Tahun pertama berhasil Theo lalui dengan kesendiriannya di Inggris. Dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Cory dan Kit. Hanya mereka yang selalu bisa membuat Theo menggila di saat jenuh dengan tugas kuliah.
Memasuki tahun ke dua kuliah, Theo semakin serius dengan mata kuliahnya. Ia terus belajar dan tidak ada hentinya mengejar nilai yang bisa membuatnya lulus dengan cepat. Tepat di hari ini, ia mendengar berita jika Milana sudah melanjutkan kuliah di Amerika bersama Niel. Antara senang dan kecewa, Theo memang tidak berharap jika Milana memilih untuk melanjutkan sekolah di London bersama. Akan tetapi, Theo tetap menghargai keinginan Milana yang selalu dekat dengan tunangannya.
Theo sedang melakukan video call bersama Aqila, dia menanyakan tentang keadaan orang tua, dan beberapa keluarga lainnya. Kerinduannya selama satu tahun ini dipindam hingga lulus. Ya, Theo sudah mengatakan jika tidak akan kembali sebelum lulus dari Oxford.
“The, nanti kalo Papa ada jalan ke sana, Mama nitip beliin tas ya? Nanti kamu titipin ke Papa gitu, ini Mama nunggu flashsale,” ujar Aqila.
“Hmm, tas yang gimana lagi sih,Ma? Kayak baru kemarin beli yang gedenya hampir sama kayak telapak tangan Theo, sekarang udah mau beli lagi,” omel Theo.
“Ish, kamu mah gitu … ada model baru dan limited. Mama gak mau sampek kehabisan lagi kayak yang setahun lalu, nanti Mama bisa kalap.”
“Iya udah, kabarin aja kapan itu flashsalenya, emang harga berapa?”
“Hum, Mama lupa. Kalo normal itu sekita tiga puluh miliyar sih.”
“Terus kalo flashsale jadi berapa? Paling juga turun Cuma sejuta.”
“Ish, enggak! Kalo diskon flashsale Cuma dua puluh lima miliyar, The.”
“Hmm … itu masih mahal, Ma.”
“Kalo kamu nggak mau, ya udah … Mama minta ke Om Jay aja buat beli,” ujar Aqila.
“Eh, jangan dong! Bisa di gorok Theo kalo Mama minta Om Jay!” shaut Theo dengan cepat.
“Jadi?”
“Iya deh, Theo beliin!”
“Oke sip!”
“Ya udah, Ma. Theo mau tidur, besok ada kuliah pagi sampek sore.”
“Ukey, met bobok anak Mama yang paling cakep.”
“Gini aja bilang paling cakep, kalo lagi nggak ada maunya bilangnya gimana, Ma?”
“Anak Mama paling cantik.”
“Terserah deh, Ma.”
Tut.
Setelah memutuskan sambungan video call itu, Theo kembali merebahkan diri dan memilih untuk memejamkan mata. Berharap besok dia tidak kesiangan saat bangun.
***
KRING
KRING
KRING
Suara dering jam weker sangat nyaring, membuat Theo terbangun dan mulai melakukan aktifitasnya hari ini. Theo juga membuat makanan yang cepat saji untuk sarapan. Setelah itu, ia menuju ke basement dna bernagkat menuju ke kampus seorang diri. Karena di tahun ke dua ini, ia tidak berada di kelas yang sama dengan teman-teman sebelumnya.
Selama perjalanan, Theo hanya mendengarkan musik dari audio box. Ia menikmati pemandangan London pagi ini, karena tidak terlalu ramai dan ia masih bisa bersantai sebentar di kampus. Sampai akhirnya ia berhenti di area parkir. Theo bertemu dengan Yaya, dan seorang cowok yang dikenal sebagai adik dari Vivi.
“Pagi, Teh Oreo,” sapa Yaya.
“Yo, pagi.”
Vio hanya diam dan menganggukkan kepala. Akan tetapi, tidak semudah itu. Theo menarik kerah baju Vio, dan bertanya mengenai keberadaan Vivi pada Vio.
“Dimana Vivi?”
“Kakak? Ada kok, di rumah.” Vio menjawab dengan santai.
“Jangan bikin gue emosi. Gue ke sana, dan kalian enggak ada!” ujar Theo.
“Mending tanya sendiri deh, kenapa dia nggak mau kasih tau alasannya. Aku di sini beneran nggak mau ikut campur masalah Kak Vivi dan kamu!” ujar Vio.
“The, lepasin pacar Yaya!” ucap Yaya dari samping Theo.
“WHAT?”
“Vio pacar Yaya, tau!”
“Serah deh, yang jelas … gue gak mau liat lu lagi.”
Theo melanjutkan langkah kakinya menuju ke dalam kelas, dia tidak ingin ketinggalan mata kuliah hari ini hanya karena jawaban yang tidak berarti dari Vio.
Sampai di kelas, Theo mengikuti jalannya kuliah seperti biasa. Dia juga mengumpulkan tugas tepat waktu, sehingga nilai yang di dapat selalu sempurna. Selain itu, meski Theo di sana hanya memikirkan tentang kelulusan, dia juga mengikuti kerja paruh waktu.
“The, jangan lupa ke rumah ya? Adik aku besok ada ujian katanya,” ujar seorang teman kuliah.
“Hoghey!” jawab Theo sembari mengangkat ibu jari.
Theo melakukan kerja paruh waktu sebagai guru bimbingan belajar secara private di rumah temannya. Karena kepintaran yang Theo miliki, membuat dia menggunakan kesempatan itu dengan baik.
Sampai kuliah selesai, Theo kembali melangkah menuju area parkir untuk melakukan pekerjaannya. Kali ini Theo kembali bertemu dengan Vio, hanya saja … Theo tidak begitu menghiraukannya.
“Cunguk itu lagi, bosen lama-lama liat muka dia yang kek kelapa di belah dua. Lama-lama gue dandanin juga dia jadi Vivi,” gerutu Theo.
Saat Theo masuk ke dalam mobil, ada seorang teman yang tiba-tiba menahan kepergian Theo. Dia adalah teman satu kelas Theo hari ini, dan sedang membawa sebuah lembaran kertas di tangannya.
“Siapa?” tanya Theo.
“Aku Gaia. Ini milikmu, tadi terjatuh di kelas.”
“Makasih.”
“Tunggu!”
“Apa lagi?”
“Nama kamu siapa?”
“Di kertas itu ada nama gue, lu bege apa kagak baca?”
“Ehm, iya … maaf.”
“Minggir! Lu udah bikin gue kehilangan seratus euro tau gak!”
“Maaf.”
Theo melajukan mobilnya, sampai di sebuah rumah yang terlihat begitu besar. Saat ia turun dari mobil, ada seorang anak berusia delapan tahun yang sudah menunggunya.
“Yo, Om Theo!” sapa anak itu yang akhirnya mendapatkan pukulan di kepalanya.
“Om pala lu! Minta gue bikin botak?”
“Maaf, Om – eh ,Kakak.”
“Dasar bocah!”
“Aku ada ujian besok, ajarin!”
“Ujian apa?”
“Ujian bahasa.”
“Yaelah.”
Theo mengikuti langkah kaki anak itu sampai di sebuah ruang belajar. Mereka duduk dan mulai kegiatan belajar. Theo mengajarkan beberapa bahasa seperti yang sudah di ajarkan di sekolah. Hanya saja, ada satu bahasa yang Theo ajarkan agar anak itu lebih mudah saat berkomunikasi dengannya. Ya, apalagi kalau bukan bahasa Indonesia.
“Kak, ini artinya apa?” tanya anak kecil itu.
“Hmm, buka catatan beberapa hari lalu. Kayaknya udah gue ajarin lu.”
“Okey.”
Theo berada di sana selama satu jam saja, dan selama itu ia juga merasa terhibur karena tingkah sang anak kecil membuatnya tertawa lepas. Bahkan anak itu seperti temannya saat ini, berbincang seputar sekolah dan beberapa hobi mereka yang hampir sama.
“Gue balik dulu, bilang Kakak lu, besok duitnya jangan lupa di kasih. Kalo enggak, gue aduin ke Bapak kalian!” ujar Theo dengan menggunakan bahasa Indonesia.
“Hmm? Hoghey!”
Setelah itu, Theo kembali ke apartemennya. Beristirahat setelah membuat kepalanya terasa panas karena tugas dan juga pekerjaannya. Sampai di depan pintu apartemen, Theo melihat ada cewek di sana.
“Ngapain lu di sini?”