Bab 3

1671 Words
Clearesta membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali guna menyesuaikan cahaya. Ia sedikit mengerang, sebelum berbalik posisi menghindari sinar matahari yang masuk melalui celah gorden jendela. Kembali menyamankan diri, bergelung dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya dari hawa dingin. Ia merasa lelah, dan merasa sangat malas untuk bangun. "Bangun pemalas!"             Mata Clearesta terbuka sebelah, mengintip seseorang yang baru saja menarik-narik selimutnya. Ia pun mau tak mau memaksa kedua matanya yang terasa berat untuk terbuka. Menatap penghuni lain kamarnya yang kini sudah berdiri di sisi ranjang dengan bertolak pinggang. “Sekarang jelaskan padaku soal tadi malam!” Clearesta meringis, sepagi inikah dia harus mulai membahas masalh mengerikan semalam? “Masih pagi, setidaknya berikan aku sarapan dulu. Kau tahu, aku sangat kelaparan!” Kaleena menahan diri untuk tidak memutar kedua bola matanya, “Kau mengelak lagi, tadi malam kau sudah berjanji akan menceritakan semuanya padaku!” “Aku tidak mengelak, tapi untuk sekarang aku benar-benar butuh sesuatu untuk membungkam cacing-cacing peliharaan perutku!” Mau tak mau akhirnya Kaleena mengalah, “Tunggu sebentar, aku ambilkan bubur ayam yang sudah kumasak.” Ia pergi kedapur, tak memakan waktu yang lama ia kembali dengan semangkuk bubur dan juga segelas air putih. Clearesta tersenyum, lalu segera menyahut mangkuk bubur setelah Kaleena mengangsurkannya. Keadaan hening saat Clearesta menyantap makanannya, sedangkan Kaleena duduk di sisi ranjang Clearesta yang kosong dan sibuk dengan ponsel miliknya. “Jadi bisa kau bercerita sekarang?” tanya Kaleena saat melihat Clearesta meletakkan mangkuk buburnya yang sudah kosong di samping nakas Clearesta mendengkus lirih, bibirnya sedikit maju kedepan melihat ketidak sabaran sahabatnya, “Kau memang selalu tidak sabar Leen!” “Itu karena kau selalu mengulur-ulur waktu Cley! Sudah cepat ceritakan semuanya!” “Tapi sebelum aku bercerita kau harus berjanji dulu.” Kata Clearesta sedikit gugup, bayangan dimana kejadian semalam kembali memenuhi pikirannya. Ketakutanpun perlahan menyelimuti tubuhnya, “Jangan memberitahukan ini pada siapapun dan jangan memarahiku.” “Memangnya apa yang kau lakukan?” “Pokoknya kau harus janji dulu!” Kaleena menghela, mata coklatnya menatap sang sahabat yang tampak ketakutan. Tak ada cara lain selain mengangguk. Rasa penasarannya sudah berada di ujung tanduk. Clearesta menelan kering, ia perlahan membuka suaranya. Mendadak keringat dingin mulai keluar dari pori-pori telapak tangannya. Dengan gugup ia mulai bercerita. “Jadi, saat aku dalam perjalanan pulang...” *** Darga menyetir mobilnya santai, tidak terlalu cepat, dan tidak terlalu lambat, hanya sedang-sedang saja, 60KM/ jam. Tatapan matanya fokus mengarah ke jalanan. Sesekali tangannya yang memegang rokok ia arahkan kemulutnya, menghisap benda putih itu lalu menghembuskannya. Rambut raven halusnya di terpa angin malam yang masuk lewat jendela mobil yang ia buka.. Ia merogoh sakunya saat merasakan ada getaran dari benda berbentuk persegi panjang miliknya. Melihat nama dan nomer yang tertera di layar mulus warna hitam tersebut. Lalu dengan segera ia menggeser layar hijau yang terpampang di layar. "Halo." “...” "Apa kau sudah mencari tahu?" Darga menepikan Lamborgini hitam miliknya. “.....” "Baiklah, cari tahu semuanya. Jangan sampai ada yang terlewat. Dan lagi, jangan sampai orang lain tahu, terutama Dia." ucapnya sebelum mematikan sambungan telepon tersebut. Darga melepas seatbelt yang melilit tubuh kekarnya. Lalu membuka pintu mobil dan turun, berjalan menuju rumah minimalis yang berada di seberang jalan di seberang jalan. "Akhirnya kau datang juga Dare." ucap Natalio setelah Darga membuka pintu. "Kami sudah menunggumu Darga." kata pria yang duduk tak jauh dari Natalio. Darga tak menyahut, ia memilih mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, "Hn. Dimana dia, Skeeter?". "Di ruang seperti biasa, huahhh.. Dia benar-benar keras kepala. Itu membuatku kesal." jawab Skeeter seraya menguap. "Baiklah, kalian tunggu disini, biar aku yang mengurusnya." Darga melangkah menuju pintu berwarna putih di pojok ruangan. Natalio dan Skeeter hanya mengangguk, lalu kedua orang itu mendudukkan diri di sofa yang ada di tengah ruangan. *** "Ini membuatku ikut gila Cley..." Kaleena mengurut keningnya, wanita berkacamata itu ikut pusing saat mendengar cerita dari sahabat penggila pasta tersebut. Bisa-bisanya sahabatnya itu melakukan hal yang sangat berbahaya bagi dirinya sendiri. "Kau saja gila, apa lagi aku." raut keputus asa-an terpancar jelas di wajah Clearesta. Ia menunduk, tak tahu harus melakukan apa, "Leena.. Aku harus bagaimana.. " kata Clearesta lagi. Kaleena, menggeleng, "Aku juga tidak tahu, itu salahmu sendiri Cley." "Aku hanya penasaran Leen, itu bukan salahku." "Justru itu bodoh, rasa penasaranmu itu yang membuatmu terkena sial seperti ini. Oh astaga Clea,, mereka pasti sudah mulai memburumu.." Kaleena meremas rambut merahnya gemas. "Lalu aku harus bagaimana.. Aku takut.." cicit Clearesta. Kaleena menghela nafas, cukup frustasi dengan masalah yang menimpa sang sahabat, "Jujur aku tak bisa banyak membantu, yang bisa kau lakukan sekarang hanya satu, yaitu kau harus berhati-hati, kalau perlu kau harus menyamar. Atau kau akan tamat." jelasnya. Clearesta mengurut pangkal hidungnya pelan, "Ini akan menjadi hal terberat yang ku lalui." "Hanya itu yang bisa kau lakukan Clea. Aku akan berusaha mencari jalan keluar lainnya." Clearesta mengangguk mendengar ucapan Kaleena. "Astaga, ini sudah jam berapa? Aku lupa jika harus pergi bekerja." ucap Clearesta tiba-tiba saat sadar jika hari ini bukanlah hari libur untuknya. Tak ia sangka jika bercerita dengan Kaleena akan memakan waktu selama ini. "Tenanglah aku sudah memberi tahu bibi Adeola, bahwa kau sedang tidak enak badan dan tak bisa masuk kerja." terang Kaleena. Dirinya sudah antisipasi jika hal ini akan terjadi. Clearesta sedikit menghela nafas lega. Ia menyamankan posisi duduknya dengan bersandar. Lalu kembali menatap Kaleena, "Dua pria kemarin, mereka adalah tamu-tamumu?" tanyanya pada Kaleena. “Hem.” Sahut Kaleena dengan ringan, “Dan kau membuat aku gagal menggali emasku.” Clearesta meringis, hei, itu juga di luar kendali dirinya, “Maaf, itu semua kecelakaan.” “Lain kali jangan membuat hal yang merepotkan karena rasa penasaranmu. Jika ada sesuatu yang memang sudah tidak beres lekaslah pergi sejauh mungkin. Sudah tahu kau itu gadis lemah.” Olok Kaleena ringan. Clearsta mencibir, sedikit tak terima dengan ucapan sahabatnya meski apa yang di katakan wanita itu ada benarnya. “Kenapa mulutmu seperti itu? Minta di pukul?” Clearesta berdeham saat mendengar nada sinis sahabatnya. Matanya menyorot pada Kaleena yang mulai sibuk dengan majalah wanita miliknya. Seketika sinar emeraldnya menjadi sendu. "Leena.." panggil Clearesta ringan. "Hem?" gumam Kaleena tanpa melihat ke arah Clearesta, ia fokus dengan majalah yang ada di tangannya. "Bisakah aku minta sesuatu darimu?" "Apa?" "Bisakah kau berhenti?" Gerakan tangan Kaleena yang hendak membalik majalah fashion itu terhenti. Dengan tubuh yang sedikit menegang. "Kumohon berhentilahh.." pinta Clearesta. Ia menggigit bibir bawahnya saat melihat Kaleena tak bereaksi apapun. Kaleena masih diam, kemudian ia menutup majalah yang di pegangnya dan menaruhnya di atas nakas. Lalu wanita bermata coklat itu melihat ke arah Clearesta yang menatapnya sendu. "Aku tidak bisa Cley.." ucapnya seraya tersenyum getir. "Kenapa?" "Karena ini jalanku untuk hidup." Clearesta mendengkus, "Masih banyak pekerjaan yang lain Leen." "Aku tahu, tapi ini satu-satunya cara aku bisa bertemu dengan dia." Kaleena menggenggam kedua tangan sahabatnya. "Dia sudah membuangmu Leen, dia sudah tak peduli denganmu. Kenapa kau masih saja ingin melihat dan bersama dengan dia." geram Clearesta, mata emerald gadis itu berkilat marah. "Tapi hanya dia yang tersisa dalam hidupku, Cley." "Lalu kau anggap aku apa, huh?" "Kau sahabatku, kau saudaraku, kau keluargaku. Tapi mengertilah, dia lah orang yang juga berarti dalam hidupku." Clearesta terdiam, ia menunduk tak berani melihat coklat indah sahabatnya yang mulai berair itu. "Aku hanya tidak ingin.. Kau seperti ini Leen. Aku takut terjadi sesuatu padamu andaikan dia tahu jika dirimu ada di sekitarnya selama ini." lirih Clearesta. Kaleena bergerak memeluk Clearesta, ia mengusap lembut punggung sahabatnya itu. "Kau tak perlu khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri." “Tapi dia pria kejam, terakhir kali kau berhubungan dengannya kau hampir mati.” “Itu karena dia tiba-tiba meninggalkanku. Percayalah, sekejamnya dia, dirinya mempunyai sisi yang lembut.” “Bagaimana aku tahu akan hal itu, aku tak pernah bertemu dengannya. Selain foto, tidak ada yang bisa aku kenali dari priamu yang berengsek itu.” Kaleena terkekeh, ia mempererat pelukannya pada Clearesta. “Aku berjanji, jika suatu saat bertemu dengan dia, aku akan memukulnya untukmu!” Cleareta membalas erat pelukan sahabatnya itu. "Hanya kau yang aku punya, aku tidak ingin kau kenapa-napa karena kelakuan bodohmu ini." Kaleena tersenyum lembut, sahabat yang sudah di anggapnya sebagai adiknya itu memang terlalu khawatir padanya, "Jangan khawatirkan aku, aku akan selalu baik-baik saja." ucapnya seraya mengelus penuh kasih sayang punggung sahabatnya itu.                   Clearesta semakin mengeratkan pelukannya. Ia terlalu khawatir dengan apa yang di perbuat oleh sahabat kecilnya itu. Ia tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadap orang yang sudah di anggap kakaknya tersebut. ***  Harina melangkah dengan anggun dan percaya diri. Wanita berdarah biru itu menatap tajam kedepan. Membuat siapa saja pasti ketakutan akan tatapan dari mata abu-abu miliknya tersebut. "Apa ayah ada di dalam?" tanyanya pada seorang pria bertubuh kekar yang tengah berjaga di depan pintu yang terbuat dari kayu jati itu. "Iya, nona. Tuan Harold ada didalam." Tanpa banyak kata Harina segera membuka pintu dan melangkah masuk kedalam ruangan tersebut, setelah pria yang menjaga ruangan ayahnya itu menyingkir.         "Ayah.." panggil Harina pada ayahnya yang sedang membaca sebuah dokumen di meja kerjanya. Harold mendongak pada seseorang yang memanggilnya, lalu dia menutup dokumen yang dibacanya dan melepas kacamata yang dipakainya. "Ada apa?" Harina berjalan mendekat pada ayahnya dan duduk di kursi depan ayahnya. Bertopang dagu dengan raut masam. "Aku kesal." ucap Harina seraya memanyunkan bibir tipisnya.       "Kesal pada siapa?" "Tentu saja dengan rekan kerja ayah!" Harold mengangkat sebelah alisnya, "Rekan kerja ayah yang mana?" Harina semakin cemberut, pipi chaby miliknya semakin menggelembung, "Tentu saja rekan kerja aya yang terakhir.." Harold tertawa, "Memangnya ada apa dengan dia?" "Dia menolak ajakan makan malamku." ucap Harina kesal. "Berani sekali dia menolak ajakan seorang putri dari keluarga Addison.." "Nah maka dari itu ayah, buat dia menyesali perbuatanya." rengek Harina. "Tidak mudah menaklukkannya sayangku, dia terlalu kuat." "Tapi aku ingin dia tahu siapa aku ayah.. Aku juga ingin dia menjadi milikku," "Kau tenanglah, dia akan menjadi milikmu." seringai tercetak di wajah pria paruh baya itu. "Ayah janjii!!" mata Harina berbinar mendengar ucapan ayahnya. "Janji." ucap Harold penuh keyakinan. "Terima kasih ayah, ayah yang terbaik." Harina berdiri dan memeluk ayahnya dari belakang. "Apapun untukmu putriku." seringai kembali tercetak dibibir Harold.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD