Harus Menikah!

1317 Words
Keributan yang terjadi di kamar itu membuat penghuni rumah tampak mulai berdatangan. Mama Sarah adalah orang petama yang muncul, wanita paruh baya itu langsung kaget melihat kondisi putrinya yang tak berbusana, lalu pandangannya tertuju pada sosok Arya yang berada di selimut yang sama dengan Rani. “Kalian berdua, apa yang sudah kalian perbuat?” tanya Mama Sarah. Tak lama kemudian, Pak Radit—yang merupakan ayahnya Rani, lalu Rendy—kakaknya Rani, kemudian Nenek Rinjani, mereka juga datang ke kamar tersebut. Saat memasuki kamar, mereka semua kaget melihat situasi yang ada. “Rani, apa-apaan ini?” tanya Pak Radit, matanya nyalang menatap putrinya penuh amarah. Tangannya bahkan terkepal, seperti hendak menampar putrinya sendiri. “Radit, ini semua bukan salah Rani,” sahut Bunda Eni, dia tak mau keponakannya itu disalahkan karena perbuatan putranya. “Bunda bilang gitu seolah-olah cuma aku yang salah di sini,” keluh Arya. “Kalau emang bener lo yang salah gimana,” sahut Rendy, pria seusia Arya itu tampak menatap penuh amarah. “Ren, gue bukannya sengaja sentuh adik lo,” terang Arya. “Terus maksud lo Rani nyerahin diri ke elo gitu? Lo pikir semua yang ada di sini bakal percaya sama alasan lo itu? Lagian kalau lo punya otak, lo enggak akan mungkin gauli Rani, dia adik sepupu lo sendiri anjing,” kesal Rendy. Arya mengembuskan napasnya berat, pandangannya lantas tertuju pada sosok Rani yang tampak menangis sesenggukan dalam pelukan Mama Sarah. Melihat situasi saat ini, wajar jika orang-orang menyalahkan Arya. Padahal dirinya tak sepenuhnya salah. “Sekarang lo mau gimana tanggung jawab ke Rani, Arya? Lo udah hancurin masa depan adek gue. Lo rengut kehormatannya.” Rendy masih saja mendesak. Sebagai kakak, tentu saja dia tidak senang melihat adiknya dilecehkan seperti ini, apalagi oleh sepupu dekatnya sendiri. “Ya gue juga enggak tahu. Di sini gue juga korban, Ren. Lo seenaknya aja nuduh gue. Rani juga salah asal lo tau.” Arya menjadi sangat kesal ketika semua orang memojokkan dirinya. “Sudah, cukup, jangan bertengkar lagi,” sahut Nenek Rinjani. “Karena sudah terlanjur begini, solusi terbaiknya Arya sama Rani, mereka sebaiknya dinikahkan saja,” anjur wanita tua itu sembari menghela napasnya pelan. Sebenarnya ini adalah keputusan yang berat. Tapi karena tidak mau ada keributan, Nenek Rinjani terpaksa membuat keputusan ini untuk meredam amarah anak dan cucunya. “Enggak, aku enggak mau nikah sama dia,” tolak Arya. Bunda Eni langsung menggebuk punggung Arya, hingga laki-laki itu kembali mengaduh sakit. “Bunda apaan sih mukul aku terus,” keluh Arya. Kemudian pandangannya kembali tertuju pada Rani. Kali ini Arya menarik perempuan itu agar lepas dari pelukan Mama Sarah. “Ran, lo harus jelasin ke mereka kalau gue enggak salah,” suruhnya. Namun, Rani malah semakin menangis kencang. Semua orang pun sontak menatap Arya geram. Arya mendesah pelan, dia merasa sangat apes. Harusnya semalam dia tidak pulang ke rumah usai clubing dengan geng motornya. Jika bukan karena pengaruh minuman keras, dia dan Rani tidak mungkin berakhir seperti ini. *** Arya menarik lengan Rani kasar, pria itu membawa Rani menuju halaman belakang, menjauh dari keluarga mereka yang sedang mendiskusikan pernikahan. “Lo apaan sih tarik-tarik gue ke sini,” protes Rani. Arya melepaskan lengan Rani, pria itu kemudian menatap Rani serius. “Gue enggak bisa nikah sama lo,” cakap Arya. “Gue udah punya cewek, Ran,” terangnya. Rani bernapas panjang. Bola matanya menatap malas sosok pria di depannya itu. “Lo pikir gue mau nikah sama lo. Gue juga terpaksa,” kesal Rani. “Ya udah kalau gitu kita bilang sama mereka kalau kita enggak setuju sama pernikahan paksa ini,” usul Arya. “Enggak mau,” tolak Rani. Arya mengernyit. “Apa lo bilang?” “Gue enggak mau batalin pernikahan kita. Kak Arya budek, ya,” sungutnya. “Lah, tadi lo bilang terpaksa nikah sama gue. Daripada lo menderita karena pernikahan paksa ini, mending dari sekarang kita cegah pernikahan ini,” cakap Arya. “Kak Arya enak banget ya ngomongnya.” Rani terlihat kesal. “Okey, mungkin bagi Kak Arya kejadian semalam itu cuma kayak mimpi basah doang. Tapi bagi gue, kejadian semalam itu sangat mempengaruhi masa depan gue,” jelasnya. “Lebay banget sih lo.” “Lebay lo bilang?” Rani semakin geram melihat tanggapan Arya yang sama sekali tidak merasa bersalah padanya. “Lagian apa hubungannya kejadian semalam sama masa depan lo sih, berlebihan banget,” tukas Arya. “Gue udah cacat gara-gara lo sialan.” Rani sudah terlanjur emosi. “Cacat?” Kening Arya berkerut. Dia lantas memandang tubuh Rani dari atas sampai bawah. “Cacat apanya, lo sehat begini,” cakapnya. “Gue perempuan, Kak Arya. Lo pasti paham maksud gue. Lo pasti ngerti apa yang udah hilang dari diri gue setelah kejadian semalam.” Arya terdiam. Walaupun Rani tidak menjelaskannya secara detail, tapi Arya sudah mengerti maksud perempuan itu. “Kalau gue enggak nikah sama lo, laki-laki mana yang mau terima perempuan kayak gue yang udah enggak perawan lagi,” tuturnya, menatap Arya sebal. “Jadi, jangan suruh gue buat batalin pernikahan kita walaupun gue sebenernya juga enggak berharap nikah sama lo,” tegasnya. Arya tak menanggapi. Rani mendengus kesal, kemudian dia berlalu pergi dari hadapan kakak sepupunya itu. “Persetan dengan semua ini,” umpat Arya, dia merasa sangat frustrasi. Setelah ini, bagaimana dia akan menjelaskannya pada Jean—pacar tercintanya. Di dapur. Rani terlihat meneguk minuman dingin beberapa kali. Perempuan itu sedang berusaha meredam emosinya yang membara. “Kamu kenapa?” tanya Rendy, sang kakak datang menghampiri. Rani mengembuskan napasnya berat, lalu meletakkan gelas kosong ke atas meja. “Tanpa aku jelasin, Kakak pasti paham kan aku kenapa,” tutur Rani. Kini napas Rendy yang terdengar berembus berat, pria itu lantas duduk di samping adiknya. “Kamu yakin mau nikah sama Arya? Mereka semua udah sepakat mau menikahkan kalian dua minggu lagi, setelah pendaftaran pernikahan kalian ke KUA selesai,” papar Rendy. “Suka enggak suka, aku harus terima pernikahan ini kan,” cakap Rani, sebagai perempuan dia tak memiliki pilihan lain. “Terus pekerjaan kamu gimana? Bukannya kamu enggak boleh nikah dulu sebelum masa percobaan selesai?” tanya Rendy. “Ya mau enggak mau, aku juga harus terpaksa resign,” lirih Rani, terlihat lesu. Rendy bernapas panjang. “Ck, semua jadi runyam begini,” ujarnya. “Sebenernya Kak Arya enggak sepenuhnya salah sih,” kata Rani. Rendy sontak menoleh. “Kamu kok jadi bela dia?” “Bukan belain, tapi aku sadar diri kalau aku juga salah. Semalem karena takut enggak bisa tidur di tempat baru, aku minum obat tidur, makanya aku ngira ... semua yang terjadi itu cuma mimpi,” terangnya, mengigit bibirnya getir. Rendy memijat pelipisnya, ikut pusing sendiri dengan nasib malang yang menimpa adiknya. “Jujur ya, Ran. Aku sebenernya enggak setuju kamu nikah sama Arya. Dia memang sukses secara finansial, wajahnya memang oke. Tapi dia juga punya sisi yang buruk,” cakap Rendy. “Maksud Kakak apa?” “Dia itu berandal yang suka main cewek, hobi clubing, suka mabuk-mabukan, dan punya geng motor yang sebenernya lebih pantes disebut geng mafia,” jelasnya. Rani mengernyit. “Kakak enggak lagi jelek-jelekin Kak Arya karena kesel sama dia kan?” curiganya. “Lagian mana ada geng mafia di negara kita, Kakak kebanyakan nonton film Barat, ya,” imbuh Rani. “Ngapain aku jelek-jelekin dia, kurang kerjaan banget. Aku tahu semua itu karena dulu aku juga sama kayak dia,” tukas Rendy. “Kakak juga suka main cewek sama hobi mabuk—” “Sekarang udah enggak,” sela Rendy. “Itu dulu sebelum kakak kenal sama Andin,” terangnya. Andin adalah tunangannya Rendy, yang baru lamaran bulan kemarin dan akan melangsungkan pernikahan lima bulan lagi. “Woi, kalian berdua. Buruan ke ruang tamu. Terutama lo, Rani. Kita dipanggil sama mereka,” sahut Arya, pria itu muncul dari arah ruang tengah. Napas Rani berembus berat, dengan ogah-ogahan dia melangkah mengekori Arya yang berjalan lebih dulu di depannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD