Bab 2

2767 Words
Clearesta menopangkan dagunya di atas meja, tangannya memainkan vas bunga. Tatapan mata gadis itu berpancar malas. Seolah tak ada gairah untuk hidup. Helaan napas berkali-kali ia hembuskan. "Hari ini membosankan sekali.." gumannya seraya menghembuskan nafasnya yang entah untuk keberapa kali. Matanya menatap malas kendaraan yang berlalu lalang di luar melalui jendela bening cafe. "Galau pasta?" Clearesta menolehkan kepalanya pada seseorang yang baru saja duduk di kursi sebelahnya. Ia menatap sekilas seseorang tersebut. Kemudian kembali ke posisi seperti semula. "Jangan menggangguku Kenward." ucapnya tak acuh. Kenward terkekeh,salah satu pria rekan kerja Clearesta itu mencubit hidung mungil Clearesta gemas. "Aw.. Heii aku tidak bisa bernafas.." teriak Clearesta. Ia maju mengikuti tarikan hidungnya. "ken, jangan menjahili si penggila pasta ini.." Otadan datang dari arah belakang, dan menghampiri kedua orang tersebut. Kenward mengangkat sebelah alisnya, "Tumben, kau membelanya." Otadan menghendikkan bahu tak peduli, sebelum dirinya menyeringai jahil, "Maksudku, jangan menjahilinya tanpa diriku.." Otadan menarik kedua pipi mulus Clearesta. "Aww.. " Kenward dan Otadan terkekeh, yah menggoda junior lucu penggila pasta mereka memang sudah menjadi kesenangan keduanya. Clearesta memberengut, bibir mungilnya mengerucut. Kedua tangannya mengusap kedua pipinya. Hidung beserta kedua pipi gadis itu tampak memerah akibat kejahilan dari dua rekan kerjanya. "Heii, kalian tidak pulang?" wanita berambut pirang sebahu menghampiri Clearesta dan yang lainnya. "Yah, aku ingin pulang sebenarnya, tapi aku terlalu malas untuk berjalan kaki, Satine." Gadis berwajah manis itu tersenyum mendengar keluhan Clearesta. "Mau pulang bersamaku?" tawarnya. "Tidak, kau pulang saja dengan kekasihmu, lihat dia sudah ada di depan menantimu." jawab Clearesta, tangannya menunjuk seseorang berambut orange yang duduk di motor sportnya. "Baiklah, aku duluan. Guys, temani sang princess ini ya.." Satine mengedipkan sebelah matanya pada Otadan dan Kenward. "Siap komandan!!" Otadan hormat pada Satine sedangkan Kenward mengacungkan jempolnya. Clearesta hanya memutar kedua bola matanya bosan melihat kelakuan dua seniornya yang kekanakan. "Aku mau pulang." Clearesta berdiri dari tempat duduknya. Berjalan menuju gantungan baju yang ada di dekat dapur. Melepas aporn yang masih ia pakai, kemudian menggantungkannya di tempat itu. "Tak ingin ku antar?" tawar Kenward. Clearesta menggeleng, "Tidak, kau akan memutar nanti jika mengantarku, jalan rumah kita kan tidak searah." Ia berjalan menghampiri kembali dua seniornya. "Ini sudah malam, tidak baik anak perawan jalan-jalan sendirian." Otadan bersedekap. Clearesta menatap Otadan aneh, "Seperti aku tak pernah pulang malam saja. Kau tahu kan aku setiap hari selalu pulang malam." Otadan menyengir, "Sesekali mengkhawatirkanmu tak apa-apakan?" "Ingat, kau sudah punya Rae bodoh!" Kenward menjitak kepala Otadan. "Hei, ini sakit." Otadan mengusap kepalanya yang terkena jitakan Kenward. Clearesta mendengkus melihat kelakuan sepasang sahabat itu, "Sudahlah. Aku pulang dulu, sampai jumpa besok." ia berjalan keluar, meninggalkan Kenward dan Otadan. "Sampai jumpa besok princess pasta, jangan telat lagi yaa.." Otadan melambaikan tangannya pada Clearesta. Clearesta yang berjalan menoleh kebelakang, mendelik pada Otadan. Apa-apaan panggilannya itu? "Sudah ayo kita juga pulang." ajak Kenward. Otadan mengangguk, "Heii dimana kunci kedainya." "Aku yang bawa." Kenward melenggang pergi meninggalkan Otadan. "Hei, tunggu aku." "Cepatlah!!" Otadan berlari menyusul Kenward yang hendak mengunci kedai, lalu dua orang itu pergi meninggalkan kedai dengan saling merangkul. Persahabatan yang manis bukan? *** Clearesta melangkah dengan malas menuju rumahnya, ia berjalan sendirian. Sesekali ia menghela nafas. Yah, sepertinya hari ini adalah hari yang terlalu membosankan bagi si nona pasta ini. Ia mendongak, lalu Pandangannya mengarah ke arah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di kota New York. Senyum tipisnya mengembang kala melihat lampu warna warni di sekitar gedung. Mereka tampak mewah, indah dengan khasnya masing-masing. "Lihat, betapa mewahnya kehidupan mereka." gumannya pada diri sendiri. Kemudian ia kembali melanjutkan jalannya seraya bersenandung kecil. Mencoba mengusir kebosanan dan kesunyian di mana ia melangkah. Berbelok ke gang jalan yang penerangannya tidak banyak, remang-remang. "Ampun tuan, aku tidak akan melakukannya lagi.. " Langkah kaki Clearesta terhenti saat ia mendengar suara dari gang sempit di samping kanannya. Terdiam sejenak dan menajamkan pendengarannya. Barang kali dirinya salah dengar. "Arrghh... M-maafkan saya t-tuan, s-saya janji t-tidak akan melakukannya l-lagi.. " Suara yang sarat akan sakit dan ketakutan itu terdengar lagi. Dan Clearesta pun memutuskan untuk berjalan ke arah gang tersebut saat suara itu bukan hanya khayalannya saja. Ia melangkah pelan, mencoba untuk tidak menimbulkan suara. Menyembunyikan diri di balik dinding dan menengokkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang terjadi di gang tersebut. "Kau tahu bukan, aku benci kekalahan Ivander.. " Sesosok pria berbadan besar yang di tangkap oleh penglihatan Clearesta itu bersimpuh di depan pria berambut panjang itu menunduk. Tubuh pria itu babak belur, tanda bahwa pria itu baru saja di pukuli oleh orang-orang berbadan besar lainnya. Terlihat cukup parah, dengan darah yang mulai mengring di sekitar pelipis, pipi, hidung dan sekitaran mulut. "A-aku tahu tuan.. Tolong ampuni aku.." "Mengampunimu?” sebuah dengkusan meremehkan terdengar, dan disusul dengan desisan rendah penuh peringatan, “Itu sama saja merendahkanku, bunuh dia!" "T-tidak tuan, ampun..” Ivander panik, ia mencoba merangkak mendekati tuannya. Wajahnya yang penuh luka tampak sangat ketakutan, ditambah dengan sang asisten tuannya mengeluakan sebuah senjata di balik jas yang dipakai, “Kumohon jangan membunuhku_ ‘Dor’ Arghhhkk!!" Suara tembakan terdengar beriringan dengan suara teriakan orang tersebut. Kesunyian kembali merayap begitu tubuh besar tak berdaya itu jatuh ke tanah dengan darah yang mengucur keluar dari luka tembakannya. Clearesta menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat melihat adegan yang terjadi di gang sepi tersebut. Matanya membulat, dan tubuhnya seperti mati rasa. Darah yang menggenang di antara tubuh tak bernyawa itu terasa sangat mengerikan. Untuk pertama kali dalam sembilan belas tahun dirinya hidup, ini kali pertama ia melihat pembunuhan secara langsung. Bukan hanya sekedar rekayasa seperti di film action yang biasa ia lihat. “Bereskan tubuh Anjing tak berguna itu,” suara dingin milik orang berambut panjang kembali terdengar, “Dan cari siapa saja koneksi yang bekerja sama dengan dia!” “Baik bos!” “Pastikan tidak ada yang tersisa. Aku tak ingin kejadian memalukan seperti ini terulang lagi. Jangan sampai ada orang dari kita melakukan seperti yang dilakukan oleh Anjing busuk itu!” “Mengerti bos!” “Dan carilah orang lain untuk masuk dan menjebak Jovante bodoh itu. Cari kesempatan dan bunuh dia jika bisa. Aku akan memberikannya hadiah yang besar.” Sebuah seringai tipis muncul di sudut pria itu, “Oh ya, data-data tentang pengiriman Sabu-sabu dan penyelundupan senjata api, simpan baik-baik. Jangan sampai ada musuh yang mencurinya. Kita harus menang kali ini!” “Baik bos!” Tubuh Clearesta semakin gemetar mendengar itu semua. Wajahnya tampak pucat, pijakan di kakinya terasa lemah. Napasnya memburu seiring rasa takut yang semakin lama semakin mendominasinya. Clearesta mencoba melangkah perlahan. Dirinya  hendak melarikan diri, namun sayang, sebuah botol bekas terinjak oleh kakinya ketika ia berjalan mundur. Menimbukan suara yang cukup keras. Dan membuat dirinya jatuh tersungkur ke belakang. Ia yang terkejut pun memekik kecil. 'Brukk' 'brakk' "Aww.. " Clearesta meringis pelan, dalam hatinya ia mengumpati kecerobohannya. "Siapa disana!!" Wajah Clearesta bertambah pias, dirinya kembali mengumpat, dengan panik ia segera bangun dari sungkurannya. Namun terlambat, keberadaannya telah di ketahui. "Oh ada kucing manis ternyata.. " Clearesta menengadah ke depan melihat pria berwajah tampan yang menyeringai ke arahnya. Tatapannya seketika menjadi waspada. Ia berjalan mundur, mencari ancang-ancang untuk kabur. Bisa dirasakan jika keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhnya. "Tangkap dan bawa dia padaku!" perintah pria itu pada bawahannya. Clearesta segera melarikan diri, ia berlari secepat mungkin meninggalkan pria dan para bawahannya tersebut. Rasa takut menggerogotinya. Membuatnya tak bisa berpikir jernih. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah menjauh dari para pengejarnya tersebut. "Heii jangan lari..!!" dua orang pria bertubuh besar berlari mengejar Clearesta. Wajah mereka seram, menambah ketakutan Clearesta. Clearesta terus berlari, berkali-kali ia menengok kebelakang. 'Sial' gerutunya saat ia melihat orang-orang yang mengejarnya semakin mendekat. Nafasnya terengah dan ia mulai kelelahan. Peluh pun membasahi tubuhnya. Pikirannya saat ini terasa sangat kacau. Dirinya harus berpikir bagaimana caranya agar bisa terlepas dari para pengejarnya. Ia berhenti sejenak dan mengawasi sekitar, hingga matanya melihat sebuah club besar. Dan tak banyak berfikir dia berlari masuk kedalam club tersebut. Beruntung tidak ada penjaga yang biasanya berdiri sangar di depan pintu masuk club. Sehingga dirinya bisa leluasa menerobos club besar itu. Clearesta berhenti di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang berlalu lalang. Ia mengedarkan pandangannya. Sembari mengatur napasnya yang terengah, dirinya mencari tempat yang menurutnya aman untuk bersembunyi. “Ya Tuhan, bantulah aku keluar dari kemalangan ini!” gumamnya dengan suara lirih. Setelah lama ia melihat-lihat, matanya pun tertuju pada ruangan dengan kaca gelap bertuliskan VIP di atas pintu ruangan. Dan tanpa banyak waktu lagi dirinya segera berlari kesana. *** "Kau sudah bertemu dengannya, Darga?" pria berambut pirang itu menatap pria yang baru saja datang dan duduk di sebelahnya. "Belum." Pria bermata biru shapire itu mengangkat sebelah alisnya, "Kau tidak datang tadi?" "Tidak." "Kenapa?" "Berhentilah bertanya Natalio!" Natalio terkekeh, pria energic itu menyalakan rokoknya, "Well, kau sepertinya sedang kesal." ucapnya setelah menghembuskan asap dari rokok yang dihirupnya. Darga tak menjawab ucapan dari temannya tersebut, pria itu memanggil bartender dan memesan seporsi botol vodka. Dan tak lama kemudian, pesanannya pun datang. "Kau sudah mendapatkannya?" tanya Darga setelah meneguk vodka yang dia pesan. "Belum, ini sedikit rumit. Aku sangat sulit menemuinya." Natalio mengambil wisky miliknya. Menyesap cairan itu pelan. Menikmati cairan gelap itu yang tercecap oleh lidahnya. "Sudah ku duga dia akan menghindar." Darga mengambil rokok di sakunya, ia mengeluarkan sebatang dan menyalakannya. Kemudian melemparkan korek apinya di atas meja kaca pelan. Menimbulkan suara yang sedikit nyaring. "Kau benar, dan itu membuatku muak dengannya." Natalio menenggak wisky miliknya hingga tandas, "Biar ku habisi saja dia, Bro." ucapnya lagi setelah menuang kembali wisky di gelas kacanya. "Tak perlu terburu-buru Nat, kita lihat dulu apa yang akan di lakukannya, dan setelah kita mendapatkan apa yang kita cari darinya, aku janji, aku akan mengijinkanmu bermain dengannya." Darga menyandarkan dirinya di sandaran sofa yang ia duduki. Mencoba merilekskan diri setelah penat melaksanakan segala aktifitas hariannya. Natalio menyeringai, "Aku suka caramu teman." ucapnya lagi seraya kembali meminum minumannya, “Ngomong-ngomong, dimana wanita pesanan_” ‘Braakk!!’ Natalio tak melanjutkan ucapannya, dirinya mendelik pada sosok yang tiba-tiba masuk kedalam ruang dimana dirinya berada. Menatap terkejut pada gadis yang kini bersandar di pintu ruangan setelah membanting pintu. Memejamkan mata dengan wajah pias dan napas yang terengah. Ia mengernyitkan dahi, merasa heran dengan gadis asing yang masuk keruangan tanpa permisi. Sama halnya dengan Natalio yang terkejut, Darga pun kini juga menatap gadis itu heran. Bedanya dirinya hanya memandang datar dengan tatapan tajam. Cukup merasa terganggu dengan kehadiran orang lain yang tidak ia kenal.  “Jangan biarkan mereka menemukanku, Tuhan.” pinta Clearesta resah. Natalio yang tersadar dari keterkejutannya hendak berbicara, namun suara berintonasi datar mendahuluinya. Membuatnya kembali merapiatkan bibirnya setelah beberapa detik lalu terbuka. “Apa dia wanita pesananmu, Nath?” . Natalio mengerjap, ia menoleh dan menatap Darga ngeri. Apakah temannya itu lupa kriteria wanita pesanannya? Clearesta sendiri yang asik dengan dunianya seketika tersadar jika ternyata bukan hanya dirinya seorang yang berada diruangan tersebut. Emerald cerlangnya membulat. Dan mulut mungilnya terbuka. Sedetik kemudian ia memasang senyum aneh. Merasa malu sekaligus tak enak hati. Dalam hatinya kembali merutuki kesialannya malam ini. “A-aa, m-maaf.” Cicitnya lemah, dirinya bingung. Tak tahu harus berbuat apa. Natalio mendelik, hendak berdiri sebelum Darga yang lagi-lagi mendahului tindakannya. Akhirmya dirinya hanya kembali duduk diam dan menyesap rokok miliknya. Membiarkan sang sahabat untuk mengurus pengacau kecil yang datang. Clearesta semakin merapatkan diri pada pintu kaca di belakangnya. Napasnya terasa berhenti saat sosok tegap semakin mendekat, merapatkan diri kepadanya. Pria itu tinggi, hingga membuatnya mendongak. Namun keadaan yang remang-remang membuatnya tak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu kecuali kedua mata yang menatapnya tajam. “Apa yang kau lakukan disini?” Napas Clearesta benar-benar tercekat. Keringat dingin mulai kembali membasahi tubuhnya. Aura yang di pancarkan oleh pria dihadapannya entah kenapa lebih mengerikan dari pria yang ingin menangkapnya. Mata tajamnya, terasa sangat menusuk hingga ketulangnya. “A-aaku..” Clearesta mengalihkan pandangan, Gugup melandanya. Tanpa sengaja tatapannya bersinggungan dengan dua orang yang mengejarnya. Ia mengumpat, dan tak sadar jika tangannya mencengkram ujung jas yang di kenakan pria di depannya. Beruntung dinding kaca ruangan itu terlihat gelap dari luar. Sehingga Clearesta yakin jika kedua pria itu tak dapat melihatnya. Meski begitu, dirinya tetap tak merasa tenang. Sebab bisa saja pengejarnya itu menggeledah tempatnya berada. Sebelah alis Darga terangkat. Matanya melirik tangan lentik yang memegang erat ujung pakaiannya. Lalu beralih menatap wajah panik gadis dihapannya. Wajah pias dan takut gadis itu menjadi daya tarik untuk Darga. Merasa penasaran, ia pun ikut menatap ke arah yang di tatap oleh gadis tersebut. Alisnya pun semakin terangkat naik saat matanya menangkap dua orang yang celingukan mencari sesuatu. Dan ia semakin tertarik saat melihat ciri khas dua orang tersebut. Darga merogoh saku celana kainnya, mengambil ponsel miliknya. Jempol tangannya bergerak lincah di atas layar ponsel, “Aku ada tugas untuk kalian. Urus sesuatu yang kukirimkan!” ucapnya rendah. Setelah kembali mengantongi ponselnya, Darga sedikit menunduk mendekatkan bibirnya pada telinga gadis tersebut. “Kau takut sesuatu?” Clearesta segera menoleh, dan tanpa sengaja bibirnya menyentuh rahang pria itu. Wajahnya yang pias sedikit memerah. Beruntung keadaan yang remang-remang menyamarkan bagaimana raut horor dan konyolnya wajahnya kini. Dadanya berdetak cepat, dengan kegugupan yang terus beranjak naik. “B-Bukan urusanmu.” Kata Clearesta susah payah. Darga tersenyum miring dalam gelapnya ruangan tersebut. Ia menyesap aroma yang tercium dari tubuh gadis di depannya. Kedua tangannya yang berada di dalam saku celana mengepal kuat. Dan rahangnya pun perlahan mengeras.  Pintu terketuk, membuat Clearesta langsung berlari kebelakang Darga secara spontan. Tangannya kembali memegangi ujung pakaian pria itu. Tubuhnya gemetar kecil, dan itu tak luput dari pandangan Darga. Pintu akhirnya terbuka setelah ketukan yang ketiga. Seorang wanita berkacamata muncul dari balik pintu. Wanita itu menggunakan balutan gaun malam berwarna ungu. Bibirnya mengulas sebuah senyuman. “Maaf telah membuat kalian lama menunggu.” Ujarnya penuh kelembutan khas wanita malam. Clearesta yang mendengar suara itu seketika terdiam. Ia mencoba melongokkan kepalanya melihat sosok yang baru datang. Dan desahan lega pun keluar dari mulutnya. “Kaleena.” Wanita itu menoleh ke sumber suara. Mata coklat dibalik kacamatanya membulat terkejut. Dengan mulut terbuka, dirinya menunjuk sesosok yang muncul dibalik punggung salah satu tamunya. “Clea?” Clearesta tersenyum bersalah. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Bingung seketika menyerang otaknya. Pikirannya mencoba mengolah kata-kata untuk menjelakan bagaimana dirinya bisa ssampai disini. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Kaleena dengan mata yang menyipit, itu semua karena dirinya melihat penampilan Clearesta yang terlihat lumayan berantakan di dalam reremangan ruangan. "A-aku.." “Jelaskan!” Clearesta menelan kering. Kemudian ia berjalan mendekat kearah Kaleena. Menggenggam tangan gadis itu, “Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang.” Ia menatap bergantian dua pria yang berada di dalam ruangan, “Disini tidak nyaman.” Bisiknya dengan suara yang hanya di dengar oleh Kaleena. Ia merinding saat merasakan aura menusuk di belakang tubuhnya. Kaleena menghela napas dalam, tangannya bergerak mengurut pangkal hidungnya, “Aku sedang bekerja bodoh!” “Aku tahu, tapi antarkan aku pulang dulu.” Pinta Clearesta lemah. Kaleena memejamkan matanya sejenak. Sebelum akhirnya menghela napas pasrah. Mata coklatnya kini menatap dua sosok tamunya yang sedari tadi diam. “Tuan, maaf. Ijinkan saya mengantar teman saya sebentar.” Natalio menatap Darga yang sepertinya masih asik mamandangi gadis asing yang masuk keruangan tanpa permisi, ia mengulas senyum tipis, “Bagaimana jika temanmu ikut bermain disini?” Tubuh Clearesta menegang. Ia menggenggam tangan Kaleena dengan erat. Kaleena mencoba mengulas senyum manis andalannya, meskipun dalam hati ia merasa ingin mengumpat, “Maaf, tapi temanku sedang merasa tidak baik. Ada sesuatu yang sedang terjadi padanya dan mengakibatkan dia kemari tidak sengaja.” Kaleena menatap Clearesta sekilas, “Untuk kelancangannya saya minta maaf.”   “Apa maaf saja cu_” “Biarkan saja mereka pergi.” Darga menyela ucapan Natalio, dirinya berjalan kembali duduk ketempatnya semula, “Aku sedang tidak ada mood untuk bermain.” “Kau yakin?” “Hn.” “Oh, baiklah. Kalau begitu kalian berdua pergilah!” Natalio mengibaskan sebelah tangannya pada dua orang yang berdiri di tengah ruangan. Tanpa banyak kata Kaleena segera berterima kasih dan menyeret Clearesta keluar. Membuat gadis itu yang tidak siap sedikit terseok mengimbangi langkah kakinya. Tangannya pun sampai terbentur gagang pintu. “Aw, tanganku sakit bodoh!” “Diamlah, kau merusak moodku!” Sepeninggal dua orang itu, Natalio kembali menatap Darga, ia memberi pandangan sahabatnya itu tatapan tak mengerti, “Ada apa? Bukankah kau tertarik pada gadis pengacau itu?” “Kapan aku bilang tertarik?”  “Memang tidak bilang sih, tapi tatapan matamu terasa menelanjangi gadis itu.” Natalio menghendikkan bahu tak peduli. Darga diam, ia tak menjawab. Dan memilih berdiri saat matanya tak sengaja menangkap sesuatu di bawah pintu. Lantas, iapun berinisiatif mengambilnya. “Ada apa Darga?” Masih tak menjawab, Darga segera mengantongi benda yang ia temukan, “Tidak.” Jawabnya sebelum kembali duduk. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD