BAB 3 - CINTA SATU MALAM

1260 Words
Dara kikuk. Jelas saja, semua pasang mata langsung tertuju padanya sejak kakinya menapaki perusahaan Demian. Bahkan hampir semua orang yang dia lewati, membungkukkan tubuh di hadapannya memberi salam. Dara tidak menyangka, respon semua orang akan sedahsyat itu terhadapnya. Di perusahaan sang ayah malah tidak berlaku sikap seperti itu. Walau pun sang ayah adalah pemilik hotel yang dia bangun di beberapa daerah di Indonesia, namun tetap saja hampir semua karyawan di semua hotel miliknya, tidak ada yang bersikap sesopan itu padanya, hingga membuat Dara merasa tidak pantas diperlakukan seperti itu. Pintu lift terbuka. Bersama Dini dan juga Hardi yang ditugaskan menjadi bodyguard Dara oleh Demian, Dara melangkah ke luar dari lift menuju ruangan tempat pertemuan diadakan. Terletak di lantai tujuh, Dara harus melewati beberapa meja karyawan yang sama seperti di lantai sebelumnya, semua karyawan langsung berdiri dan membungkukkan tubuh saat Dara melewatinya. "Apa harus seperti ini, Din?" bisik Dara ke Dini yang melangkah di sisi kanannya. "Sejak dulu memang sudah seperti ini, Non," jawab Dini yang hanya dijawab Dara dengan diam seribu bahasa. Hardi membukakan pintu dan mempersilakan Dara untuk masuk. Dara membalasnya dengan senyuman ramah, lantas melangkah masuk yang lagi-lagi disambut dengan sorot mata dari semua pasang mata. Semua orang berdiri menyambutnya. Terlihat Demian di sana, berdiri di samping Bara, sedangkan Melissa, sang ibu, langsung mendekati Dara dan menggenggam tangannya. "Ayo, Sayang," ajak Melissa yang sama sekali tidak dijawab Dara. Dara hanya menurut, melangkah mengikuti tarikannya dan berhenti di samping Demian yang tersenyum lebar menyambutnya. "Pak Robert, inilah menantu saya, istri dari Demian, direktur utama di perusahaan ini," ucap Bara pada seorang pria setengah baya yang langsung mengulurkan tangan dan berjabat dengan Dara. "Maaf, saya dan istri saya tidak bisa hadir kemarin. Saya masih di luar negeri, dan pernikahan itu cepat sekali, jadi kami tidak sempat kembali pulang." "Agh, tidak apa-apa, Pak, doanya saja agar kami jadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah," balas Dara setelah selesai menjabat tangan Clara, istri dari Robert yang anehnya malah tampak lebih muda. Bahkan Dara merasa usianya sama dengannya. "Silakan duduk, dan Pak Hardi!" panggil Bara. "Ya, Tuan?" "Silakan tunggu di luar, kamu juga Dini." Dini dan Hardi menurut dan langsung ke luar dari ruangan. Dara sendiri duduk di antara Demian dan Melissa yang masih saja menggenggam tangannya. Genggamannya membuat Dara merasa begitu disayangi oleh wanita berambut pendek sebahu yang tampak awet muda itu. Seolah Melissa begitu bangga memiliki menantu seperti Dara. "Jadi, Dara akan bergabung dan bekerja di sini juga membantu Demian?" tanya Robert pada Bara yang awalnya dibalas Bara dengan senyuman lebar. "Sebenarnya saya tidak ingin istri saya bekerja di perusahaan ini!" potong Demian yang jelas saja membuat semua pasang mata tertuju ke arahnya. Termasuk Dara yang kaget bukan main. "Dem, bukannya kita sudah bicara soal ini, dan kamu sudah setuju, kan?" bisik Bara yang terdengar jelas oleh Dara. "Demi cuma bilang kalau sebenarnya Demian gak setuju, bukan berarti sampai sekarang gak setuju kan, Pi?" tanya Demian dengan nada suara biasa yang langsung membuat Robert dan sang istri tertawa mendengarnya. "Wajar sih, Pak Bara, namanya sayang istri, pasti gak ingin istrinya kelelahan bekerja, anda ini seperti gak pernah jadi pengantin baru saja," ledek Clara yang kembali membuat suasana hangat. Dara sendiri masih dilanda kebingungan mendapati sikap Demian yang bukannya senang melihatnya bekerja di perusahaan bersamanya, malah tegas menolak sejak awal. Dara melirik ke Demian yang terus saja memutar pulpen di jemarinya. Dia masih saja menunjukkan ekspresi tidak suka yang membuat Dara yakin, bahwa ada sesuatu yang dijadikannya alasan untuk tidak setuju dengan keputusan Bara. *** Sudah lima belas menit Dara duduk di hadapan Demian yang sibuk memeriksa berkas. Deva, sekretaris pribadi Demian di perusahaan ini yang semula masuk memberikan berkas, sudah tampak duduk di kursinya di luar ruangan Demian yang bisa terlihat dari dinding kaca ruangan Demian. Deva sengaja meninggalkan dirinya dan sang bos yang masih fokus dengan semua kerjaannya. Dara masih menyusun kata agar bisa bertanya seputar ketidaksetujuan Demian dengan rencana kerjanya di perusahaan. Dara merasa dia mampu, namun kesan yang diberikan Demian seolah membuat Dara berpikir bahwa Demian meremehkan kemampuannya dalam dunia bisnis. "Kalau sudah bosan, pulang saja, tunggu aku di rumah," ucap Demian sambil menandatangani berkas. "Boleh aku bertanya?" "Silakan," jawab Demian tanpa melihat ke arah Dara. "Kenapa kamu gak setuju aku kerja di sini?" tanya Dara akhirnya setelah membungkam mulutnya sejak tadi. Berharap sang suami tampannya bisa memberikan jawaban terbaik, agar tidak menyakitinya. "Aku gak ingin konsentrasi kamu terpecah karena harus memikirkan pekerjaan di sini. Aku juga gak mau kamu sampai lelah. Kerjaan kamu cukup mengurangi tidur malammu, dan membuatmu harus istirahat yang cukup di rumah siang harinya." "Kerjaan?" tanya Dara heran. Mencoba memikirkan maksud kalimat Demian barusan tentang pekerjaan yang harus dikerjakan Dara di luar perusahaan. Namun beberapa detik kemudian, Dara malah tersenyum nakal seolah mulai mengerti maksud dari kalimat Demian. "Ya ampun, Dem, menjadi seorang istri yang harus melayani suami itu bukan pekerjaan berat, sampai aku gak bisa konsentrasi kerja di sini. Aku bisa, kamu gak perlu khawatir aku kelelahan, di rumah juga banyak yang bantu aku, jadi gak bakalan lelah juga." Demian menghentikan tangannya bekerja, meletakkan pulpen yang sedari tadi membantunya membubuhi tanda tangan, lantas menatap Dara yang masih tersenyum dengan tatapan menggoda ke arahnya. Demian membuka laci meja, dan memberikan map merah ke hadapan Dara yang membuat sang istri mengerutkan keningnya. "Apa ini?" tanya Dara sebelum membukanya. "Baca dengan teliti, baru bertanya," ucap Demian sembari bersandar di kursinya dengan sorot mata terus tertuju ke Dara yang mulai membuka map. "Surat Perjanjian Pasca Pernikahan?" ucap Dara kaget bercampur bingung. "Baca saja!" tegas Demian. Dara menurut, dan dengan perasaan bingung bukan main, Dara mulai membaca setiap kata di dalam selembar surat itu. Awalnya, ada identitas dirinya dan juga Demian di sana. Setelah itu, ada beberapa pasal yang intinya hanya menyatakan bahwa Dara harus memberikan anak laki-laki padanya. Dara kembali menatap Demian tak percaya. "Kamu mau jadikan aku mesin pencetak anak?" tanya Dara kesal bukan main setelah membaca keseluruhan isi dari surat perjanjian itu. "Sudah paham atau perlu aku jelaskan lagi?" tanya Demian santai seolah tak ada beban sama sekali. "Kamu, harus memberikan penerus anak laki-laki untuk pernikahan kita dan juga ... kamu harus memenuhi keinginan keluargaku untuk memiliki keturunan yang banyak, minimal sepuluh. Dan jika sampai anak ke sepuluh, kamu belum juga berhasil melahirkan anak laki-laki, konsekuensinya seperti yang tertulis di dalam surat perjanjian itu." Demian tersenyum sinis. "Kamu harus rela dipoligami tanpa meminta cerai dariku, selamanya." Dara benar-benar kehilangan kata-kata. Lidahnya kelu. Demian yang masih duduk di hadapannya, seolah bukan sosok suami lembut dan penuh ketulusan yang tadi malam terpancar dari kedua mata dan sikapnya. Demian berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sosok yang tidak dikenal Dara. Bendungan air memenuhi kedua mata Dara, namun dengan cepat ditahan Dara agar tidak terjatuh. "Jadi ini alasan kamu menikah denganku?" tanya Dara dengan sorot mata tajam ke Demian. "Ini alasan keluarga Wihardja, bukan hanya alasanku," jawab Demian. "Well, tanda tangani saja, aku gak punya banyak waktu buat berdiskusi. Jadwalku padat, silakan pulang dan bersiaplah untuk kerja nanti malam. Tugasmu hanya di malam hari, selebihnya ...bersantai saja, nikmati semua fasilitas yang ada, Istriku." Dara tak kuasa lagi menahan air matanya. Sebening air melesat jatuh melintasi pipi kanannya. Dara terjebak, dia tak bisa apa-apa. Tidak ingin langsung menandatangani surat perjanjian itu, Dara langsung membawanya ke luar dari ruangan Demian melewati Dini dan Hardi yang sejak tadi menanti di luar ruangan. Dini mengejarnya hingga masuk ke lift bersama Hardi. Ketiganya masuk, pintu lift tertutup. Tanpa izin, Dara langsung memeluk Dini dan menangis di pelukannya. Dini hanya mengusap punggung sang majikan sembari menatap ke pintu lift yang sudah tertutup dengan sorot mata menyedihkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD