Bab. 1 - Kesengsaraan Anisa

1253 Words
Kata orang hidup itu identik dengan banyaknya polemik nyata Kataku, hidupku jauh lebih banyak memiliki problematika tiada tara Dan aku hanya bisa terus menghadapinya, tanpa mampu mengelak dengan terpaksa - Anisa - *** Anisa. Ia diremehkan dan sering direndahkan oleh para tetangganya, bahkan hampir semua saudara sepupunya sendiri. Mereka menyebut Anisa adalah gadis paling tidak beruntung yang harus menanggung aib keluarga. Ibunya sudah dua tahun lalu pergi bersama pria lain, dengan alasan bosan mengurus suami yang sudah tidak bisa apa-apa lagi. Dan hari itu ia lagi-lagi harus menanggung caci maki dari adik kandung ayahnya sendiri. Bermodal tekad dan keputusasaan menggunung, Anisa memberanikan diri menemui pamannya. Ia mengatakan dengan jujur tentang keuangan yang sedang sangat buruk. Ia butuh pinjaman untuk membayar hutang yang tak kunjung lunas, yang ada justru bunganya semakin menjadi-jadi. Gajinya saja tidak cukup untuk makan sehari-hari dan beli obat ayahnya. Lusa lalu hampir saja listriknya dicabut oleh pihak PLN, karena tunggakan beberapa bulan. Untung saja Anisa berhasil melunasi dengan pinjaman dari teman baiknya ditambah sedikit tabungan yang kian menipis. Kini, ia harus menunduk dan membuanh rasa malu demi terhindar dari amukan anak buah Pak Rudi, rentenir ternama yang kaya raya dari hasil riba semata. "Saya datang ke sini mau minta tolong, Paman," katanya lirih. Dua tangan sibuk menggenggam rok panjangnya, seolah menahan gugup yang hebat. Sutisna sebetulnya iba melihat kesulitan yang dialami keponakannya. Bagaimanapun juga dulu ayah Anisa lah yang dengan ikhlas membiayai kuliah dan segala kebutuhannya. Tapi, sayangnya, semenjak menikah ia jadi kurang leluasa. Apalagi masalah keuangan yang diatur istrinya. Lelaki paruh baya itu hanya bisa terdiam sembari sesekali melirik sang istri yang sudah melotot tak senang. "Kamu itu ya Nis, setiap datang ke sini pasti minjam uang. Minjam uang terus. Belum juga ada yang dikembalikan. Hutangmu itu masih lima juta. Masa mau nambah lagi. Memangnya kami ini mesin atm pribadimu apa?!" cecar Nining tak senang. Mulutnya memang tak pernah punya saringan bila melontarkan kalimat, pasti langsung kena di hati. "Makanya, mending nikah saja. Biar ada yang menghidupi kamu dan bapakmu yang nyusahin itu!" lanjutnya mengomel tak karuan. Suaminya langsung berusaha menenangkan dan menyuruhnya masuk ke dalam, tapi Nining enggan. Ia tak sudi memberikan uang sepeser pun pada keponakan suaminya. Padahal, jika ada sanak kelurga Nining yang kesusahan, Sutisna tak pernah pelit untuk membantu. Entah kenapa tidak sebaliknya. "Pokoknya nggak usah dipinjami sebelum hutangnya yang lama lunas!" "Kamu itu jadi perempuan kalau bicara harusnya dijaga! Anisa ini keponakanku!" teriak Sutisna mulai tersulut emosi. Tak tega melihat pertengkaran suami istri itu, akhirnya Anisa melerai dan berniat undur diri saja. Menyesal pula ia datang, bukannya dapat pinjaman, malah dapat makian. "Sudah, Paman. Tidak apa-apa. Saya pamit saja. InsyAllah nanti saya cari pinjam lagi ke teman atau siapalah. Maaf kalau kehadiran saya malah membuat ricuh di sini," ujarnya merasa bersalah. "Ya bagus kalau kamu tahu diri! Nggak usah datang kalau nggak bayar hutang! Ngapain ke sini, cuma nambah susah orang saja kamu! Cari suami kaya sana! Biar nggak miskin terus," ejek Nining makin membuat geram suaminya. Jika bukan karena Anisa berusaha menghalangi pamannya, mungkin pipi Nining sudah bengkak kena tamparan keras Sutisna yang kesal bukan main. Anisa  pun melerai dan pamit pulang dengan tangan hampa. Ia berjalan gontai di sepanjang jalan. Sesekali jemarinya lincah mengetik sesuatu di ponsel. Berharap ada temannya yang bisa membantunya. Sempat terbersit ingin menjual android dalam genggamannya, akan tetapi ia tak bisa. Itu adalah satu-satunya alat komunikasi yang ia punya. Banyak data kerja ia simpan di sana. Berulang kali Anisa berusaha menghubungi nomor Seno, kakaknya. Sudah lama sekali tidak bisa dihubungi. Padahal, biasanya Seno mengirimi uang untuk kebutuhan keluarganya di kampung halaman. Sejak tidak adanya sokongan dari si sulung, ditambah kegilaan Heru -adik Anisa- yang terus menghutang sana-sini, alhasil ia jadi kena getahnya. Rasanya hidup Anisa sungguh sulit dihadapi. "Ayo Nis! Kamu harus strong! Semua pasti ada jalan keluarnya!" ia berusaha menyemangati diri sendiri. Sedang asik mengembalikan energi dan siksaan batin, sebuah panggilan telepon masuk terdengar nyaring. Buru-buru Anisa mengangkat usai membaca nama yang tertera di layar. Senyum manisnya terkembang bak layar kapal siap mengarungi samudra biru. Seakan semangatnya kembali memercik dan memadamkan kebimbangan hatinya. "Ya halo? Kenapa Bim?" "Kamu di mana? Aku ke rumahmu tapi nggak ada yang nyahut." "Oh, itu, aku masih di jalan. Habis dari rumah paman. Sebentar lagi sampai. Kamu tunggu ya?" "Pinjam uang lagi ya ke sana?" Suara Bima sedikit iba. Ia tahu pacarnya tengah kesulitan dalam hal keuangan. Bukannya tak mau membantu. Bima tahu dirinya bukan orang kaya, tidak punya banyak uang, dan hidup masih menumpang orang tua. Sudah sering ia ingin memberi sedikit uangnya pada Anisa walau hanya seratus dua ratus tiap habis gajian, sayangnya Anisa menolak. Katanya, ia tak mau menjadi benalu dan ketergantungan pada Bima. Ia juga tak ingin suatu saat hubungan mereka memburuk karena masalah uang. Kita tidak tahu kapan sepasang kekasih akan baik-baik saja, dan kapan akan tiba masanya bertengkar. Anisa berusaha meminimalisir hal demikian. Bila pun terpaksa menerima, ia pasti segera mengembalikan bila sudah ada uang hasil gajian. "Iya. Tapi belum dapat. Pamanku lagi ada keperluan lain soalnya." "Pakai uangku aja dulu. Aku baru dapat uang dari si Raka, dia habis kembaliin uangku. Ada kalau satu dua juta," tawar Bima. Sebentar Anisa menimbang gundah. Batinnya gulana. Ingin menolak karena gengsi terlalu sering pinjam bayar pada pacarnya. Tapi ia sangat memerlukannya malam ini. Sebelum lintah darat datang menagih.  "Boleh?" tanya Anisa masih setengah ragu. "Tapi, bukannya kamu juga perlu buat bayar sekolah adikmu ya?" lanjutnya teringat sesuatu. Ia terngiang Bima kemarin cerita perihal tersebut. "Oh itu, gampanglah urusan nanti itu." "Jangan gitu. Aku nggak mau nyusahin kamu." "Yasudah kita bahas di sini aja. Aku tunggu kamu ya." Panggilan ditutup setelah mengucap salam. Anisa lekas berlarian memanggil tukang becak untuk mengantarnya pulang. Ia tak mungkin jalan kaki terlalu jauh lagi. Kakinya sudah terasa kram kesemutan. Untung saja tukang becaknya baik dan bisa ditawar. Jadi Anisa tak terlalu merogok kocek banyak. Ia harus berhemat demi kelangsungan hidup. Tiba di rumah, Anisa membayar ongkor becak dan berlarian menghampiri Bima. Pria itu tampak tak seperti biasanya. Wajahnya seolah menyiratkan hal lain. Ada duka yang merundung dalam pancarannya. Perasaan Anisa mendadak tak enak. Senyum simpul Bima terkesan sangat dipaksakan sekali. Ia yakin ada yang tak beres dari kekasihnya. Keduanya duduk bersebrangan di kursi kayu depan rumah. Bima menolak saat Anisa menawari membuatkan teh atau kopi capucino kesukaan Bima. "Ada masalah ya, Bim?" Bima sedikit menggeser duduknya yang terlihat tidak nyaman. Ia garuk tengkung sekilas. "Ada yang harus kuomongin sama kamu, Nis." "Iya. Apa? Bilang aja. Aku dengerin." "Kamu tahu kan, orang tuaku nggak pernah setuju sama hubungan kita?" Anisa mengangguk membenarkan. Batinnya menunggu ucapan Bima selanjutnya dengan harap-harap cemas. "Iya, tahu." "Sebenernya, aku mau ngomong ini udah dari seminggu yang lalu. Tapi, cari kesempatannya yang susah." "Bisa nggak, kamu jangan muter-muter. Langsung ke intinya aja, Bim. Jangan bikin aku tegang dong," pinta Anisa was-was. "Aku dijodohin, Nis." Bima menjeda sejenak kalimatnya. Menatap bingung ke wajah Anisa yang berubah riak. "Bulan depan lamaran. Rencananya, habis lebaran kurban, langsung nikah." Kalimat ini jelas menikam jantung Anisa. Tak ada suara terlontar dari bibir Anisa. Gadis itu terdiam tanpa suara. Bima tak mampu menyelami mata sendu yang selalu ia rindukan itu. Keputusan bulat ayah ibunya sekarang telah mengikat dirinya. "Maafin aku, Nis..." sesalnya pilu. Anisa tetap membeku. Gadis itu terperosok jatuh jauh ke dalam lembah kesunyian. Pandangannya mengabur. Hal yang paling ingin ia miliki, kini bahkan tak bisa ia genggam lagi. Setitik air matanya jatuh. Tanpa sadar, Anisa menangis kelu. Lengkaplah sudah kesengsaraan batinnya... Hatinya menjerit dalam rasa sakit. Adakah harapan untukknya bahagia? =======♡ Suamiku Miliarder ♡=======
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD