BAB 4 - Tertusuk Menyakitkan

1081 Words
Mobil berhenti di depan rumah mewah berwarna putih bersih. Dara yang masih duduk di kursi belakang, melirik ke luar jendela yang tertutup sembari menghapus air matanya. Dia sudah tidak peduli lagi. Baginya, apa yang dilakukan Demian tadi di perusahaan, sudah menginjak harga dirinya. Dara tidak menyangka, Demian menikahinya hanya agar ingin menjadikannya mesin pencetak anak, mengharuskannya mendapatkan anak laki-laki, dan menduakannya tanpa boleh meminta cerai jika sambal batas yang ditentukan, Dara tidak juga memiliki anak laki-laki. Dara sebenarnya yakin, dia bisa mendapatkannya. Namun melihat layar belakang keluarganya yang sulit mendapatkan anak laki-laki, dimulai dari sang nenek hingga sang ibu dan saudara kandungnya, hanya satu yang memiliki anak laki-laki, itu pun sudah menikah dan sampai sekarang belum juga dikaruniai anak. Ada ketakutan di hati Dara. Dia mencintai Demian, sangat. Dara tidak akan pernah rela jika harus berbagai suami dengan wanita lain. Namun, syarat yang diminta Demian agar bisa menjadi istri seutuhnya dan satu-satunya untuk seorang Demian, entah mengapa membuat Dara takut bukan main. "Anda yakin ingin bilang ke Ibu Raya, Non?" tanya Dini yang sejak tadi duduk di depan, tepatnya di samping Hardi. "Iya, kalian tunggu saja di sini," jawab Dara bersiap turun. "Saya tidak akan lama." Dara membuka pintu, turun dan melangkah cepat masuk ke dalam rumah dan memanggil-manggil sang ibu dengan sebutan Mami, sama seperti sebutan Demian pada sang ibu. Mendapati sang anak kembali, Raya yang tampak asyik menikmati cemilan pagi dan secangkir teh di ruang TV, langsung menyambutnya hangat dan membiarkan Dara memeluknya sembari menangis. "Lho lho lho, kenapa, kok malah nangis?" Raya yang risih, langsung menolak pelan tubuh Dara agar menjauh darinya. "Dara mau cerai aja, Mi," ucap Dara. "Apa maksudnya, baru nikah sudah minta cerai!" balas Raya tampak tidak senang. "Kamu harus ingat, pernikahan kamu sama Demian itu bukan hanya pernikahan cinta-cintaan doang, tapi pernikahan bisnis!" Raya berdiri dari sofa tempatnya duduk, lantas berkacak pinggang dengan sorot mata tajam ke Dara. "Jangan pernah kamu bilang mau cerai di depan papi, dia bisa marah besar." Dara tidak menyangka, respon Raya akan seperti itu. Semula dia mengira, menceritakan keputusannya pada Raya adalah langkah yang tepat. Berharap Raya bisa membantunya untuk bisa pisah dengan Demian, walau harus mengorbankan banyak hal termasuk cinta di hatinya. Namun ternyata tidak, Raya malah berdiri di barisan Demian. Dara mengeluarkan surat yang sudah dia lipat kecil dari dalam tasnya. Lantas langsung memberikannya ke Raya yang menerimanya dengan ekspresi sinis. "Ouw, dia sudah memberikannya?" tanya Raya tanpa membaca surat pemberian Dara. Dara menatapnya kaget, "Mami udah tau soal perjanjian ini?" tanya Dara sekedar memastikan. "Sudah," jawab Raya sembari meletakkan surat itu ke atas meja kaca di hadapan Dara. "Dan bagiku itu wajar saja, mereka orang besar, pasti butuh pewaris. Dan peraturan itu sudah ada dari keturunan terdahulu." "Tapi bukan itu maksud Dara, Dara minta ceria karena Demian memberikan ancaman untuk poligami andai Dara gak bisa kasih dia anak sampai anak ke sepuluh! Dara mau dijadikan mesin pencetak anak dia, Mi!" "Mesin pencetak anak?" tanya Raya. "Julukan itu sebenarnya gak cocok kamu sematkan ke Demian, tapi ke Nyonya Melissa." Raya tertawa renyah. "Dia ingin kamu punya banyak anak, karena dia tidak bisa meneruskan budaya keluarganya yang memiliki banyak anak. Kau tau, dia dikucilkan dari keluarganya karena tidak bisa mengikuti jejak saudara-saudara kandungnya yang jumlahnya, ada sepuluh." Dara bungkam. Dia benar-benar tidak tahu menahu tentang semua itu. Dulu, Dara memang hanya mengidolakan sosok Demian yang pintar dan cool, tapi tidak sampai mencari tahu tentang kejadian demi kejadian di keluarganya. Anehnya, Raya malah mengetahui semua itu entah dari mana. "Sudahlah, toh kamu bisa hidup mewah, bahkan lebih mewah dari pada di sini. Buat apa bercerai, bukannya seharusnya kamu terima kasih samaku, karena sudah menjodohkanmu dengan pria idamanmu saat SMA dulu. Demian kan orangnya?" "Mi, ini gak adil buat aku." "Apanya yang gak adil!" Emosi Raya yang sempat lenyap, kembali lagi. "Hidup mewah selama ini, ditambah menikah dengan idolamu yang seorang pengusaha terkaya, kamu bilang gak adil? Kamu cuma disuruh melahirkan anak banyak terutama laki-laki, bukan disuruh jadi pembantu di rumahnya yang besar itu!!" Dara meneteskan air mata. Dia dan Raya memang kerap kali bertengkar selama ini. Namun dia tidak percaya, Raya akan bersikap sekeji ini. Dara beranjak dari tempatnya duduk, "Pokoknya Dara mau bilang sama Papi, Dara yakin Papi bakalan bela Dara!" "Percuma saja mengadu ke pria yang bukan ayah kandungmu!" ceplos Raya yang seketika membuat Dara terduduk lemas. Raya sendiri seolah tidak pernah bersalah karena sudah mengatakan hal itu. Dia malah tersenyum sinis sembari melipat kedua tangannya. "Ya, itu benar, dia bukan ayah kandung kamu. Mami menikah dengannya saat sudah mengandung kamu, Dara. Dan kalau ditanya siapa ayah kandungmu yang sebenarnya, maaf, aku sendiri tidak tau siapa." Dengan santainya Raya menjawab seolah tidak ada rasa bersalah sedikit pun. "Gimana bisa Mami gak tau siapa ayah kandungku?" tanya Dara kesal. "Karena dulunya, aku adalah kupu-kupu malam." Raya tersenyum seolah bangga dengan profesinya terdahulu. "Aku dipungut Mas Bram saat kandungan ku berusia dua bulan, di saat aku dilempar di jalanan oleh wanita yang kusebut Mami Onty, saat dia tau aku hamil." "Mami Onty?" tanya Dara yang masih asing dengan nama itu. "Ya, dia adalah orang yang memperkenalkan aku dengan para pria mata keranjang berduit." Dara kembali bungkam. Dia kehabisan kata-kata mendengar semua jawaban yang diberikan Raya padanya. Masa lalu kelam sang ibu yang begitu rapat tertutup, kini terbongkar seiring kenyataan pahit yang dilempar Demian padanya. Semua serba bersamaan, dan Dara benar-benar sesak dibuatnya. "Ingat, Dara, aku tidak mau semua yang aku rencanakan sia-sia. Satu kenyataan lagi yang harus kamu tau, selain aku dipungut Mas Bram, aku adalah istri kedua dari pria itu. Bagaimana ceritanya, kamu akan tau sendiri nanti. Yang pasti, meskipun rumah ini sudah atas namaku, tapi aku gak mau kalau kamu dan Demian bercerai, karena jika suatu saat Mas Bram menceraikanku, kaulah yang akan menjadi mesin uang untukku. Ingat itu," ancam Raya sembari mengarahkan telunjuknya ke Dara yang tampak terpukul. Dara yang sudah tidak kuat lagi menahan segalanya, memutuskan untuk kabur dari hadapan Raya yang sama sekali tidak memanggilnya. Dara kembali masuk ke dalam mobil yang masih menantinya di depan rumah. "Jalan, Pak!" perintah Dara sembari menangis. "Kita pulang, Non?" tanya Dini. "Saya bilang jalan ya jalan saja, gak usah banyak tanya!" bentak Dara yang langsung membungkam mulut Dini dan juga Hardi. Hardi mulai menggerakkan mobil ke luar dari pekarangan rumah. Raya sendiri tampak ke luar dari rumah dengan senyuman sinis, sembari melipat kedua tangannya di atas perut. Tatapannya tertuju ke mobil Dara Jingga mobil warna silver itu, tak lagi terlihat di kedua matanya. "Dasar anak bodoh!" makinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD