Bab. 3 - Tetap Tegar

979 Words
Disaat semangatku semakin lapuk Dan keputusasaanku semakin menjadi Langkahku tetap kuusahan semampuku berjalan Dan berharap aku bisa mengusaikan segalanya dengan segera.. - Anisa - *** Suara tangisan Anisa masih terdengar dari balik pintu kamarnya. Gadis itu tersungkur memeluk bantal. Sesekali ia diam dan minum air. Tapi tak lama tangisnya pecah kembali. Masih terngiang tentang perkataan Bima sore tadi. Rasanya cabikan di hati makin kentara ia alami. "Bukannya aku nggak sayang sama kamu, Nis. Tapi, kamu tahu sendiri kan gimana bapak dan ibuku. Aku udah berusaha minta mereka menerima kamu. Tapi nggak bisa." "Kalau memang kamu beneran sayang sama aku, harusnya kamu pilih kata hatimu, Bim..." "Aku minta maaf..." "Kamu yakin alasannya hanya karena restu orang tuamu? Bukan karena kamu CLBK sama mantanmu itu?" Bima hanya terpekur tanpa jawaban pasti. Sejak awal Anisa sudah merasa ada yang janggal. Mulai dari waktu ia diundang ke acara nikahan keluarga Bima. Di sana ternyata ada mantan Bima yang bernama Dewi. Seorang perempuan berkulit kuning langsat dan parah cantik dengan bibir mungilnya. Ditambah, silsilah keluarga Dewi yang dari kalangan PNS. Jelas jauh dibandingkan dengan Anisa yang hanya dari keluarga biasa-biasa dan sederhana saja. Belum lagi tentang ibunya yang selingkuh dan adiknya yang doyan judi, makin menjatuhkan citra Anisa di mata keluarga Bima. Ia tak akan mampu menyaingi Dewi yang jelas punya lampu hijau dari orang tua Bima. "Ini kamu pakai uangku. Nggak usah dikembalikan. Kapan pun kamu butuh bantuan lagi, kalau aku ada akan kubantu." Bima mengalihkan topik. Ia menyodorkan uang pada Anisa. Gadis itu menolak tegas. "Nggak perlu. Pakai saja untuk tambahan biaya acara lamaran dan nikahanmu nanti. Kudoakan pilihanmu sesuai harapan. Jangan hubungi aku lagi. Mulai sekarang, kita bukan siapa-siapa. Makasih, Bim." Setelah menyelesaikan ucapan, ia pun masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu. Bima tak bisa berbuat apa-apa. Ingin sekali ia mengetuk pintu dan mengharap Anisa mengerti akan dirinya. Hanya saja, sesuatu seakan melarang keras. Alasan ia tak bisa menolak perjodohan. Anisa tidak tahu, kalau bukan hanya karena restu. Ada hal lain telah lama disembunyikan pria yang ia cintai. Memori itu tertutup kembali. Anisa bangun dari kesedihan. Ia terduduk menatap tembok dengan pandangan kosong. Air matanya mulai berhenti. Agaknya bendungan di kelopak retinanya telah mengeruh perlahan. Tak ada tisu bisa mengusap sisa lelehan tangisnya. Hanya ada kain sarung milik ayahnya yang lama tak terpakai. Suara adzan Isya menggema. Anisa menguatkan langkah menuju kamar mandi. Membasuh diri dengan air wudhu. Ia butuh pelukan dari Sang Pencipta untuk menyudahi sakit batinnya sekarang. Dua puluh lima menit tak terasa, Anisa baru saja mengusaikan salat dan mengaji ketika mendengar suara gedoran pintu dari luar. Cepat-cepat ia melipat mukena dan menyimpannya kembali. Matanya masih sembab. Ia ke luar. Diintipnya dari jendela, benar dugaannya. Pak Rudi beserta tiga orang bodyguard seakan siap merusuh di rumah Anisa. Gadis itu kebingungan. Ia belum dapat uang serupiah pun. Cuma ada dua ratus lima pulih ribu di dompet, itu pun hanya cukup untuk biaya makan dirinya dan ayahnya sampai gajian minggu depan. Ia tak peduli lagi dengan adiknya yang kabur entah ke mana. Baginya, Heru hanya sumber masalah besar. Ada atau tidak, tetap saja menyulitkan kakaknya. Mau tak mau Anisa membuka pintu sebelum mereka menjebol dan memaksa masuk. Pak Rudi membuang puntung rokok yang sejak tadi ia hisap. Menginjak dengan sepatu kulit yang tampak mahal sampai sisa-sisa apinya padam, dan hanya tersisa asap saja. "Gimana? Sudah ada uangnya? Bunganya jalan terus loh," kata Pak Rudi memperingatkan. "Saya minta tolong sangat, Pak. Minggu depan saya gajian. Saya akan bayar cicilannya dengan semua gaji saya. Tolong kasih saya keringanan..." pinta Anisa cemas. "Kamu itu sebenarnya cantik, tapi sayang aja, adikmu itu g****k! Keluargamu juga! Apalagi ibumu itu! Kalau saja dulu kamu terima lamaran anak saya, nggak mungkin hidupmu masih susah begini. Sekarang lihat itu si Susi, istri anak saya, hepi kan hidupnya? Perhiasan banyak, rumah tinggal nempatin, uang tinggal minta, tanah ada. Kurang enak apa coba? Nyesal kan kamu sekarang?" Pak Rudi sengaja menabur garam di batin Anisa yang sudah luka. "Kamu sok-sokan mutusin anak saya. Kalau laki-laki selingkuh itu mah wajar, anggap aja angin lalu. Apalagi kalau banyak uang. Nggak usah banyak mau minta yang setialah apalah," imbuhnya lagi. Dulu. Bukan Anisa tak mau menerima lamaran anak Pak Rudi. Ia terlanjur sakit hati dikhianati oleh Anton. Bukan sekali dua kali Anisa memaafkan dan memberi kesempatan, memang Anton yang tidak pernah mau berubah. Kesabaran dan kerelaan hati Anisa malah disalah gunakan. Ia pun jengah. Terlebih ketika Anisa hendak menerima pinangan Anton, tapi Anton malah ketahuan menghamili anak orang. Makin kecewa hati Anisa. Ia tak punya alasan lagi untuk memaafkan kesalahan fatal itu. Dan agaknya, Pak Rudi masih dendam dengan batalnya pernikahan sang putra kesayangan dengan Anisa. Pak Rudi merasa dipermalukan. Undangan sudah disebar luaskan, semua t***k bengek telah dipersiapkan. Dan dengan mudahnya Anisa memutuskan semua begitu saja. Padahal, hati Anisa lebih tersayat saat itu. Ia juga harus menanggung malu karena gagal nikah. Tapi setidaknya ia bersyukur, tidak menikahi pria seperti Anton. "Maafkan saya, Pak Rudi. Saya memang tidak punya uang. Saya bukan dari keluarga terpandang. Tapi, saya selalu bersyukur dengan keputusan saya waktu itu." Perkataan Anisa mendatangkan kekesalan di hati Pak Rudi. "Cih! Sombong sekali kamu. Lihat sampai sekarang mana ada yang mau melamar kamu? Nggak ada kan? Makanya, belajar tahu diri jadi orang susah tuh." Kali ini Anisa tak membalas lagi. Ia tak mau menyulut masalah makin membara. Lebih baik mengalah agar semua lekas berhenti. "Yasudah. Karena saya lagi baik hati, kali ini saya kasih kamu kesempatan. Tapi, ingat. Ini yang pertama dan terakhir! Kalau kayak gini lagi, kamu dan bapakmu yang stroke itu harus pergi dari rumah ini! Paham?!" bentaknya serius. Anisa mengangguk paham. Pak Rudi pergi bersama orang-orang suruhannya. Sedangkan Anisa menarik napas lega, walau belum sepenuhnya kelar. Ia hanya punya waktu satu minggu untuk mengumpulkan sisa kekuarangan uang. Karena gajinya saja belum cukup. "Semoga ada keajaiban datang buat bebasin aku dari masalah ini..." doanya sungguh-sungguh.  ==♡ Suamiku Miliarder ♡==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD