Chapter 1

1036 Words
Part 1 Menantu Jahat Tukang Selingkuh Bangunan rumah mungil model minimalis dengan dinding bercat putih itu tampak sepi di pagi hari itu. Tidak terlihat ada aktivitas di rumah yang mempunyai taman kecil depan jendela kamar. Biasanya setiap pagi ada seorang wanita paruh baya yang selalu rutin merawat bunga-bunga mawar yang sedang bermekaran dengan beraneka ragam warna. Tanah di samping rumah pun juga tidak luput ditanaminya dengan bermacam sayur-mayur. Sangat nyaman sekali melihat semua tanaman itu tumbuh subur dan terawat. Namun, suasana sepi dan nyaman itu tidak bertahan lama. Sebuah kegaduhan terjadi di dalam rumah “Bu! Kenapa belum masak juga? Saya sudah lapar nih!” Teriakan Anita membahana di depan kamar Ranti, ibu mertuanya. “Maaf, Nak. Kepala ibu pusing sekali sejak Subuh tadi. Sepertinya darah rendah ibu kambuh lagi.” Ranti berusaha duduk dari pembaringannya dengan wajah pucat dan lemas. “Alasan! Dasar orang tua gak tahu diri! Sudah ditampung di rumah ini, masih saja malas-malasan.” Anita mengomel sembari membanting pintu kamar sang mertua. Ranti mengelus dadanya dengan hati pilu. Kedua matanya dipejamkan sesaat, untuk menghilangkan rasa pusing yang terus mendera. Berlahan ia beranjak ke meja kecil yang tidak begitu jauh dari ranjang. Diambilnya bungkus obat yang berisi beberapa butir obat. “Duh ... obatku sudah habis, padahal sakit kepala ini masih sering kambuh. Anita pasti marah-marah lagi jika aku minta uang beli obat ke dokter,” keluh wanita berusia lima puluh tahun itu. Wanita yang sudah menjadi janda ditinggal selama-lamanya oleh suaminya setahun yang lalu itu lalu meminum sisa obat terakhirnya dengan air putih dalam botol kecil yang diambil dari atas meja kecil dekat ranjangnya. “Aku akan tidur sebentar. Semoga nanti pas bangun sakit kepala ini bisa berkurang, Anita pasti akan ngamuk-ngamuk lagi kalau pekerjaan rumah belum kuselesaikan juga,” pikir Ranti sembari merebahkan tubuh kurusnya di ranjang kecilnya. “Fahri, kapan kamu akan pulang, Nak? Ibu ingin ikut kamu saja rasanya. Batin ibu sangat tersiksa tinggal bersama istrimu.” Ranti menyebut nama anaknya yang sedang mencari nafkah di negara tetangga. Airmata mengalir begitu saja di pipinya yang kurus dan pucat. *** “Bang, sudah ditransfer belum uangnya?” Anita dengan manja bicara di ponsel dengan suaminya--Fahri. Wanita dua puluh delapan tahun itu duduk di sofa yang terletak di ruangan tengah rumahnya. Kedua kakinya diletakkan di atas meja depan sofa. [Sudah barusan, Sayang. Ini aku baru saja keluar dari atm.] “Oh, sudah, ya? Sip deh! Ntar aku cek. Makasih ya suamiku, Sayang.” Anita mengeluarkan suara kecupan ke benda pipih itu sembari senyum-senyum dengan wajah yang merona bahagia. [Ok deh. Hm … ibu ada gak, Nit? Aku mau bicara sebentar dengan ibu.] “Ibu masih tidur, Bang. Tiap hari ibu kayak gitu, nanti saja bicaranya, ya? Aku segan bangunin ibu, ntar ibu marah lagi sama aku.” Anita menjawab dengan memelas tapi dengan mulut mencebik. [Ya udah kalau gitu, nanti aku telepon lagi deh. Aku udah di parkiran nih, mau balik ke restoran lagi.] “Okey deh. Miss You ... muach.” Anita memutus sambungan pembicaraan dengan suaminya. Wajah wanita cantik dan seksi itu terlihat ceria dan berseri-seri. “Asyik ... bisa malam mingguan nih ntar malam sama kesayanganku. Andi pasti senang kalau kuajak shooping dan menginap di hotel,” pikir Anita dengan wajah merona merah membayangkan kencannya dengan laki-laki yang sudah memberikan kehangatan padanya sejak enam bulan lalu. Anita tidak bisa menahan kesepiannya setelah dua tahun lamanya tinggal berjauhan dengan sang suami yang merantau ke Malaysia. Meskipun enam bulan sekali Fahri selalu pulang mengunjunginya, Namun, waktu selama dua minggu bersama dengan suaminya itu sangat kurang bagi Anita untuk memuaskan nafkah batinnya. Wanita bertubuh sintal itu tidak kuasa menolak pesona Andi, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh atletis. Mereka dikenalkan oleh Rosa, teman akrab Anita yang mempunyai hobby sama dengannya. Suka keluyuran dan berkencan dengan laki-laki muda. Suami Rosa yang sudah berusia tua dan sakit-sakitan, tidak bisa lagi memuaskan wanita yang seumuran dengan Anita tersebut. Anita dengan senyum yang masih menghiasi bibirnya mencari nomor ponsel selingkuhannya. “Sudah bangun, Honey?” tanya Anita begitu sang pujaan hati menerima panggilannya setelah tiga kali ia mencoba menghubungi. [Hm ….] “Kamu udah bangun apa belum?” tanya Anita lagi begitu didengarnya hanya suara gumaman khas orang baru bangun tidur. [Ada apa?] “Ya ampun? Masih tidur, ya? Udah jam sepuluh siang ini, Sayang.” Anita bicara manja dengan suara mendesah, sama seperti suara Andi yang masih teler di kasurnya. [Aku ngantuk banget nih! Masih pengen tiduran, apalagi kalau ada kamu di sini] “Aaah … kamu bikin aku panas dingin aja nih dengarnya, Ndi. Ya udah, kembalilah tidur, biar segar tubuhnya ntar malam.” Anita menjawab nakal. [Maksudnya?] “Ntar malam kita ketemuan lagi, ya? Aku jemput ke kosmu sekitar jam tujuh.” Anita bicara sedikit berbisik. “Kamu bicara dengan Fahri kah, Anita? Ibu juga mau ngomong sebentar.” Suara ibu mertuanya yang tiba-tiba terdengar di belakangnya, membuat Anita hampir menjatuhkan ponselnya karena kaget. “Sialan! Ibu apa-apaan, sih? Nguping pembicaraan saya, ya?” Anita berdiri dari duduknya sambil menatap ibu mertuanya dengan marah. “Ibu baru saja nyampe sini kok, Nit. Kirain kamu bicara dengan Fahri. Ibu hanya ingin bicara sebentar. Sudah lama ibu tidak bicara dengannya.” Ranti menatap menantunya dengan wajah memohon. “Bang Fahri lagi sibuk! Emangnya Ibu mau bicara apa? Mau ngaduin saya gitu?” bentak Anita seraya menatap tajam sang ibu mertua. “Bukan, Nak. Ibu hanya ingin ta ....” “Halah! Pasti ingin minta uang, kan? Udah tua juga! Emangnya duit buat apa? Cepat sana! Masakin aku nasi goreng! Habis itu cuci tuh baju, udah numpuk tahu!” usir Anita sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke arah ibu mertuanya.. Ranti dengan airmata berlinang sembari menahan sakit di kepalanya, berjalan pelan menuju dapur untuk membuatkan sarapan untuk sang menantu. *** Ranti buru-buru keluar dari kamarnya sehabis salat Magrib. Diambilnya kunci serep rumah yang tergantung dekat lemari dapur, lalu dimasukan ke dalam dompet kecil yang sudah dikempitnya. Sebelum keluar rumah, ia berhenti sejenak di depan pintu kamar menantunya. Terdengar samar-samar suara Anita yang sedang bernyanyi dari dalam. “Aku harus duluan keluar rumah daripada Anita. Pasti sebentar lagi dia akan keluar seperti biasanya tiap malam minggu begini,” pikir Ranti. Gegas wanita paruh baya itu berjalan ke luar rumah. Malam yang baru saja menjelang membuat bayangannya kemudian lenyap di keremangan cahaya lampu teras rumah yang ditempatinya hanya berdua dengan sang menantu. Tidak lama kemudian tampak Anita keluar rumah dengan dandanan seperti gadis berusia belasan tahun yang masih lajang. Terlihat modis dengan kemeja ketat dan celana jeans biru yang menempel di tubuh seksinya. Wanita cantik itu lalu mengunci pintu rumah dari luar. Ia sudah terbiasa seperti itu. Tidak peduli apakah mertuanya ada di kamar atau tidak, karena ia memang tidak pernah pamit kemanapun akan pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD