BAB 11 - MALAM KETIGA

1053 Words
"Aku sudah bilang kan dari tadi sama kamu, Mas, Dara memaksaku, dan aku terpaksa mengatakannya." Raya masih saja meyakinkan Raka yang terus saja membahas hal yang sama. Raka duduk di tempat tidur, melihat ke sang istri yang duduk di depan meja rias sembari memakai krim malam sebelum tidur yang menjadi rutinitas wajibnya. "Apa yang Dara ancam ke kamu sampai kamu terpaksa mengatakan hal itu?" tanya Raka yang sejujurnya merasa ada sesuatu di belakangnya. Sejak awal Raka berniat menjodohkan Dara sama beberapa anak dari temannya seprofesi, Raya selalu saja mengarahkannya ke Demian. Padahal asalnya, Raka sempat menolak karena merasa mustahil bisa berbesanan dengan orang yang tingkat kekayaannya, cukup jauh di atasnya. "Ya gak ada, Mas, aku cuma kesal melihat dia terus saja melawanku. Kamu lihat sendiri kan selama ini, dia terus saja mencari masalah dengan ibunya sendiri. Bukannya berusaha menjadi anak yang baik, Dara selalu saja membangkang." "Apa Dara ada cerita sesuatu sama kamu tentang pernikahannya?" tanya Raka yang langsung membuat Raya menghentikan olesan krim di wajahnya. Ingatannya tertuju ke surat perjanjian yang diperlihatkan oleh Dara waktu itu. Raya yang takut jika Dara sampai bercerai dengan Demian, membuatnya terpaksa mengatakan semua rahasia itu. Sialnya, Dara malah membuatnya terjebak dengan menyindirnya berulang kali dengan ancaman, akan memberi tahu Raka segalanya. "Cerita apaan sih, Mas?" tanya Raya berpura-pura tidak tahu apa pun. "Mana pernah Dara cerita tentang dunianya samaku. Kamu kan tau sendiri, hubunganku dengan anakku sendiri gak seakrab itu. Malahan dia lebih dekat dengan kamu dari pada denganku." Raka terdiam, mencoba mengingat semua kedekatan antara dirinya dengan Dara. Dara memang manja padanya, sangking manjanya, Dara bahkan sampai ikut dengannya ke hotel tempatnya kerja saat Dara baru berusia delapan tahun dari pada ikut dengan Raya yang saat itu jalan-jalan ke mall. "Aku tuh maksa kamu buat jodohin mereka, karena aku yakin keluarga mereka itu baik, dan gak bakalan nyakitin Dara. Meski pun aku tak dekat sama tuh anak, aku tetap pengen lihat anakku bahagia di pernikahannya." Raya kembali berakting sambil melanjutkan perawatannya. Dia tidak ingin Raka bisa sampai tahu tentang rencana jahatnya yang menjadikan Demian sebagai pohon uang untuknya. Raka tersenyum, "Aku juga sebenarnya suka sama Demian, dia benar-benar menantu idamanku, dan semua itu terlihat dari caranya memperlakukan Dara yang begitu lembut dan santun." Sementara itu di kamar Dara, Demian melemparkan bantal ke wajah Dara yang sedang duduk di atas tempat tidur. Bantal terjatuh ke tempat tidur meninggalkan ekspresi wajah Dara yang tampak kesal bukan main. "Kalau gak mau kerja, sana tidur di luar!" bentak Demian sembari naik ke atas tempat tidur dan berbaring tanpa peduli Dara menatapnya kesal bukan main. "Kan gak mesti sekasar itu!" balas Dara. "Ucapan kamu lebih kasar dari pada sikapku barusan," balas Demian dengan kedua mata tertutup. "Udah sana ke luar kalau gak mau kerja, ngapain masih di sini. Katanya gak mau malam ini." Kerja? Satu kata yang selalu diucapkan Demian untuk mendeskripsikan permainan malam antara suami dan istri. Namun di telinga Dara malah terdengar seolah dirinya berprofesi sama seperti sang ibu dulu, seorang wanita malam yang harus melayani pelanggan di malam hari, di saat semua orang sedang tertidur pulas. "Bisa gak sih, jangan bilang kerja kerja kerja kayak gitu, aku kan bukan begitu!" Dara ingin mengucapkannya secara gamblang, namun rasanya dia malu bukan main karena mengingat pekerjaan itu dilakoni sang ibu dulu. "Emang kerja kan?" tanya Demian. "Jadi mau apa, s*x? Making love? Atau kata yang lebih kasar lainnya?" "Woy! Stop!!!" jerit Dara lantas melemparkan bantal ke wajah Demian. Dengan cepat Dara turun dari tempat tidur dan bergegas ke balkon kamar. Dara menutup pintu balkon dari luar dan menatap ke dalam yang tidak terlihat karena kaca pintu gelap. Hanya orang yang ada di kamar yang bisa melihat ke luar. Dara menaik turunkan napasnya kasar, seolah ingin menunjukkan bahwa kini emosi benar-benar sedang memeluknua erat. "Sialan, apaan ngomong begituan secara langsung, kayak gak punya urat malu!" geram Dara. Dara duduk di kursi besi dengan kursi lainnya untuk tempat kakinya agar bisa diluruskan. Dara menatap langit yang sedikit mendung kali ini. Dara yakin malam ini akan turun hujan. Angin pun terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Dara bertambah kesal. Padahal dia berniat duduk sedikit lebih lama minimal sampai Demian tertidur pulas agar bisa terhindar dari kewajibannya malam ini. Dara mengeluarkan handphonenya dari dalam saku celananya tidurnya. Sekedar mengecek beberapa akun media sosialnya tentang status-status teman-temannya. Belum sempat Dara melihat semuanya, panggilan telepon masuk ke handphonenya. Dan terpampang nama Aurel di sana yang membuat Dara tersenyum dan menjawab panggilannya tanpa menunggu lama. "NIKAH KENAPA GAK BILANG-BILANG!!" hardik Aurel sebelum sempat Dara mengucapkan salam pembuka. Dara malah sempat menjauhkan handphone pintarnys itu dari telinga karena teriakan Aurel yang cukup memekakkan telinganya. "Iya maaf, jangan marah atuh, Neng, aku juga nikahnya tiba-tiba, mendadak." Dara mencoba membela diri. "Hamil?" tanya Aurel yang jelas saja membuat Dara terpekik kaget. "Gila, seriusan kamu hamil? Siapa yang berani? Gak tau dia siapa kamu?! " "Bukaaaaan!!!" bantah Dara. "Siapa pula yang hamil, mana ada!" "Jadi kenapa tiba-tiba nikah, sampai gak mau nungguin aku pulang ke Indonesia dulu!" "Aduh, ceritanya panjang, yang pasti aku gak bisa nolak, itu aja." "Iya, alasannya apa." Aurel masih saja memaksa. "Aku tuh cuma liburan sebulan, bukan pindah negara. Apa gak bisa kamu nunggu aku pulang dulu!" Dara menghela napas mendengar ucapan Aurel. Percuma saja diberikan klarifikasi, Aurel tetap saja menganggapnya salah besar karena tidak memberitahukannya. Dara sendiri pun sebenarnya merasa bersalah karena lupa memberitahukan hal sebesar ini pada Aurel. Padahal sebelumnya dirinya dan Aurel pernah berjanji untuk bisa menikah bersama, minimal di bulan yang sama. Tapi ternyata perjanjian itu tidak berjalan sesuai yang diinginkan. "He, kok malah diam!" tegur Aurel lagi. "Mau ngeles apa lagi kamu, hah?!" "Kapan pulang?" tanya Dara. "Lusa, jemput aku di bandara!" Nada suara Aurel masih tetap sama seperti awal mula dirinya menjawab telepon. "Awas kalau gak jemput. Sekalian tuh suami instanmu jemput aku juga. Aku mau lihat, kayak apa mukanya!" "Iya-iya, bawel agh!" balas Dara. "Jadi gimana, cowok yang kamu kejar sampai ke negeri orang itu, udah dapat belum? Atau malah lepas?" sindir Dara yang sebenarnya sudah diketahui Dara dari status akun media sosialnya yang galau. Namun Aurel yang belum banyak cerita karena biaya telepon cukup mahal, membuat Dara hanya bisa mengetahuinya via media sosial saja. "Nantilah itu, mahal pulsaku, udah dulu yee. Dagh" Telepon berakhir begitu saja. Dara memanyunkan bibirnya sembari memeluk dirinya sendiri karena udara yang semakin dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD