BAB 5 - KEPUTUSAN TERAKHIR

1075 Words
Dini membawakan sebotol air mineral yang baru saja dia beli, dan mendekati Dara yang sejak tadi, hanya duduk di ayunan besi di taman bermain seorang diri. Langit yang sudah mulai gelap, membuat Dini tak tega melihat sang majikan yang sejak tadi siang meratapi nasib, terus duduk dengan rasa lapar yang masih belum dia rasakan, walau sejak tadi Dini jelas mendengar suara perutnya berbunyi. Dara mengucapkan terima kasih sembari mengambil botol air mineral dari tangan Dini. Ini sudah botol ke lima yang dia minum sejak tadi. Entah karena kehabisan air akibat air matanya yang terus meluncur tanpa henti, atau memang Dara sengaja menahan lapar dengan air yang dia minum. Yang pasti Dini semakin tak tega melihatnya. Sesaat berbalik melihat Hardi yang masih berdiri di samping mobil dengan ekspresi yang juga khawatir dengan kondisi Dara. "Non, kita pulang sekarang ya?" ajak Dini lagi. "Barusan Tuan Muda nelepon saya nanyain Non Dara kok belum pulang. Saya takut Tuan Muda marah, Non." "Kalian pulang saja, saya masih ingin di sini." Dara masih saja menolak. Hatinya hancur, dan rasanya semakin bertambah parah dengan semua kenyataan pahit yang datang menubruknya bertubi-tubi. "Saya gak mungkin pergi gitu aja tanpa Non Dara. Saya bisa kena marah sama Tuan Muda," jawab Dini lagi. Dara yang sejak tadi memperhatikan botol mineral yang dia genggam, langsung menarik tatapannya ke Dini yang masih berdiri di hadapannya dengan ekspresi sedih. "Setakut itukah kalian sama laki-laki itu?" tanya Dara yang sebenarnya dia akui, wajar saja Dini takut, mengingat Demianlah yang menggaji Dini. Dengan kata lain, sudah sewajarnya seorang anak buah, memiliki rasa takut pada bosnya sendiri. Namun bagi Dara, orang seperti Demian tidak perlu ditakuti. Dia hanya memiliki kekuasaan, bukan seluruh dunia. Dini menghela napas, bingung harus menjawab apa, "Maaf sebelumnya kalau saya tidak sopan, Non, tapi boleh saya duduk di samping Non Dara?" tanya Dini yang langsung dijawab Dara dengan anggukan kepala. Dengan gerakan perlahan karena takut membuat ayunan besi yang bisa memuat dua orang itu bergoyang hebat dan membuat Dara tidak nyaman. Sesaat Dini terdiam, mencoba memikirkan kalimat terbaik agar bisa menenangkan perasaan Dara yang kala itu, memperhatikan bintang di langit. "Non masih beruntung, masih memiliki Ibu walau Ayahnya Non Dara gak tau di mana," ujar Dini memulai cerita. "Maaf saya lancang mengatakan hal ini dan diam-diam mendengar diskusi Non dan Bu Raya tadi. Tadinya saya hanya ingin ke luar melihat bunga di teras rumah Non Dara, bunga anggrek, tapi gak sengaja terdengar." "Gak apa-apa," jawab Dara. "Kalau boleh saya tau, orang tua kamu ke mana?" tanya Dara yang sebenarnya tidak terlalu penasaran banget dengan cerita Dini. Namun agar bisa mengukur waktu agar tidak terus dipaksa pulang, Dara memancing Dini agar terus bercerita. "Sejak kecil, saya tidak tau siapa dan di mana mereka, Non," Jawa Dini sembari memperhatikan langit saat tatapan Dara tertuju padanya. "Saya di buang di tong sampah depan rumah Nyonya Melissa, dan hanya Nyonya Melissa lah orang pertama yang berani menggendong saya dari tong sampah. Saat semua orang menganggap saya kotor dan menjijikkan, tapi tidak dengan Nyonya Mel, beliau bahkan langsung mengangkat saya bukan hanya dari tong sampah, tapi juga mengangkat saya sebagai anak." Dara mulai tertarik. Dara yang semula hanya ingin mengulur waktu, malah tampak serius ingin tahu keseluruhan cerita Dini. "Tapi sebenarnya, bukan jadi anak sih, Non. Melainkan jadi asisten pribadi Tuan Muda ya g kedua setelah Mas Randy. Sampai Tuan Muda menikah." "Kenapa gak dijadikan anak saja? Bukannya Mami suka banyak anak?" Dini tersenyum tipis, "Karena Grandma gak suka anak hasil buangan orang lain. Dia ingin punya cucu dari hasil rahim Nyonya Mel sendiri. Grandma menolak keras permintaan Nyonya Mel buat angkat saya jadi anaknya. Alhasil, saya hanya dijadikan asisten saja." Dini mengalihkan pandangannya ke Dara. "Non masih beruntung bisa tau Ibu Kandung Non siapa, sedangkan saya, tidak tau sama sekali. Walau pun Ayahnya Non Dara gak tau di mana, tapi Non dirawat dengan sangat baik oleh Ayah tiri Non Dara, kan? Bapak Non gak pernah mukul atau apa gitu?" Dara menggelengkan kepala. "Nah, itu maksud saya. Ditambah lagi, Non dapat suami seperti Tuan Muda. Biarpun terkesan jahat, tapi Tuan Muda itu sebenarnya baik banget, Non." "Baik apanya, jadikan saya istri yang cuma ingin dapatkan anak laki-laki aja, bukan baik namanya." Dara terlihat kecewa bukan main mengingat sikap Demian padanya. "Percaya sama saya, Non, Tuan Muda itu orangnya baik banget." Dini mencoba meyakinkan Dara. Dara menghela napas berat. Kejadian beberapa tahun silam, kembali terputar di ingatannya. Saat Demian membantu beberapa teman yang kesusahan. Ditambah dengan, secara tidak sengaja Dara bertemu dengan Demian di pinggir jalan yang sedang memberikan makanan ke para peminta-minta. Saat itu dia tersenyum tulus. Bahkan setelah Demian pergi, Dara yang penasaran langsung mendekati bapak tua itu yang sedang menyantap makanan pemberian Demian. "Dia anak yang baik, dia selalu ngasih saya makanan setiap hari jumat," ucap Bapak Tua itu saat Dara bertanya seputar Demian. "Non," panggil Dini yang membuat Dara tersadar. Dini menyelimuti tubuh Dara dari belakang dengan jaket yang memang tersedia di mobil, dan baru saja diberikan Hardi padanya. Dara mengucapkan terima kasih yang hanya dibalas Dini dengan anggukan kepala. "Apa yang harus saya lakukan, Din? Saya bingung. Di satu sisi saya benci sama suami saya sendiri. Di sisi lain, saya sadar kalau saya tidak punya jalan lain untuk pergi." "Bertahan saja, Non. Saya yakin, semua akan baik-baik saja." Dini kembali tersenyum tulus. "Tuan Muda memang jahat, tapi dia masih memiliki hati untuk merasakan rasa sakit dan sedih orang lain. Non gak perlu berpikir yang gak-gak tentang Tuan Muda." Dara menatap Dini yang mengangguk seolah mencoba meyakinkannya. Dara kembali menunduk, memperhatikan cincin berlian yang dia pakai di jari manis kanannya. Cincin tanda ikatan suci yang telah dia langsungkan bersama Demian di hadapan semua orang. Terutama di hadapan Allah. Suara handphone Dini berdering. Dini langsung berpamitan menjauh sesaat dari Dara untuk menjawab panggilan telepon itu. Hanya sebentar, dan Dini pun kembali ke hadapan Dara. "Tuan Muda nelepon lagi, Non. Dia bilang, kalau Non masih belum siap pulang, Non bisa pesan kamar di hotel untuk menenangkan diri." Dara kaget mendengarnya. Saran dari Demian seolah dirinya paham apa yang dirasakan Dara saat ini. Secara tiba-tiba, Dara merasa bersalah karena sudah membiarkan suaminya menunggu di rumah. Pulang tanpa dirinya di rumah yang pastinya membuat Demian yang sudah lelah di kantor, kecewa bukan main. Meskipun kekecewaan itu hanya karena malam ini tidak bisa melakukan usaha berdua untuk mewujudkan keinginannya memiliki anak laki-laki. Bukan karena cinta. Dara berdiri, "Kita pulang aja sekarang," ucap Dara lantas melangkah menuju mobil, melewati Dini yang tersenyum senang mendengarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD