Delapan

1105 Words
D E L A P A N Haruskah gue menjawabnya sekarang ? "Kita baru kenal beberapa hari," kata Melissa akhirnya. "Maksud kamu beberapa bulan? Aku banget inget 2 bulan yang lalu aku ngenalin diri ke kamu. Meskipun kamu hanya merespon dengan senyuman singkat," kata Nathan kembali mengingat kejadian di depan ruang rawat Lexa dulu. Dan Melissa juga, "Dan kamu inget namaku." "Tapi kita belum kenal deket, Nath. And seriously, punya temen cowok yang usianya lebih muda dari usiaku, sama sekali gak ada dalam rencana hidupku," tutur Melissa pelan. "Kalo gitu ayo kita mengenal lebih dekat dengan saling memiliki, Mel. And trust me, I don't even care about your age." "But I do. I care about my age, and yours," kata Melissa. Menarik tangannya yang sedari tadi digenggam Nathan, "Nath, aku emang temen Lexa, aku menyayangi Lexa seperti adikku sendiri, aku merasakan apa yang Lexa rasakan.” “Meskipun Lexa gak cerita. Aku merasakan semuanya. Kebahagiaannya, kesedihannya. Luka dan kehancurannya. Dan aku gak mau apa yang terjadi sama Lexa, juga terjadi padaku. Aku gak mau mengenal cinta yang kelak akan membuatku sakit. Terluka atau bahkan hancur. Aku hanya mau cinta yang bahagia." Nathan terdiam. Jujur dalam hati dia terperangah mendengar ucapan Melissa. Ini adalah dialog terpanjang yang pernah dia dengar dari mulut Melissa. "Kenapa kamu berpikir aku akan membuat kamu terluka?" "I'm not. Aku memikirkan, gimana kalo aku yang membuatmu terluka? Membuatmu hancur dan gak bisa memberi kamu cinta yang bahagia ?" Ada sesuatu di masa lalu, yang membuat Melissa mantap mengatakan itu. Sesuatu yang dia lihat sendiri di usianya yang masih belia. Yang membuat Melissa hingga sekarang enggan untuk berteman dengan cinta. "Aku udah pernah bilang, Mel. Aku akan melakukan apapun. Apapun meski aku harus jatuh, terperosok dan berdarah-darah asalkan kamu menjadi milikku." Sesuatu di dalam hati Melissa yang bersorak gembira mendengar perkataan Nathan barusan. Namun sudut lain di hatinya, bagian yang masih beku itu. Meredam sorakan gembira untuk tidak sampai terdengar oleh Melissa. "Tapi aku gak mau kamu sampai harus merasakan luka Nath. Kamu pria yang baik. Kam--" "Dan kamu wanita yang baik Mel," potong Nathan cepat. "Aku inget Lexa pernah bilang, kalo pria baik hanya untuk wanita yang baik." "Tapi nyatanya aku bukan wanita baik-baik, Nath. Aku mencelakai Lexa, melempar gadis malang itu dengan botol kaca. Membuat Lexa harus mendapatkan beberapa jahitan. Dan aku juga--" Melissa menjeda ucapannya. Kembali mengingat malam itu, "Malam itu, aku nyaris membunuh Nora, dan kamu melihatnya sendiri, Nath." "Masalah Lexa, itu karena kamu gak sengaja, Mel. Kamu dulu hanya ingin melukai Renata, orang yang pantas mendapatkan luka. Dan untuk Nora? Pada akhirnya kamu gak melakukan itu kan? Kamu gak membunuh dia, Mel." "Tetaplah, aku bukan wanita baik-baik. Dan aku gak pantas buat kamu," Melissa berujar mantap. Lalu melepas jaket yang tersampir dengan nyaman di tubunya. Mengembalikan jaket itu pada Nathan. Setelahnya Melissa bangkit dari duduknya. Berdiri. "Jadi, sebelum kita berdua jatuh terlalu dalam, ayo kita sudahi ini. Because that good women, it ain't me," kata Melissa. Dengan mantap melangkahkan kakinya meninggalkan Nathan. Nathan yang untuk beberapa detik membeku. Merasakan sakitnya penolakan dari Melissa. Sakit karena, bahkan dia belum sempat berjuang lebih keras untuk meluluhkan hati Melissa yang beku. Namun si empunya hati sudah kembali menutup rapat hatinya. Menguncinya dan melempar kunci itu ke dalam luasnya lautan. Dan Nathan sadar. Dia harus menyelami lautan itu untuk mendapatkan kembali kuncinya. Atau.. Dia harus membuka pintu itu dengan paksa. Iya membuka pintu itu dengan paksa. Mungkin akan sulit. Tapi tidak memerlukan waktu yang lama seperti menyelami lautan demi mendapatkan kunci. Nathan segera bangkit. Berlari kecil mengejar Melissa yang sudah mulai menjauh dari area taman. Bahkan kini Nathan berlari kecil keluar dari taman yang masih sepi ini. Napasnya mulai terengah. Dan Nathan menghentikan langkahnya untuk sekedar menyetabilkan napasnya. Mata cokelatnya masih menatap Melissa yang kini berjalan dengan lunglai di seberang jalan. Dengan tatapan kosong. Dan kedua tangan yang memeluk dirinya sendiri. Ah, juga rambut panjang Melissa yang berterbangan ditiup angin malam. Nathan kembali melangkahkan kakinya untuk menuju mobilnya di seberang jalan. Nathan berjalan tidak fokus saat menyeberang karena pandangannya masih terpatri pada sosok Melissa. Masih, dan terus berfokus pada Melissa. Hingga dia tidak peduli dengan apa yang sedang melintas ke arahnya. Tak menghiraukan deru motor balap yang sudah mendekatinya. Bahkan..tak mempedulikan jika dirinya kini telah terbaring dengan penuh darah di aspal jalanan. BRUAKKK!!! Melissa seketika menoleh ke belakang. Melihat dengan jelas bagaimana keadaan di belakang sana. Melihat bagaimana Nathan tergeletak tak berdaya di jalanan. "NATHAAAANNN!!!" Melissa berseru lantang. Berlari menghampiri Nathan. Mengabaikan kakinya yang mulai lecet karena high heelsnya. "Hey, hey.." kata Melissa saat sudah berada di samping Nathan. Tubuhnya merosot terduduk lemas. Meraih kepala Nathan dan menyandarkannya pada pangkuan Melissa. "No..No..Tolong jangan Nath," suara Melissa bergetar. Bagaimana tidak? Keadaan Nathan ini. Mengingatkan Melissa pada keadaan Lucas tiga tahun lalu. Saat adik laki-lakinya itu menyerah pada janji dan meninggalkan Lexa. Meninggalkannya. Untuk selamanya. Tangan Melissa bergerak memeriksa denyut jantung Nathan. "Hey..aku gak apa," seru Nathan lemah. Terdengar jelas di telinga Melissa. Bersamaan dengan seseorang yang berdiri di depan Melissa. Dengan pakaian seperti pembalap. Pria itu melepas helmnya. "God!!" seru pria itu langsung terduduk di sebelah Nathan. Tangan pria itu meraih ponsel di dalam saku jaketnya, "Halo.." suara pria itu terdengar panik. Melissa yang sedari tadi menepuk-nepuk pelan pipi Nathan. Menjaga agar Nathan tetap membuka mata. Kini Melissa menatap pria itu. "Bawa mobil kesini cepet. Max nabrak orang," perintah pria itu. Kemudian kembali memasukkan ponselnya ke dalam jaket, "It's fine, temen gue akan segera sampai sini." "Sebastian?" Melissa bersuara pelan. Pria itu baru mendongak. Menatap Melissa. "Lo?" Sebastian menatap Melissa, "Kok lo disini ?" "Kita tadi bawa mobil. Bisa lo tolong--" "Mel.." panggil Nathan lemah. Mengalihkan kembali pandangan Melissa dari Sebasitan ke Nathan. "Ya, Nath?" kata Melissa menggenggam erat tangan kanan Nathan. "Lo ? Ken--" "Aku gak akan mati secepat ini Mel," ujar Nathan pelan. Bersamaan dengan datangnya mobil dan juga beberapa orang yang kini berhamburan membawa tubuh Nathan ke dalam mobil Nathan. Juga Melissa yang kini menjadi sandaran kepala Nathan. "Mel?" gumam Sebastian pelan. Kini kembali berjalan menuju motornya. Memacu motor balapnya itu mengikuti mobil Nathan. --The Only Exception-- Hanya butuh waktu 5 menit untuk Gardner membawa Nathan menuju rumah sakit terdekat. Nathan pun langsung di bawa ke ruang operasi. Melissa kini masih berdiri panik di depan ruang operasi. Mulutnya tak henti menyebutkan doa-doa agar Tuhan menyelamatkan nyawa Nathan. Aku gak akan mati sebelum kamu jadi milikku, Mel. Seperti yang pernah aku bilang. Aku rela jika harus jatuh, terperosok dan berdarah-darah agar kamu menjadi milikku. Mungkin seperti inilah caraku berjuang mendapatkan kamu. Harus berdarah-darah demi menghangatkan hatimu yang beku. Beginilah caraku berjuang, Melissa Benoist. Seperti apa caramu berjuang ? --The Only Exception--
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD