Kekasih Arya

1148 Words
Arya Jencarlos, dia adalah pria tampan berdarah campuran Spanyol. Ayah kandung Arya adalah seorang pria berkebangsaan Spanyol yang tanpa sengaja jatuh hati dengan Bunda Eni. Namun, sangat disayangkan, saat Arya berusia tiga tahun, ayah dan ibunya bercerai. Alexandro pulang ke negera asalnya, meninggalkan Arya dan sang ibu. Terakhir kali Arya mendengar kabar tentang ayahnya, pria itu sudah meninggal empat tahun silam dan Arya sama sekali tidak peduli ketika kabar itu sampai di telinganya. “Selamat siang, Dokter Arya.” Perawat klinik gigi itu menyapa Arya yang baru selesai memeriksa pasiennya. “Siang.” Arya membalasnya dengan senyum singkat. “Halo, Dokter Arya,” sapa salah satu pasien. “Halo, Loli.” Arya balas menyapa salah satu pasiennya yang masih berusia sepuluh tahun. “Dokter Arya, ada titipan dari pasien untuk Anda,” ujar seorang pegawai wanita di bagian administrasi. Arya pun mendekat, lalu menerima sebuah parsel berisi kotak kue yang sering kali dia dapatkan dari para pasiennya. Jangan heran kalau Arya terlihat disenangi semua orang, dia memang populer, sangat-sangat populer di kalangan wanita. Tua, muda, bahkan anak-anak, semuanya menyukai pesona Arya. “Saya mau ketemu sama Dokter Arya,” kata seorang perempuan yang baru saja masuk ke dalam klinik gigi itu. “Maaf, Mbak. Anda tidak bisa langsung bertemu dengan Dokter Arya. Jika Anda ingin diperiksa oleh Dokter Arya, silakan melakukan pendaftaran terlebih dulu. Dan Anda juga harus mematuhi antrean,” cakap pegawai administrasi sambil menunjuk beberapa orang yang tampak duduk di area tunggu. Rani—perempuan itu mengernyit. “Mereka semua antri demi diperiksa sama si Arya?” tanyanya. Pegawai administrasi tersenyum, lalu mengangguk singkat. “Benar,” jawabnya. “Memangnya di klinik ini cuma ada satu dokter?” heran Rani, dia tidak tahu kalau Arya sangat populer di daerah ini, bahkan banyak klinik gigi pesaing yang terpaksa tutup ataupun pindah ke tempat lain karena semua orang di daerah ini kebanyakan datang mengatasi masalah gigi mereka ke klinik milik Arya. “Ada dokter lain juga kok, Mbak. Tapi Mbak juga masih harus mengantri,” jelas si pegawai administrasi. Rani mengembuskan napasnya berat. Jika bukan karena disuruh neneknya untuk mengantarkan makan siang pada Arya, mana mungkin Rani mau jauh-jauh datang ke sini. Ogah banget, pikirnya. “Mbak jadi mau daftar apa enggak?” tanya si pegawai administrasi. “Saya datang ke sini bukan mau periksa gigi,” ujar Rani. “Kalau begitu bisa tolong minggir, Mbak? Orang-orang di belakang Anda sudah mengantri sejak Mbak masuk ke sini,” cakapnya sambil menunjuk beberapa orang yang tampak berbaris di belakang Rani. Rani cukup kaget saat dia menoleh ternyata ada banyak orang yang mengantri di belakangnya. Padahal tadi saat dia masuk, dia merasa tidak ada orang lain yang mengekorinya. Tak disangka, belum ada sepuluh menit dia di sini, sudah ada sekitar tujuh orang yang berbaris mengantri di belakangnya. Dengan ragu, Rani menggeser tubuhnya, memberi jalan untuk orang-orang yang mengantri itu agar bisa mendaftarkan diri di bagian administrasi. Rani bernapas pelan, dia menatap wadah bekal makan siang yang hendak dia berikan pada Arya. “Apa gue makan aja, ya? Tapi gimana kalau nenek tahu?” gumam Rani, ide cemerlang itu tiba-tiba tersemat di benaknya. “Ah, bodo amat, gue makan aja, lagian males juga ketemu sama dia,” ujarnya. Setelah itu, Rani bergegas menuju pintu keluar. Namun, saat dia hendak membuka pintu tersebut, seorang wanita yang tampak sangat cantik masuk ke dalam klinik, dia tersenyum singkat saat berpapasan dengan Rani. “Jean.” Suara Arya terdengar. Rani tentu langsung menoleh. Dia melihat Arya tampak tersenyum lebar, seperti senang bertemu seseorang. Tapi Rani yakin pria itu bukan tersenyum padanya. Kemudian, wanita yang berparas cantik tadi melangkah melewati Rani, lalu dia memeluk Arya manja. Pelukan mereka membuat wajah para pengunjung klinik tampak kesal. Walau ada beberapa yang terlihat gemas melihat sepasang sejoli itu. “Apa dia pacarnya?” gumam Rani. Pandangan Arya kemudian menangkap sosok Rani yang berdiri di dekat pintu masuk kliniknya. “Lo ngapain ke sini?” tukas Arya, nada suaranya terdengar ketus, apalagi dia memandang Rani seperti hama. “Intinya gue dateng ke sini bukan karena sakit gigi, karena gue rajin gosok gigi jadi gigi gue enggak ada yang bermasalah. Tapi sekalipun gue sakit gigi, gue juga enggak akan berobat di klinik ini. Apalagi kalau lo dokternya,” sungut Rani, senyumnya terukir sinis. Arya menghela napasnya pelan, malas menanggapi adik sepupunya itu. “Dia siapa, Ar?” tanya wanita berparas cantik itu. “Maaf ya, Mbak. Saya calon istrinya dia,” sahut Rani, memang sengaja berkata seperti itu agar Arya semakin kesal padanya. Benar saja, Arya tampak langsung melotot tajam saat Rani berbicara seperti itu tanpa izin darinya, tentu pria itu tidak senang mendengar perkataan Rani barusan. “Arya, kamu jelasin ke aku. Apa dia beneran calon istri kamu?” tanya wanita itu, namanya Jean Arsila. Berusia 27 tahun dan merupakan seorang chef yang memiliki bisnis restoran dengan mengangkat menu makanan khas Italia. Jean juga wanita berdarah campuran, dia merupakan keturunan Roma, Italia. “Bukan,” jawab Arya. Rani mendecih saat mendengar jawaban Arya barusan. “Dia adik sepupuku, kebetulan dua hari lalu dia datang ke Jakarta karena nenek kami sakit,” terang Arya. “Dia emang suka asal ngomong, jadi enggak usah dengerin omongannya tadi,” imbuhnya. “Oh, dia adik sepupu kamu. Tapi kok kalian enggak mirip, ya?” heran Jean, wanita itu mengamati Rani dengan tatapan yang membuat Rani merasa diremehkan. “Ah, iya, aku lupa, kamu kan punya darah Spanyol, sedangkan dia tidak,” cakapnya. Rani merasa tertohok, selama hidupnya baru kali ini fisiknya diremehkan oleh orang lain. Jujur saja, rasanya Rani ingin menyembur wanita berambut pirang itu, mentang-mentang dia dan Arya darah campuran, jadi seenaknya sendiri bicara tentang rupa orang lain. Memangnya kenapa kalau dirinya berdarah murni Asia? Walau tak begitu cantik tapi Rani imut kok. Oke, Rani akui, wanita di samping Arya itu memang sangat cantik, postur tubuhnya bagus bak model kelas atas. Wajahnya juga terlihat kebule-bulean. Tapi sayangnya dia tidak memiliki etika yang beradab. “Sudahlah, jangan hiraukan dia, ayo pergi,” ujar Arya, dia menggandeng Jean, lalu berjalan melewati Rani dengan tatapan dinginnya. “Awas lo kalau asal bicara lagi,” bisik Arya saat pria itu melewati dirinya. Rani mendengus sebal saat mendengar ancaman dari kakak sepupunya itu. ‘Lo pikir gue takut sama anceman lo, dih,’ batin Rani. Setelah mobil Arya lenyap dari pandangannya. Rani baru ingat dengan bekal makan siang yang dia bawa dari rumah neneknya. “Bodohnya aku, kenapa bekal makan siangnya enggak aku kasih langsung aja ke dia.” Rani mendesah, dia merasa bersalah pada neneknya karena gagal menjalankan amanah. Padahal tadi Arya sudah ada di depan matanya, harusnya tadi dia berikan saja kotak makan siang itu dan langsung pergi. “Ah udahlah aku makan aja, lagian tuh orang sama ceweknya palingan pergi cari makan siang di restoran mahal. Makanan kayak gini mana bisa memenuhi selera sepasang orang sombong itu,” tutur Rani, kemudian keluar dari klinik gigi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD