BAB 10 - AKTING

1036 Words
Demian memberikan es krim ke Dara yang saat itu, duduk di ayunan di taman tempatnya biasa melepas penat. Dara yang masih emosi menghadapi sikap Raya selama acara jamuan makan siang, meminta Demian untuk menemaninya duduk di taman sebelum pulang. "Terima kasih," ucap Dara sembari menerima es krim pemberian Demian. Demian langsung duduk di ayunan kayu berbeda di sebelah Dara, dan menikmati taman yang sore itu, tidak terlalu banyak orang datang bermain, atau sekedar duduk menikmati sore. "Kamu, baik-baik aja?" tanya Demian dengan nada ragu. Lebih tepatnya terkesan kaku karena selama ini, Demian sama sekali tidak pernah menghadapi perempuan yang sedang galau seperti Dara saat ini. Hidup Demian hanya di kelilingi oleh belajar dan bekerja, pertemuan dengan kolega kedua orang tuanya dan juga dirinya, serta terkadang harus memikirkan rencana perusahaan ke depannya. Demian sama sekali tidak punya waktu untuk memikirkan kekasih, apa lagi dirinya sendiri. "Rasanya sakit, saat tau pria yang selama ini aku anggap Ayah kandungku, malah ternyata bukan." Dara tersenyum menyakitkan. "Dan Mami yang aku anggap wanita baik-baik, ternyata dulunya hanya seorang kupu-kupu malam." Demian terdiam. Dia sudah tahu segalanya dari cerita bersama Raka dan Raya tadi. Raya yang berusaha menyembunyikan siapa dirinya di hadapan Demian, malah dibongkar habis-habisan oleh suaminya sendiri. Raya benar-benar kehilangan harga dirinya di hadapan Demian. "Dan aku merasa, ada lagi rahasia besar lainnya yang masih ditutup mereka dariku," lanjut Dara lagi yang kini membiarkan es krim di tangannya meleleh, persis sepertinya hatinya yang kini menangis memikirkan hidupnya yang semula dia anggap sempurna, ternyata menyedihkan. "Rahasia besar apa?" tanya Demian. Dara mengangkat kedua bahunya, "Entahlah, aku juga belum tau rahasia apa itu, yang pasti aku merasa bakalan ada lagi yang terbongkar. Mami, sepertinya masih menyimpan sesuatu dariku." Demian terdiam. Ucapan Dara malah membuat Demian berniat mencari tahu apa lagi rahasia yang disembunyikan oleh Raya. Entah mengapa melihat Raya sejak awal, Demian tidak suka dengannya. Seramah apa pun Raya padanya, namun aura dari Raya yang terasa negatif untuk diterima Demian, membuatnya selalu menjaga jarak setiap kali bertatap muka dengannya. "Kamu ... berniat meninggalkanku?" Pertanyaan Dara yang secara tiba-tiba menghujam jantungnya, membuat Demian membalas tatapan Dara yang terarah padanya. Sesaat keduanya saling tatap. Ada ketakutan di kedua mata Dara yang berhasil ditangkap Demian. Seolah dia takut jika semua orang meninggalkannya. "Bukankah keluargaku hanya akan membuatmu malu?" tambah Dara lagi. "Ibuku seorang mantan wanita malam, dan ayahku, bukan ayah kandung. Jika masalah ini terungkap ke publik, nama kamu dan keluarganya kamu akan tercoreng." "Aku gak peduli," jawab Demian. "Yang aku pedulikan kamu bisa kasih aku anak laki-laki, titik." Raut wajah Dara berubah, yang semula sedih kini berubah kesal. "Dan lagi pula, aku sudah ngeluarin uang banyak buat pesta pernikahan mewah itu, aku juga gak mau rugi kalau sampai ngelepasin kamu gitu aja sebelum keinginanku dapat anak laki-laki terkabulkan." "Apaan sih, kenapa malah jadi hitung-hitungan gitu! Lagian yang mau buat pesta mewah kemarin juga bukan aku, aku gak pernah minta! Itu inisiatif kalian. Kenapa malah jadi hitung-hitungannya sama aku!" Dara terpancing emosi. "Mami kamu yang minta, dan aku menuruti agar bisa wujudkan permintaan kedua orang tuaku!" balas Demian sembari berdiri. "Udah ayo pulang, kamu harus bersiap-siap buat kerja nanti malam!" "Lagi?" tanya Dara terlihat enggan. "Masa setiap malam, yang bener aja!" "Sesuai perjanjian, gak boleh ada penolakan!" balas Demian lantas melangkah pergi meninggalkan Dara yang masih duduk di ayunan. "Hei, dasar otak m***m!!!" jeritnya yang membuat semua pasang mata tertuju pada Demian. Demian malu luar biasa mendengarnya, namun terus berpura-pura tidak peduli dengan sekitarnya yang mulai sibuk bergosip antar ibu-ibu dengan tatapan sinis ke Demian, hingga melupakan anak-anak mereka yang asyik bermain. "Dasar, siluman kucing!" maki Demian dalam hati sembari masuk ke dalam mobil dengan wajah memerah karena malu bukan main. *** "Apa sudah ada tanda-tanda?" tanya seorang wanita dengan rambut di cepol rapi yang sedang duduk di kursi goyangnya. Rahangnya tegas, dengan kedua alis sempurna. Bibirnya merah karena pewarna bibir dan pakaiannya yang terkesan casual. "Belum, Mami," jawab Melissa yang baru saja menikmati teh panasnya sembari duduk di sofa depan TV. "Bilang jangan menunda, aku tidak mau sampai kelamaan mendapatkan cicit!" ucapnya tegas. "Demian harus punya pewaris laki-laki sesuai budaya keluarga kita. Dan yang terpenting, dia juga harus memiliki banyak anak. Bukan kayak kamu yang cuma punya sedikit anak saja! " "Mami kan tau, alasan Melissa. Kenapa masih dibahas lagi sih, Mi." "Agh, kamu selalu saja mematahkan semua budaya keluarga kita. Dari mulai nikah yang bukan dipilihkan jodohnya, bekerja, sampai soal punya keturunan. Suami kamu itu berhasil mengubah apa yang sudah tertanam di keluarga kita. Dan mami gak suka itu." "Tapi kan Mas Bara gak pernah nyakitin Mel, Mi, dia sangat bertanggung jawab. Bahkan kami bisa jadi orang terkaya di Asia juga berkat dia. Lihat dari sisi yang lain dong, Mi, jangan soal kesalahan dia terus. Kalau Mami terus-terusan mengkaji kesalahannya, kapan dia bisa terlihat baik di mata Mami." "Kamu itu selalu saja membela suami kamu. Tanpa dia juga aku masih bisa biayai kamu sampai tua!" "Mami, udah dong, Mel juga cinta sama Mas Bara" "Kalau saja kamu dulu mau dengar apa yang mami katakan, dan mau menikah dengan Roger, anak dari teman lama mami, kamu pasti udah punya anak banyak sekarang. Lihat dia dan istrinya, anaknya sudah enam, tiga cowok dan tiga cewek, lihat. Seperti itu yang mami mau, bukan seperti kamu dan Mas Baramu itu!" Wanita itu terus saja mengomel dan membanding-bandingkan Melissa seperti biasa. "Nikah kok malah gak bisa nyenengin mami, pernikahan apa itu. Kamu bisa kualat!" "Mi!" seru Melissa mulai kesal. "Sebenarnya Mami itu ke sini mau ngapain sih, mau banding-bandingin Mel sama semua orang, atau memang karena rindu sama Mel?" Wanita itu menghela napas. Tubuhnya kembali bergoyang di kursi goyangnya. Mencoba memikirkan semua hal yang ada di kepalanya saat ini. "Mami hanya merasa sudah gagal punya anak. Mami merasa gagal melanjutkan budaya dan kebiasaan keluarga besar kita. Itu saja." Raut sedih hadir di wajahnya yang bukannya membuat Melissa ikut sedih malah memutar bola matanya kesal. "Udahlah, Mi, gak usah berakting. Percuma!" ucapnya kesal. "Sampai kapan pun, Mel gak bakalan berubah pikiran buat nambah anak, titik!" Mendengar ucapan sang anak, ekspresi wajah wanita itu langsung berubah seketika. Dia tampak kesal dan cemberut. "Dasar ngeyel! Siapkan saja mobil besok, aku mau pulang ke Jogja!" perintahnya yang hanya dibalas gumaman oleh Melissa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD