Bab. 2 - Wasiat Untuk Gavin

1152 Words
Tidak tahu apa yang sebenarnya harus kualami Rasanya masih seperti mimpi Pernikahan? Apa aku bisa menjalaninya? - Gavin - *** Gavindra Artajaya. Pria berwajah innocent yang tidak banyak orang tahu, bahwa sebenarnya hatinya selembut sutra asli. Sikapnya memang sering terkesan dingin, arogan, seenaknya, dan tak suka dibantah. Namun, jauh di dasar jiwanya, ia hanya pria tampan kaya raya yang bergelimang harta dan tahta, tapi miskin akan cinta. Hatinya telah lama gersang tanpa siraman kasih sayang dari seseorang. Rasa trauma membuatnya benci pada komitmen dan hubungan. Kekecewaan menjadikannya membangun benteng tinggi untuk menutup rapat pintu hati. Sampai hari itu tiba. Waktu di mana sebuah majalah bisnis terlempar di depan mukanya. Kakek Atar datang tiba-tiba dengan muka penuh amarah. Menatap sang cucu kesayangan dengan tak percaya. "Ada apa ini, Kek?" hanya ini yang terlontar dari mulut Gavin ketika menghadapi sang kakek yang mendadak marah tak jelas. "Ada apa kamu bilang?! Coba kamu tengok majalah itu! Bisa-bisanya kamu mencoreng nama baik yang sudah keluargamu jaga selama ini! Bikin malu saja!" hardik Kakek Atar. "Kakek percaya dengan gosip murahan ini?  Aku masih normal, Kek. Cucu kakek ini masih waras dan laki-laki sejati." "Kalau memang berita itu nggak benar, kamu biktikan! Apa-apaan itu, gay? Transgender? Dari mana mereka bisa mengada-ada tentang kamu, kalau bukan ada sebab musababnya, Gavin!" Terkuak sudah alasan kakeknya marah. Belakangan memang pamor Gavin sedang tak baik. Desas-desus menyebutkan dirinya adalah seorang penyuka sesama jenis. Bahkan ada yang memberitakan dirinya kini tengah melakukan operasi transgender alias ganti kelamin. Bagi sebagian orang mungkin biasa saja, tapi bagi kakek Atar hal ini sangat bertentangan dengan prinsip dalam keluarga besar Artajaya, yang selama ini menjunjung tinggi nama baik keluarga. Gavin juga belum bisa memastikan dari mana asal muasal gosip tak berdasar itu berasal. Entah hanya karangan si pembuat tajuk, atau memang ada pihak-pihak yang sengaja menyerangnya dengan jalan begini. "Tolong Kakek percaya sama Gavin..." "Cuma ada satu cara untuk meredakan gosip tersebut. Kamu harus segera menikah dan punya anak. Titik. Kakek nggak mau dengar alasan apapun. Sudah cukup kamu berkilah dan menunda-nunda pernikahan. Angel pasti mau menikah dengan kamu. Lagipula, dia baik dan sudah seperti cucu kakek sendiri. Lakukan atau terpaksa semua aset yang kamu pegang akan Kakek alihkan ke Herdi." Mendengar satu nama terucap, rasanya emosi Gavin nail turun tak karuan. Ini bukan hanya masalah biasa baginya. Herdi adalah sepupunya. Seseorang yang berhasil merebut gadis yang dulu hampir saja dinikahi oleh Gavin. Dendam itu masih menyala hingga detik ini, dan Gavin tidak akan membiarkan Herdi kembali merebut apa yang menjadi milik Gavin sekarang. "Oke, Kek. Aku akan menikah. Tapi bukan dengan Angel atau siapa pun pilihan Kakek. Aku punya calon pilihanku sendiri. Secepatnya akan kukenalkan ke Kakek." Obrolan usai. Gavin berlalu setelah mencium tangan kakeknya. Ia mengatakan ada urusan yang harus dibereskan tentang pekerjaan. Kakek Atar hanya bingung, ia merasa curiga pada cucunya. Apa hanya bualan seperti biasa untuk melunakkan hatinya? Atau memang sungguhan selama ini Gavin telah memiliki kekasih rahasia? Pertanyaan  itu berkecamuk tanpa jawab. Kakek Atar hanya bisa melongo melihat kepergian Gavin. Sementara itu, Gavin ternyata baru saja menerima sebuah kabar melalu akun Whatsappnya. Temannya mengatakan agar Gavin segera datang ke rumah sakit karena ada keadaan genting di sana. Secepat kilat ia melajukan mobil menuju lokasi utama. Pria itu memasuki salah satu kamar VIP tempat seseorang dirawat. Kondisinya benar-benar kritis. Sepekan lalu pria itu berusaha menyelamatkan Gavin dari kecelakaan mobil. Namun, naas justru menimpa dirinya. "Gimana keadaannya?" tanya Gavin cemas. "Makin parah. Tadi sempet sadar sebentar nyariin lo, terus pingsan lagi," balas temannya. "Apa katanya?" Temannya hanya mengangkat bahu. Tak punya jawaban pasti. Hingga beberapa menit berlalu. Pria dalam pembaringan tersadar kembali. Gavin pikir itu adalah pertanda baik, kalau supir pribadinya ini akan selamat. "Tolong..." lirih Seno, pria yang terbaring tak berdaya. Gavin mendekatkan diri, memfokuskan telinga untuk lebih jelas mendengar suara Seno. Sementara temannya langsung menekan tombol emergeny untuk memanggil perawat atau dokter. "Udah Sen, jangan bicara dulu. Lo pasti bakal baik-baik aja." Gavin berusaha menenangkan. Meski Seno adalah supir pribadinya, baginya sudah seperti teman sendiri. "Kalau gue nggak selamet, tolong jagain keluarga gue." Seno terbata. "Lo ngomong apa sih, Sen! Lo bakal sehat lagi, tenangin diri lo." "Di KTP gue ada dompet. Lo cek alamat di situ." "Lo mau gue kabarin keluarga lo di kampung? Gue telepon aja ya? Lo ada nomornya kan?" Seno bersusah payah terus bicara. "Tolong jagain keluarga gue... sampein maaf gue..." Gavin mulai panik. Seno masih sekuat mungkin bicara. "Tolong nikahin adek gue..." Mendengar hal itu, Gavin shock berat. Kemudian, tak berapa lama Seno pun mendadak seperti sesak napas. Dokter dan perawat sudah datang untuk mengecek. Mereka meminta Gavin dan temannya menunggu di luar. Sekilas masih dapat ia lihat jelas sorot mata Seno yang mengiba penuh harap seolah memasrahkan keinginan terdalamnya untuk dilanjutkan oleh Gavin. Meski bingung dan tak memahami maksudnya, Gavin berusaha tetap berpikir positif, berdoa semoga Seno bisa tertolong.  Namun sayang, takdir berkata lain. Malam itu juga, nyawa Seno tak terselamatkan. Pria itu berpulang dengan meninggalkan sebuah pesan mendalam bagi Gavin. Menjaga keluarga mungkin masih bisa Gavin lakukan. Akan tetapi, permintaan untuk menikahi sang adik, jelas Gavin bingung setengah mati. Ia bahkan belum tahu dan belum mengenal sosok adik yang Seno maksud. Seperti apa rupanya, bagaimana perangainya, tutur katanya, dan lain sebagainya. Gavin dilanda gulana makin menjadi. Di satu sisi ia harus segera menemukan calon istri yang bisa diajak kompromi alias melakukan kontrak pernikahan dengannya, hanya demi menenangkan kemarahan sang kakek. Di sisi lain, ia tak bisa membantah sebuah wasiat dari seseorang yang telah berkorban diri menyelamatkannya. Pria itu hanya bisa tersungkur bimbang. Dua tangan memegangi kepala yang terasa pening menyerang. Temannya menepuk pundak Gavin, berusaha menenangkan. "Sabar, Bro. Bersyukurlah lo masih dikasih kesempatan buat terus bernapas. Kita ikhlasin Seno, biar dia tenang di alam sana," katanya pelan. Gavin hanya diam. Sampai proses pemakaman selesai, Gavin masih termenung bisu. Ia berjongkok di sebelah pusara Seno. Menatap batu nisan dengan tatapan nanar. Teman berbincang dan berkeluh kesahnya kini telah tiada untuk selamanya. Bahkan di saat Gavin belum membalas kebaikan Seno padanya selama ini. Seolah ia malah menyalahkan diri sendiri, karena menjadi penyebab Seno terluka parah. Dalam genggaman Gavin terdapat dompet milik Seno. Ia mengusap air mata yang sejak tadi disembunyikan dari banyak orang. Ketika mulai sepi, barulah ia menangis walau tetap tertahan. Dibukanya dompet kulit kecoklatan tersebut. Ada foto keluarga di sana. Dua bocah lelaki dan seorang bocah perempuan berambut ikal seleher. Gavin sempat tersenyum melihat gigi ompong si gadis kecil, tapi tangisnya tetap sulit terbendung. Rasanya sudah lama sekali ia tak menangis. Baginya, pria haruslah kuat. Padahal, yang menangis belum tentu lemah. Yang selalu tertawa belum tentu kuat. "Wasiat harus tetap dijalankan... gue janji..." ujar Gavin seorang diri. Ia pun menarik selembar KTP milik Seno, membaca alamat yang tertera, dan membesarkan hati untuk menerima segala konsekuensi yang ada. Ia harus bertanggung jawab pada janjinya. Hanya saja, siapa yang tahu, luka lama di hati Gavin apakah mampu diobati dengan hadirnya seseorang yang baru? ==♡ Suamiku Miliarder ♡==
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD