BAB 13 - KAU TAK MAMPU MENGGANTINYA

1165 Words
"Tegakkan kepalamu, kamu istriku pemilik perusahaan, bukan anak buah yang harus tunduk saat melewati seseorang." Ucapan Demian dengan nada setengah berbisik di samping Dara, membuat Dara menelan air liurnya. Dara tidak menyangka, Demian bisa memperhatikannya yang sejak turun dari mobil, berjalan di sampingnya. Hari ini Dara memang ikut Demian ke perusahaan. Demian yang hari ini ada pertemuan khusus dengan Robert dan sang istrinya lagi, terpaksa membawa Dara atas permintaan Clara, istri Robert yang sangat menyukai bisa mengobrol dengan Dara. Robert yang kembali datang untuk membahas proyek terbaru membangun pabrik minuman kemasan dengan Demian, membuat Demian akan sangat sibuk beberapa minggu ke depan. Dan dia tidak ingin Dara bosan di rumah hanya sebagai ibu rumah tangga yang tahunya hanya duduk santai tanpa bisa melakukan apa pun, mengingat di rumah sudah ada yang melakukan segalanya. Karena Demian tahu, Dara bukan tipe perempuan yang hanya duduk diam menikmati segalanya. Dari cerita Raka kemarin, Demian baru mengetahui kalau Dara selalu mencari kesibukan di luar rumah, dan terkadang pulang hingga larut mengalahkan Raka yang jelas-jelas pekerja asli. Dara masuk ke dalam ruangan kerja Demian. Janji temu dengan Robert yang masih satu jam lagi, membuat Demian memutuskan untuk memeriksa beberapa berkas yang sempat terbengkalai hanya karena pernikahannya. Sedangkan Dara, langsung duduk di sofa tamu memperhatikan sang suami yang sedang mengobrol dengan beberapa karyawan termasuk Deva di antaranya membahas tentang pekerjaan. "Dev, kamu ingat berkas dari pembangunan perumahaan yang sempat terbengkalai waktu itu?" tanya Demian sembari melihat sesaat ke Deva yang masih berdiri di hadapannya. "Iya, Tuan Muda, saya ingat, ada yang perlu diperbaiki lagi, Tuan Muda?" "Apa mereka sudah memberikannya sketsanya yang baru?" tanya Demian sembari menandatangi salah satu map dan memberikannya ke Deva. "Belum, Tuan Muda, mereka masih terkendala budget jika memakai sketsa yang kemarin." Deva melirik ke Dara yang malah asyik memainkan game dengan suara yang cukup mengusik telinga. Deva mencoba menahan tawa saat menyadari ekspresi tidak nyaman hadir di wajah Demian. "Coba bawa ...." Demian menghentikan kalimatnya. "Bisa dikecilkan suaranya! Saya sedang bekerja!" seru Demian ke arah Dara yang spontan saja membuat Dara kaget dan langsung mengarahkan tatapan ke arahnya. Dara mengedip-ngedipkan kedua matanya berulang kali dengan ekspresi polos yang bukannya membuat Demian ingin marah, malah gemas melihatnya. Demian berusaha melenyapkan ekspresinya lantas melihat kembali ke Deva yang masih berdiri di hadapannya. "Apa lagi?!" tanya Demian pada Deva yang malah menjadi sasaran atas kemarahan Demian. "Cepat ambil sekarang berkasnya!" "Ba-baik, Tuan Muda!" jawab Deva lantas bergegas pergi meninggalkannya ruangan Demian sambil tak lupa menutup pintu dari luar. Demian melirik sinis ke Dara yang kembali memainkan game di handphonenya dan kali ini dengan tanpa suara. Demian menghela napas, beranjak dari tempatnya duduk, berpindah ke sebelah Dara yang masih belum menyadari kehadiran Demian. "Dengarkan aku," pinta Demian. "Bentar, nanggung!" balas Dara yang membuat Demian kesal bukan main. Untuk pertama kalinya ada orang yang berani membantah keinginannya. Demian yang tidak suka dengan cara Dara menolak perintahnya, langsung mengambil handphone Dara dan melemparkannya ke lantai hingga hancur berantakan. Dara melotot ke arah handphone dengan mulut menganga. "Handphone lima juta sembilan ratus sembilan puluh sembilanku!!!" pekik Dara berniat mendekati handphonenya. Namun dengan cepat Demian menarik tangan Dara untuk tetap duduk di sampingnya. "Kamu sakit!!" bentak Dara dengan wajah merah padam karena marah. "Siapa suruh gak nurut! Orang lagi mau bicara malah asyik sama handphone!" balas Demian. "Tapi gak pakai acara banting handphone segala, kan?!" Kedua mata Dara berembun yang membuat Demian terdiam seketika. Ada rasa penyesalan di hatinya karena sudah melakukan hal yang di luar batas. Bukannya kembali melawan, Dara malah beranjak dari tempatnya duduk menghampiri handphone yang sudah hancur di lantai. Dara memungutnya, dengan air mata yang menetes. "Gak usah dipungut segala, aku bisa belikan kamu sepuluh seperti itu!" tegas Demian yang masih duduk di sofa dengan nada sombong, walau sebenarnya dia hanya ingin menutupi perasaan bersalahnya terhadap Dara. "Kalau kamu belikan aku lima puluh, bahkan seratus handphone seperti ini, atau membelikan yang lebih mahal sekali pun, gak bakalan bisa ngebantu handphone yang aku beli ini." Dara berdiri, berbalik melihat ke Demian dengan wajah yang sudah dibanjiri air mata. "Kamu gak akan temukan handphone sebagus ini di mana pun," ucap Dara setengah terisak. "Dan aku gak akan terima handphone pemberian kamu berapa pun harganya." Dara menundukkan kepala, menatap pilu ke handphone yang kini ada di kedua tangannya. "Aku lebih baik pulang saja, tempat ini gak cocok buatku." Dara berbalik, lantas bergegas ke luar dari ruang kerja Demian hingga tak sempat dicegah Demian yang langsung berdiri melihat ke arahnya pergi. Dini dan Hardi yang sedari tadi berdiri di depan pintu, langsung kaget bukan main dan spontan mengejar Dara. Deva sendiri yang baru saja ingin masuk, pun ikut kaget. Namun tak bisa berbuat apa-apa karena dari dalam ruangan Demian, Demian terlihat berdiri menatap ke luar. Deva hanya menghela napas lantas memutuskan masuk untuk memberikan berkas yang diminta bosnya itu. *** "Dara gak datang, Pak Demian?" tanya Robert yang membuat Demian bingung mencari alasan. Apa lagi ketika melihat tatapan Clara yang seperti berharap bisa bertemu Dara lagi kali ini. Demian tersenyum mencoba menyembunyikan kebingungannya, "Dara tadi di sini sama saya, tapi karena ada urusan mendadak, jadi tiba-tiba pulang lebih awal." Ekspresi wajah Clara terlihat kecewa mendengar jawaban Demian. Demian yang merasa sudah mengecewakan Clara, berulang kali meminta maaf sembari melirik ke Deva yang sudah gagal menghubungi Dara untuk membujuknya kembali melalui handphone Dini mau pun Hardi, tapi sayangnya handphone keduanya malah disergap Dara yang langsung menjawab panggilan dari Deva dan menolak mentah-mentah. "Maafkan saya, Bu Cla, mungkin lain kali kita akan buat schedule untuk makan siang atau malam bersama," usul Demian yang berharap Robert tidak membatalkan janji bisnisnya hanya karena sang istri yang sangat dia cintai, kecewa karena hal yang bagi Demian sepele. "Saya sih tidak masalah, tapi istri saya sudah semangat sekali dari rumah karena tau akan bertemu Dara," ucap Robert. "Apa tidak bisa dibujuk kembali agar Dara bisa luangkan waktu setengah jam saja? Soalnya besok saya sudah ke Belanda buat lanjutkan pendidikan. Dan saya gak tau kapan bisa balik ke sini lagi." Clara tampak memohon yang membuat Demian semakin bingung. "Walau pun rencana bisnis ini nantinya atas nama saya, tapi tetap saja suami saya yang bertanggung jawab sampai saya selesai kuliah S2 di Belanda. Jadi sebelum berangkat, saya ingin bertemu dulu dengan Dara. Atau ... kita tunda saja sampai saya selesai kuliah di sana." Demian tampak panik. Rasanya tidak mungkin jika rencana pembukaan pabrik minuman kemasan itu ditunda mengingat sudah sangat banyak modal Demian yang tertanam di sana. Demian bisa rugi besar karena hal sepele seperti ini. "Maaf, saya telat." Secara tiba-tiba terdengar suara Dara. Semua pasang mata tertuju ke Dara yang baru saja masuk dan berdiri di depan pintu. Dara melangkah masuk saat Demian tersenyum lega. Dara bersalaman dengan keduanya lantas duduk di samping Demian tanpa mempedulikannya. "Terima kasih," bisik Demian. "Aku melakukannya bukan untukmu, tapi untuk kepercayaan tekan kerjamu," balas Dara sembari tersenyum ke Clara yang mulai mengajaknya mengobrol ringan. Demian hanya tersenyum tipis dengan perasaan campur aduk. Ada penyesalan dan ada juga kelegaan karena selamat dari kerugian yang cukup besar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD