Dipaksa
Kamila merasa lega setelah selesai menyalami dan mengucapkan terima kasih kepada tamu-tamu undangan pengajian memperingati seratus hari meninggalnya Ardian Abhimanyu, suaminya. Tubuhnya terasa penat dan betisnya kaku karena sejak kemarin sibuk membantu Mama Dian, mertuanya, mempersiapkan acara yang selain mengundang kerabat, tetangga, juga anak-anak yatim piatu dari sebuah pesantren yang sering disambangi keluarga mereka.
Baru saja ia duduk di atas karpet bersandar dinding dan berselonjor kaki, seorang anak perempuan berusia empat tahun menghampiri dan memeluknya. Dia Naura, anak satu-satunya, buah hatinya bersama Ardian.
“Mama, aku ngantuk!”
Kamila merengkuh anak berambut kriwil itu ke pangkuannya. Disekanya keringat di kening kecilnya dan diciumnya meski masih basah.
“Nah, bobo ya Sayang!” Kamila membuainya lembut.
Sebenarnya lebih nyaman jika ia menidurkan Naura di kamarnya. Tetapi, ia takut akan tertidur juga nanti. Sementara masih ada sejumlah kerabat yang masih betah bercengkerama di rumah mertuanya ini. Bisa-bisa Mama Dian menegur sebab menganggapnya tidak sopan.
Maka, ia pun bertahan duduk sambil berbincang dengan Divya, adik iparnya, dan sepupu yang lain, meskipun punggungnya tidak nyaman dan pahanya pegal.
Di ruang tamu, Mama Dian dan beberapa sesepuh keluarga sedang berbicara serius. Kamila sama sekali tidak ingin tahu isi percakapan mereka. Sementara Divya tumbuh penasarannya dan mengendap-endap mendekati untuk mencuri dengar.
Kamila menyenderkan kepalanya di dinding. Dihembuskannya nafasnya kuat-kuat, dan merenung.
Ia bersyukur dapat melewati seratus hari pertama tanpa kehadiran Ardian yang telah lima tahun mendampinginya dengan baik. Tak ada drama berarti, bahkan bisa dikatakan ia pulih lebih cepat dari dukanya. Mungkin karena ia sudah terbiasa kehilangan orang-orang terdekat yang dicintainya. Ibunya meninggal saat usianya 16 tahun, dan ayahnya menyusul dua tahun yang lalu.
Tinggal tiga puluh hari lagi ia harus melewati masa berkabung dengan tinggal di rumah mertuanya ini. Mama Dian bersikeras ia dan Naura tinggal bersamanya dengan alasan biar ada yang menjaga dan melindunginya. Ia berharap, selepas iddahnya, ia bebas menentukan dan melanjutkan hidupnya berdua dengan Naura.
Ia sudah tidak sabar kembali ke rumah mungilnya, serta ingin segera bekerja atau berbisnis. Ya, ia harus segera mandiri dan memiliki penghasilan sendiri melalui usahanya. Walaupun Mama Dian sudah berjanji akan menjamin kesejahteraan Naura dan juga dirinya, ia tidak mau menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Ia sempat menyesal memilih berhenti bekerja setelah melahirkan Naura. Tetapi, ia tak mau larut dalam penyesalan. Ia yakin, pasti akan ada jalan baginya untuk bisa survive.
Divya kembali duduk di dekat Kamila. Ia tersenyum penuh arti memandang Kamila.
“Kenapa, Div?” tanya Kamila.
Divya malah tertawa sambil menutupi mulutnya. “Nanti juga Kak Kamila tahu.”
“Kenapa sih?” Kamila tambah curiga dan penasaran. Ditariknya tangan Divya untuk lebih dekat dengan dirinya. Ia memaksa mahasiswi kedokteran itu memberitahu apa yang didengarnya.
“Mereka itu, lagi pada rembukan. Mereka mau menjodohkan Kak Kamila sama Kak Arzan!” bisik Divya di telinganya.
Kamila tertegun, kaget luar biasa.
Ia tak tahu harus berkata apa atas informasi yang diberikan Divya. Akan tetapi, letupan-letupan emosi mulai bermunculan di dadanya. Ada rasa tak suka, sebab orang lain mengatur hidupnya di saat ia sudah memiliki rencana akan masa depannya. Ada marah dan kecewa, karena ia merasa belum pantas memikirkan mencari pengganti Ardian, apalagi masa iddahnya sendiri belum habis. Dan juga ada perasaan jengah akibat lelaki yang ditunjuk menggantikan posisi suaminya adalah Arzan, kakak kandung Ardian.
“Kak!” Divya menepuk-nepuk bahu Kamila.
Kamila tersadar dari rasa kagetnya.
“Dipanggil mama!”
Jantung Kamila seketika berdegup kencang. Gugup dan takut melanda dirinya.
Divya sigap mengambil alih menggendong Naura yang tertidur pulas di pangkuannya. “Aku bawa ke kamar, ya!”
Kamila mengangguk Ia pun berdiri dan melangkah dengan dengan kaki gontai.
Ia hanya memperhatikan sekilas para kerabat sepuh yang duduk di ruang tamu. Di antaranya terdapat pamannya, adik ayahnya. Matanya langsung tertuju pada Mama Dian yang melambaikan tangan dan menunjuk kursi di sebelahnya yang kosong.
“Sini Sayang!”
Kamila menurut. Walaupun sikap Mama Dian tegas dan cenderung keras, ia tahu, sebenarnya wanita itu menyayangi dirinya. Ia memperlakukan Kamila yang sudah tidak memiliki orang tua seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan Ardian pernah bilang, mamanya lebih mempercayai Kamila dibanding dirinya.
“Kamila… Kamu tahu, kita semua berduka dengan meninggalnya Ardian, suamimu, anak Mama. … Kita semua sedih. Apalagi kamu dan Naura, juga mama. Tapi, hidup harus terus berlanjut, kan?”
Tubuh Kamila mulai panas dingin.
“Sebenarnya memang belum pantas rencana ini dilaksanakan, tetapi menurut kami tidak masalah untuk dibicarakan. Kamu perlu segera mempunya suami lagi, dan Naura perlu sosok ayah, yang akan menjadi pelindung dan penjaga kalian. Jadi, kami para orang tua ini sudah berembuk dan sepakat, untuk menikahkan kamu dengan Arzan.”
Kamila menggigit bibirnya. Untung saja Divya sudah memberi bocoran sebelumnya, sehingga ia tidak terlalu kaget lagi mendengar kesepakatan keluarga besarnya yang tanpa meminta pendapat dirinya. Ia jadi bertanya dalam hati. Apakah Arzan sudah mengetahui rencana ini? Apakah ia menyetujuinya?
“Kamu nggak usah kahwatir, nggak ada yang salah dengan rencana ini. Kalian bukan mahram. Arzan single, kamu juga sudah bukan isteri seseorang. Pernikahan seperti ini sudah umum terjadi. “Kami semua merestui. Apalagi Naura anak perempuan. Sesuai nasabnya, Arzan adalah yang paling berhak menjadi walinya.”
Kamila mengangkat kepalanya. Ia mencari sosok Arzan. Ia baru menyadari belum melihat lelaki itu seharian ini. Kemana dia?
Semua kerabat sepuh memandangi dirinya. Tak ada satupun dari mereka yang tampak menentang rencana Mama Dian. Kepala Kamila mendadak pening.
Selanjutnya, Kamila tidak menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di sekitarnya. Ia mencoba tetap bertahan bersikap sesantun mungkin kepada semua orang. Biarpun kepalanya berdenyut-denyut menahan kesal.
Kamila jengkel karena sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan rencana masa depannya sendiri. Bahkan ia sama sekali tidak ditanya apakah ia mau menikah dengan Arzan. Mengapa mereka tidak memikirkan bahwa Kamila mungkin saja sudah memiliki calon pengganti Ardian?
Kamila sadar, Ardian yang meninggal karena kecelakaan ketika mengendarai motor itu tidak mungkin kembali ke sisinya. Kisah hidupnya bersama teman seangkatan di masa kuliah dulu telah usai. Ia harus move on dan tidak menutup hati untuk memulai lembaran baru. Meski hanya sekilas, sejujurnya ia berharap, kelak ada lelaki lain yang akan mengisi hatinya dan menyayangi dirinya serta Naura.
Namun, ia tak pernah membayangkan sosok itu adalah Arzan. Yang ada di benaknya adalah Raditya, sahabatnya sedari SMA, yang sejak sebulan lalu rajin menghubungi dirinya melalui pesan dan telefon.
Sesungguhnya, ia menyukai pribadi Arzan. Pria yang berusia lebih empat tahun darinya tersebut pembawaannya lebih tenang dibandingkan Ardian yang periang, spontan dan suka berpetualang. Meski sama-sama humoris, tetapi Arzan memiliki kharisma dan wibawa yang kadang membuatnya jengah.
Soal penampilan fisik, Ardian dan Arzan sama-sama tampan. Banyak wanita banyak yang naksir Arzan. Setahu Kamila, tidak sedikit perempuan yang mendekati kakak iparnya itu. Tapi, hanya satu yang pernah diseriusi dan diperkenalkannya kepada Mama Dian. Namanya Nadine.
Namun, itu sudah tiga tahun yang lalu. Setelahnya, tak pernah ada kelanjutan cerita dari hubungan mereka. Mama Dian pun tidak pernah menuntut anak pertamanya itu segera menikah biarpun telah dilangkahi oleh adiknya.
Sekarang, tiba-tiba Mama Dian ingin menjodohkan Arzan dengan dirinya. Sungguh Kamila dibuat pusing dibuatnya.
***