Dea merasa seluruh tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena rasa takut yang begitu kuat mencengkeramnya. Ia ingin menepis tangan itu, ingin berteriak agar lelaki itu berhenti. Namun, sesuatu di dalam dirinya seakan lumpuh—rasa takut, rasa malu, rasa tidak berdaya, semuanya bercampur aduk dan mengekang dirinya lebih kuat daripada tali mana pun. Ia bahkan tidak berani mengangkat pandangannya. Matanya terus terpaku pada layar laptop yang kini hanya menampilkan deretan huruf tanpa arti. "Dibilang jangan tegang," lelaki itu berkata lagi, kali ini dengan nada yang nyaris seperti ejekan, seakan menikmati ketidakberdayaan Dea. Tangan itu masih di sana, mencengkeram tanpa rasa malu atau ragu, seolah tubuh Dea adalah sesuatu yang bisa dimiliki begitu saja. Napas Dea semakin pendek. Ia

