BAB 7 - KERTAS UJIAN CINTA

1028 Words
Canggung, itulah situasi yang kini tergambar antara Dara dan Demian. Dara yang sudah terbaring di tempat tidur, dengan selimut yang sengaja dia tarik hingga leher, sebenarnya sedikit sesak dan panas terasa walau AC sudah menyala cukup dingin. Sedangkan Demian sendiri, masih disibukkan dengan pengecekkan data di handphonenya. Entah apa yang Dara hindari. Padahal kemarin malam, dia sudah melakukannya dengan Demian, bahkan waktu yang digunakan keduanya untuk menikmati malam pertama cukup lama. Namun kali ini, Dara malah canggung berdekatan dengan suaminya sendiri. Di satu sisi, Dara yang masih jengkel dengan niat Demian memperistri dirinya yang tidak lain demi mendapatkan pewaris dirinya, membuatnya menolak keras jika Demian ingin melakukan hubungan suami istri dengannya. Sedangkan di sisi lainnya, gejolak hasrat di dalam dirinya, malah terus saja saja meluap-luap ingin segera dituntaskan. Untuk ke sekian kalinya, Dara mengusap keringat yang mengalir di wajahnya. Dia benar-benar sudah tidak tahan lagi, sayangnya Demian yang dia harapkan bisa tidur lebih awal, malah terus saja duduk bersandar di sampingnya dengan wajah serius menatap ke layar handphone. "Sudah ditanda tangani surat itu?" tanya Demian tiba-tiba yang sesaat membuat Dara tersentak kaget. Dara tidak menyangka setelah tiga puluh menit berlalu dengan hening, akhirnya Demian membuka suaranya. "Kau menjebakku?" tanya Dara dengan nada ketus. "Kalau itu pikiranmu, mungkin benar," jawab Demian santai seolah tanpa beban sama sekali. Dara yang semakin panas karena emosi, tanpa. sadar membuka selimutnya dan menatap Demian tajam. Demian meliriknya, dan lirikan Demian yang cukup lama, membuat Dara kembali sadar akan tubuhnya yang hanya memakai kimono. Dara kembali menyelimuti tubuhnya dengan posisi yang masih berbaring. "Kenapa gak dikasih sebelum kita menikah?" tanya Dara. "Aku lupa," jawab Demian terkesan tidak menganggap pembahasan ini penting untuknya. Demian malah kembali asyik dengan handphone. "Lupa apa biar aku gak punya cara lain buat nolak?" tanya Dara dengan nada kembali meninggi. "Yang mana aja jadi," jawab Demian lagi. "Seharusnya kamu senang karena berhasil menikah dengan cowok idolamu waktu SMA." Dara terdiam, menutup mulutnya rapat-rapat mendengar kalimat jebakan dari Demian. Dara tidak menyangka, Demian bisa mengetahui rahasia terbesarnya dulu. "Aku benar, kan?" tanya Demian lagi terkesan meledeknya. "Siapa bilang? Gak usah sok paling idola deh, sejak kapan aku suka. Ge-er! " Demian tertawa kecil mendengarnya, lantas memanjangkan tangan membuka laci meja di sebelahnya dan mengeluarkan satu kotak kecil seperti brankas dan memberikannya ke Dara. Dara langsung duduk, menarik selimutnya sampai d**a, lalu membuka kotak kecil itu setelah Demian memintanya. Ada beberapa lembar kertas yang terlipat di dalamnya. Dara mengambil salah satunya dan membacanya perlahan. Kedua mata Dara spontan membulat besar membaca semua isi curahan hatinya untuk Demian ada di dalam kotak itu. "Gimana mau jadi direktur di perusahaan, nulis surat aja bersalahan," tegas Demian setelah meletakkan handphonenya ke atas meja di sampingnya, dan menoleh ke Dara yang masih terdiam terpaku dengan tubuh kaku. Dara menatap tak percaya ke tulisannya. Seingatnya, semua surat ini sudah dia buang ke tempat sampah di depan sekolah, saat mengetahui Demian memiliki hubungan dengan Renata, putri dari Riyadi Dirgantara, anak pengusaha batu bara di Kalimantan yang juga satu sekolah dengannya dan Demian. Namun anehnya, semua surat itu malah berada di tangan Demian. Dara menarik tatapan tajam ke Demian yang masih melihatnya kesal. "Kamu menguntitku waktu itu?" tuduh Dara tanpa takut Demian akan marah dengan tuduhannya. Demian terlihat kaget mendengarnya, lantas meremas semua surat yang masih di dalam kotak dan mengangkatnya ke depan mata Dara. "Semua surat ini dikasih kepadaku sama satpam waktu itu, dia bilang semua surat ini buatku karena selalu ada namaku di dalamnya!" Demian melemparkan semua surat itu ke atas tempat tidur. Semula, Dara mengira Demian akan melemparkannya ke wajah Dara, namun ternyata tidak. Sikap kecil yang mungkin tak terlihat oleh siapa pun itu malah berhasil membuat hati Dara tersentuh rasa haru. Namun dengan cepat dia tepis perasaaan itu dan langsung mengingat satpam yang waktu itu menjaga sekolah tepatnya di siang hari. "Pak Joko?" tebak Dara yang sebenarnya hanya mengingat satu nama itu. Sosok pria bertubuh tegap namun sudah tampak tua yang cukup dekat dengannya. "Entahlah, siapa namanya aku gak tau. Aku gak punya kewajiban buat menghapal semua nama orang yang gak ada untungnya buatku!" Demian kembali bersandar sembari menutup kedua matanya. "Jadi jangan sok kecantikan sampai harus dikuntit orang lain. Apa lagi aku!" Dara memanyunkan bibirnya. Dia mengumpulkan semua suratnya dan memeriksa setiap tulisan di dalamnya. Hampir setiap surat selalu ada tinta merah yang melingkar di beberapa kata, sebagai tanda kesalahan tulisan yang dibuatnya. Dara benar-benar tidak menyangka, curahan hatinya yang sebenarnya tidak ingin dia sampaikan pada siapa pun, terutama Demian, malah bocor begitu saja. Andai saja saat itu Dara membawanya pulang dan langsung membakarnya, Dara yakin hal ini tidak akan terjadi. "Seharusnya kamu membuangnya, bukan malah mengoreksi kesalahannya seperti ini!" omel Dara. "Ini diary seseorang, bukan kertas ujian!" "Tapi bagiku, ini kertas ujian." Jawaban Demian membuat Dara menghela napas kasar. Dia kehabisan kata-kata melawan Demian yang selalu punya jawaban bernada santai untuknya. Rasanya saat ini, Dara ingin menangis karena malu akibat rahasianya terbongkar langsung oleh Demian. Namun mustahil dia melakukan hal itu. Jika dia menangis saat ini, Dara yakin, Demian hanya akan semakin meledeknya tanpa henti. "Jadi, apa masih menyesal menikah dengan idola?" tanya Demian yang kembali membuat Dara terpancing malu bercampur kesal. "Udah dibilangin, gak usah ge-er!" geram Dara tanpa mengalihkan pandangannya ke Demian yang masih menatapnya. "Yakin?" tanya Demian yang tiba-tiba mendekat dan menarik dagu Dara agar terarah padanya. Membiarkan wajahnya dan wajah Dara begitu dekat, hingga kira-kira hanya berjarak satu jari tangan Dara saja. Suasana hening seketika. Tatapan teduh Demian, membuat Dara tidak bisa berkutik, hingga Dara tidak menyadari, tangan Demian meraih kotak dan memindahkannya ke belakang tubuhnya agar tidak menghalanginya lebih mendekat dengan Dara. Demian menyentuh pipi kanan Dara penuh kasih sayang. Perlahan, Demian menempelkan bibirnya dengan bibir Dara. Kedua bibir itu saling bertaut yang berarti, Dara sudah melupakan rasa malu dan emosinya pada Demian yang berhasil mengingatkannya pada masa lalu. Tangan Demian kembali meraba ke tempat tidur, mencari remote lampu dan membawanya ke belakang kepala Dara untuk melihat tombol merah agar bisa mematikan seluruh lampu di kamarnya. Secara tiba-tiba lampu gelap, dan Dara yang sudah hanyut dengan lembutnya bibir Demian, tidak lagi menyadari bahwa kini, tubuhnya sudah terbaring dengan Demian berada di atasnya yang masih saja mengulum bibirnya lembut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD