaranya selalu menjadi hari yang istimewa, tidak peduli jika mamanya mengomel. Hujan selalu membuatnya bahagia. Ari mendekati jendela, ia menyentuh kaca seolah sedang menyentuh air hujan. Ia bisa membayangkan dirinya sedang menari-nari di bawah hujan. Pasti menyenangkan jika main hujan-hujanan apalagi bersama Bening. “Aku benci hujan. Hanya menghambat pekerjaanku.” Bening mendesah, ia memang sangat membenci hujan. Setiap kali turun hujan, kue-kue dagangannya menjadi kurang laku karena kebanyakan orang memilih tinggal di rumah ketimbang keluar walau sekedar memanggil dan membeli kuenya. Ari memutar badan, ia menyandarkan punggung pada frame jendela, kedua tangannya mencengkeram frame untuk menopang badannya. Memandang Bening yang cantik membuat Ari berharap waktu berhenti sejenak sehingga ia bisa berlama-lama memandang Bening. Bening menatap Ari, ia sedikit menelengkan kepala. Ia membayangkan sosok Hardy mungkin seperti sosok Ari. Tinggi, besar, tampan dan mempesona. Bening segera membuang muka, ia tidak boleh terpesona kepada seseorang seperti Ari, pria itu terlalu baik baginya. Bening tidak boleh membuat harapan apapun sebelum hal buruk bisa saja terjadi. Hal buruk sering terjadi dalam hidupnya. Ari mengangkat kedua alisnya, ia berdehem untuk menguatkan dirinya bahwa tatapan Bening hanya tatapan biasa. Ari senang diperhatikan oleh Bening, tapi selalu saja ada desiran aneh setiap kali ia mengetahuinya. Sial! Seandainya ada alat penghenti waktu maka ia akan menjual semua hartanya untuk membeli alat itu. Ia sangat menyukai apapun yang ada pada Bening, tubuhnya, rambutnya, kulitnya, suaranya dan tentu saja cara Bening menatapnya. Ari berdiri tegap, ia kembali berdehem untuk membuang perasaan canggung itu, ia tidak akan bisa bertahan lebih lama jika ia terus bersitatap dengan Bening. Bisa saja nafsu justru mengontrol pikirannya dan jika itu sampai terjadi maka tidak ada jaminan ia bisa semakin mendekati Bening. “Mamaku juga tidak suka hujan. Ia juga sering berkata, hujan hanya membuat rumahnya kotor dan membuatnya malas keluar rumah.” Ari memutar tubuh, kembali memandang hujan yang masih turun dengan deras. Bening mengangguk pelan, menyetujui pemikiran mama Ari, siapa juga yang mau berbasah-basahan bila pada akhirnya pekerjaan rumah semakin menumpuk. Hujan memang membuat orang enggan keluar, seandainya ia tidak terpaksa pun ia memilih tetap di rumah daripada bertempur dengan hujan yang menyebalkan. “Mamamu benar.  Hujan memang menyebalkan.” Bening menatap punggung Ari, perlahan pria itu memutar tubuh lalu menatapnya dengan dua tangan dilipat di depan d**a. Ari menghela napas, mungkin kebanyakan kaum perempuan tidak suka dengan hujan tapi hujan sangat menyenangkan. Ia ingin suatu saat mengajak Bening main hujan-hujan bersama dirinya lalu mandi air hangat berdua. Oh, sial! Tidak seharusnya pikiran kotor mengisi kepalanya. Dering ponsel yang ada di kantong Ari, merusak suasana. Ari ingin menghiraukannya namun nada ponsel itu menjelaskan bahwa ayahnyalah yang menghubunginya. Ari merogoh saku celana, tanpa menunggu Ari segera mengusap simbol telepon untuk menerimanya. “Halo, Ayah.” “Hei, Nak. Ayah memberimu klien pertama. Pulanglah! Dia ada disini.” “Ehm, aku pulang sekarang.” “Hati-hati! Orangnya sabar menunggumu.” “Berhentilah menganggapku bayi!” “Hahahaha, bagiku kamu tetap bayi Ayah. Pulanglah!” Ari tertawa, ayahnya memang ayah terbaik. Pria itu selalu saja bersikap berlebihan padahal seharusnya sudah tidak lagi khawatir mengingat usia Ari memasuki angka tiga puluh. Tapi orangtua memang seperti itu, terkadang sikap mereka berlebihan sekali. Bening menangkap ekspresi ceria Ari, ia merasa cemburu karena Ari memiliki ayah yang baik. Ayah yang ada di dalam impiannya sejak kecil, bukan ayah macam Sardi yang baginya adalah sosok seorang monster. “Pergilah! Ayahmu menunggu.” Meski sebenarnya Bening menginginkan Ari ada disini, namun ia sadar Ari bukan siapa-siapanya. Sebuah kebahagiaan kecil adalah hadiah yang sangat langka dan kini saat ia mendapatkannya, ia harus bersyukur sekali setidaknya ada selingan indah diantara kesedihan beruntun yang terjadi di dalam hidupnya. *** Dua sosok pria berdiri di depan rumah mereka masing-masing. Rumah itu berada di sebuah perumahan yang baru saja selesai dibangun, bergaya minimalis dengan dua lantai. Keduanya berdiri berjajar sambil memandang keindahan rumah baru mereka. “Wah, untung saja cepat-cepat membelinya.” Pria memakai kemeja abu-abu menoleh ke arah pria memakai kemeja biru kotak-kotak. “Anda benar. Untung saja,” sahut pria memakai kemeja kotak-kotak. Kedua pria itu saling mendekat, keduanya terhalangi oleh pagar yang hanya setinggi pundak mereka. Keduanya bertukar senyum, keduanya saling mengulurkan tangan dan saling menjabat. “Saya Arjuna. Senang menjadi tetangga anda,” ujar pria memakai kemeja kotak-kotak biru. “Saya Rahmadi. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan mengetuk pintu rumah saya,” sahut pria memakai kemeja abu-abu. “Anda tinggal dengan siapa?” Arjuna memandang rumah Rahmadi, tidak ada siapapun selain pria itu. “Seharusnya saya sama adik saya. Dia...” “Juna, ya ampun. Rumahmu besar amat.” Seorang wanita memakai gamis berwarna hijau baru saja keluar dari mobil sedan tua dan segera memukul pelan pundak anaknya. Ia bersyukur anak semata wayangnya telah menjadi seorang yang sukses hingga memiliki sebuah rumah yang baginya sangat mewah. “Ibumu langsung ngajak kesini waktu tahu kamu masuk rumah baru.” Seorang pria dengan janggut dipenuhi bulu berwarna abu-abu dan putih yang lebat serta memakai peci putih segera mendekati sang putra. “Pak Rahmadi, mereka orangtua saya. Mereka akan tinggal disini bersama saya. Jika anda kesepian, silahkan datang kesini. Kami akan sangat senang menerima anda.” Arjuna tulus mengatakannya. Rahmadi mengangguk pelan kepada orangtua Arjuna, keluarga yang benar-benar harmonis. Rahmadi tidak ingin terlalu lama disini karena pekerjaan sedang menunggu. “Maafkan saya, tapi saya harus kembali bekerja.” Rahmadi tidak membuang waktu, ia segera masuk ke dalam mobil van berwarna hitam dan segera keluar dari halaman rumahnya. “Ganteng sekali pria itu,” gumam ibu Arjuna. “Gantengan aku lah Bu.” Arjuna setengah merajuk membuat ibu Arjuna menepuk pundak anak yang masih saja manja meski usianya tak lagi muda. “Kalau ganteng, seharusnya ibumu sudah menggendong cucu.” Ibu Arjuna pura-pura sewot, tetapi sebenarnya ia memang sangat menginginkan seorang menantu dan beberapa cucu. “Aku masih bingung milih, Bu. Terlalu ganteng ternyata membuatku susah mencari istri yang tulus mencintaiku,” “Gombal! Kamu ini Arjuna, kalau terlalu milih nanti dapat bongkeng, ubi busuk.” ledek sang ibu. “HP saja yang apelnya digigit, jadi incaran. Apalagi wanita.” Arjuna tertawa terbahak-bahak. Analogi paling buruk yang pernah ia jadikan candaan dan sukses membuat ibunya menepuk pundaknya beberapa kali. “Aduh, sakit ibu.” ***                 Klien pertama Ari ternyata adalah seorang pria yang sedang mencari adik yang hilang selama lima belas tahun. Tanpa foto dan tidak ada siapapun yang terkait dengan gadis itu selain memiliki ayah kejam yang juga tidak ada fotonya. Hanya berupa gambaran ciri-ciri fisik yang harus ia buat sketsanya. “Sialan kamu, kamu mempermainkanku.” Ari melirik saudara laki-lakinya, pria yang dibawa pulang sang ayah lima belas tahun lalu dalam keadaan sekarat. “Apa kamu pikir ini candaan menarik? Aku bisa membayarmu berapapun asal kamu bawa pulang adikku.” Hardy sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Lima belas tahun sudah berlalu dan ia belum menemukan Bening. Apakah dia hidup atau sudah mati? Hardy membuang pikiran tentang Bening sudah mati. “Bukannya kamu sudah menyewa seseorang untuk menemukannya.” Sejak awal Hardy datang, ia sudah meminta Bimo untuk mencarinya namun sampai sekarang hasilnya nihil. “Jika aku sudah mendapatkannya. Untuk apa aku menggunakan jasa amatiran sepertimu.” Hardy mengolok Ari. Pria itu bahkan mencibir secara terang-terangan. Hardy sangat menyukai Ari yang sedang sebal, meski usia Ari lebih tua tiga tahun darinya namun entah mengapa ada sisi kekanak-kanakan yang lebih banyak dari diri Ari dibanding dengan dirinya. “Kamu bilang aku amatiran? Oke, aku amatir. Lalu kenapa pengusaha sukses sepertimu menyewaku?” Ari geram. Sial sekali disebut amatir oleh Hardy, padahal Hardylah yang menguatkannya untuk keluar dari kepolisian dan menjadi semacam detektif swasta. Hardy tertawa, ia menepuk pundak Ari pelan untuk menenangkan pria itu. “Untuk inilah aku memintamu keluar dari kepolisian. Ari, aku mohon bantuanmu. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Bening di luar sana. Aku harus membawanya pulang, aku harus membuatnya aman. Aku...” “Siapa nama adikmu tadi?” Ari mendengar nama Bening disebut, namun ia ragu apakah nama itu benar-benar Bening. “Bening. Nama adikku Bening. Apa kamu lupa? Oh, aku memang jarang sekali menyebut namanya. Menyebut nama adikku membuatku terluka.” Hardy selalu merasa hatinya dilubangi setiap kali menyebut nama adiknya. Perasaan bersalah membuat tidurnya tidak pernah tenang. Lima belas tahun sudah ia hampir tidak pernah mengistirahatkan tubuhnya. Bening seolah menghantuinya, setiap kali ia tertawa maka Bening masuk ke dalam pikirannya, melenyapkan perasaan suka berganti sebuah pertanyaan besar tentang dimana Bening sekarang. “Oh sial! Kurasa aku bisa mencarinya dari satu tempat.” Meski tidak yakin, namun Ari ingin memastikan tentang hubungan Bening si gadis manekin dengan Hardy. Ari berharap Bening yang ada di rumah sakit adalah Bening yang dicari Hardy selama ini. Seandainya benar, Ari sangat bersyukur dan hubungannya dengan Bening pasti berkembang dengan baik. Ari berharap Bening adalah Bening yang sama yang dicari Hardy. *** Hardy mendesah, ia duduk di sofa lalu memandang langit-langit rumahnya. Ingatannya kembali berputar lima belas tahun silam saat ia kembali ke rumah yang kosong sementara Bening, tidak ada disana.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD