Part 2
Membuntuti Menantu Nakal
Anita memacu motor matic Honda Beat yang dibelikan suaminya--Fahri ketika mereka baru saja menikah dua tahun lalu. Ia akan menghabiskan malam minggu ini bersama pacar gelapnya.
“Ayo Bang! Kita ikuti motor itu,” ucap Ranti yang sudah duduk di belakang tukang ojek. Ia sudah bersiap menunggu Anita bersama tukang ojek yang dipesannya tadi tidak jauh dari lokasi rumah mereka.
“Siap, Bu.” Abang tukang ojek menjalankan motornya mengikuti motor yang di kendarai Anita dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
Sekitar lima belas menit kemudian tampak Anita berhenti di depan rumah yang bertingkat dua. Di depan bangunan tertulis ‘Kos Khusus Pria. Terlihat Anita menelepon tanpa turun dari motornya. Tidak lama kemudian muncul seorang pemuda dan langsung menghampiri Anita. Laki-laki itu lalu menaiki motor Anita dari depan setelah wanita yang sudah bersuami itu menggeser duduknya ke belakang.
Ranti yang memperhatikan tidak jauh dari sana terbelalak kaget begitu dilihatnya Anita, menantunya memeluk erat pinggang laki-laki yang mengendarai motor Anita itu dengan wajah yang tersenyum lebar.
“Astagfirullah al'azimm ... ternyata Anita benar-benar bermain api di belakang anakku.” Ranti menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.
“Kita ikuti mereka lagi, Bu?” tanya abang ojek yang masih setia menemani ibunya Fahri. Pertanyaan si tukan ojek itu menyadarkan Ranti dari rasa kagetnya.
“Gak usah, Bang! Tolong antar saya ke toko jual Hp aja,” jawab Ranti sambil duduk kembali di boncengan.
Ranti yakin Anita sudah lama menjalin hubungan dengan laki-laki lain di luar rumah. Sebab sering dilihatnya Anita pulang malam dan bahkan pernah pulang ke rumah di waktu subuh. Selama ini Ranti tidak pernah mencurigai sang menantu. Dipikirnya Anita mungkin pulang ke rumah orang tuanya yang berada tidak begitu jauh dari rumah mereka. Namun, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, Ranti tidak akan tinggal diam. Ia akan melaporkan kelakuan Anita kepada putranya yang sedang mencari nafkah di negeri jiran sana.
“Bang, saya beli Hp yang paling murah saja, ada gak?” tanya Ranti begitu tiba di depan toko khusus jual telepon selular.
“Ada Bu, sebentar saya ambilkan,” jawab yang punya toko.
“Ini Bu, cuma 250 ribu saja. Batraynya tahan lama dan mudah digunakan.” Pemilik toko menyodorkan ponsel kecil ke hadapan Ranti.
“Kalau boleh harga segitu sekalian sama nomor nya, ya?” tawar Ranti setelah mengamati benda kecil berwarna putih yang disodorkan oleh pemilik kios.
“Ya sudah, buat Ibu saya kasih deh.”
“Makasih, tolong sekalian nomornya diaktifkan ya, Bang. Saya gak ngerti yang begituan.” Ranti mengeluarkan lipatan uang yang ada dalam dompet kecilnya.
Uang yang dikasih putranya lima bulan yang lalu ketika pulang kampung. Jumlahnya hanya 500 ribu. Sekarang uang simpanannya itu akan tersisa separo setelah ia belikan ponsel. Setahun yang lalu Ranti masih punya ponsel, tapi setelah rusak ia belum beli lagi. Jika ingin bicara dengan anaknya, ia selalu numpang di ponsel sang menantu. Itupun sangat jarang sekali.
“Bang, antar saya pulang ke rumah lagi, ya?” pinta Ranti ke abang tukang ojek yang masih setia menunggunya di depan toko.
“Siap, Bu!” Abang tukang ojek kemudian menjalankan kendaraannya setelah Ranti duduk menyamping di belakangnya.
Tidak lama kemudian Ranti pun tiba kembali di rumah tempat tinggalnya.
“Ini uang ojeknya, Bang. Makasih, sudah mengantarkan saya ke sana ke mari. Saya lebihin dikit ongkosnya.” Ranti menyerahkan selembar uang limapuluh ribuan ke tukang ojek yang duduk di kendaraannya.
“Iya, sama-sama, Bu.”
Setelah si tukang ojek berlalu dari hadapannya, Ranti segera masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Ia sudah tidak sabar ingin menelepon putranya untuk memberitahukan tingkah laku istri anaknya itu.
Ranti langsung masuk ke dalam kamarnya, lalu membuka laci lemari pakaian. Diambilnya sebuah dompet kecil yang di dalamnya terdapat kertas terlipat bertuliskan nomor ponsel sang putra.
Dengan hati berdebar, Ranti mengeluarkan ponsel kecil yang baru dibelinya tadi, lalu nomor yang terdapat di kertas kecil satu per satu dimasukannya dengan pelan, kemudian menekan tombol panggil. Setelah menunggu berapa saat bukannya suara putranya yang terdengar, tapi suara operator yang menjawab. Nomor yang di hubunginya itu tidak terdaftar.
“Kok gak nyambung? Apa salah pencet nomornya?” pikir Ranti heran.
Diulanginya kembali memencet nomor tersebut dengan lebih teliti. Namun, setelah mengulang tiga kali, tetap saja yang menjawab sang operator.
“Ya Allah ... apa mungkin Fahri ganti nomor Hp-nya?” Ranti terduduk lemas di pinggir ranjang.
“Jika kuminta nomor barunya Fahri ke Anita, pasti dia tak akan mau ngasih. Anita pasti curiga karena dipikirnya aku kan gak punya Hp,” batin Ranti dengan netra yang mulai sesak oleh airmata yang mau tumpah, saking kecewanya karena tidak bisa menghubungi putra tercintanya.
***
Setelah menghabiskan malam yang panas dengan kekasih gelapnya selama enam bulan terakhir ini, Anita pulang ke rumahnya sekitar pukul delapan pagi.
“Anita! Kamu dari mana semalaman? Kenapa baru pulang jam segini?”
Suara ibu mertuanya yang tiba-tiba terdengar menyambutnya begitu pintu rumah dibuka mengagetkan wanita berwajah cantik itu.
“Bu! Kenapa sih suka sekali bicara tiba-tiba! Bikin kaget tahu!” seru Anita dengan emosi.
“Kenapa kaget? Kamu melakukan kesalahan? Ibu tadi bicara biasa saja kok!” Ranti menjawab dengan tenang. Ia harus berani menghadapi menantunya itu sekarang. Kasihan putranya—Fahri yang terus dibohongi oleh istrinya.
“Saya nginap di rumah orang tua saya semalam! Ibu gak percaya?” Anita menjawab sembari menatap mertuanya tajam.
“Kamu jangan bohong, Anita!” Ranti balas menatap tajam sang menantu.
“Maksud Ibu apa? Jangan macam-macam, ya? Apa mau saya usir dari sini?” Anita menjawab dengan mata yang menyala.
Ranti terdiam mendengar perkataan Anita. Ia tahu kalau rumah yang dibangun putranya setahun yang lalu itu di atas tanah milik Anita.
“Ah, sudahlah! Saya capek! Ibu siapin sarapan buat saya sana!” tukas Anita sambil melanjutkan langkahnya menuju kamar dengan wajah angkuh. Meninggalkan sang mertua yang berdiri mematung.
Anita baru saja selesai mandi, ketika didengarnya ketukan di pintu kamar. Dengan masih berbalut handuk sebatas d**a dan rambut basah terurai wanita bertubuh seksi itu berjalan membuka pintu.
“Sarapannya sudah ibu siapkan,” ucap Ranti begitu kepala sang menantu nongol dari balik pintu. Matanya langsung terpaku melihat banyaknya tanda merah di leher jenjang wanita muda yang berada di hadapannya.
“Kenapa harus lapor-lapor segala sih, Bu! Ntar juga pasti aku keluar kalau mau makan, gangguan orang aja deh!” jawab Anita sebel. Apalagi begitu ia menyadari tatapn mata mertuanya ke lehernya. Segera ditutupnya pintu kamar dengan keras.
“Anita! Tunggu sebentar! Ibu cuma mau minta nomor Hp-nya Fahri. Ada yang mau ibu bicarakan sama Fahri!” teriak Ranti sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar menantunya kembali.
“Mau ngapain sama Bang Fahri? Mau laporin aku? Terus Ibu kan gak punya Hp, mau nelepon pake dengkul?” Anita kembali membuka pintu kamarnya dengan marah. Rambut panjangnya sekarang sudah menutupi leher mulusnya yang penuh tanda kecupan selingkuhannya.
“Bukan, Nak. Ibu mau bicarakan mengenai tanah milik kami. Peternakan ayam yang menyewanya mau membeli saja tanah bekas rumah ibu itu,” jawab Ranti sabar. Tidak ada jalan lain baginya untuk mendapatkan nomor ponselnya Fahri. Meski harus berbohong tentang tanah miliknya di kelurahan sebelah.
“Mau jual tanah?” Anita mulai tertarik dengan ucapan ibu mertuanya.
“Iya, masih rencana. Nanti ibu mau pinjam sebentar Hp-nya abang tukang sayur. Kemarin dia sudah janji mau pinjamin ibu pas belanja sayur nanti. Sebentar lagi dia dah mau lewat,” lanjut Ranti lagi.
“Dih! Malu-maluin aja minjam Hp-nya tukang sayur! Nanti siang aja aku sambungin sama Bang Fahri,” omel Anita sambil membanting pintu kamarnya kembali.
Ranti mengusap dadanya dengan putus asa. Ternyata sangat susah untuk meminta nomor ponsel putranya yang baru ke Anita.
Dengan langkah lunglai wanita paruh baya itu kembali ke kamarnya. Direbahkan tubuh lelahnya yang tadi malam begadang di ruang tamu menunggu Anita kembali. Ranti hanya ingin memastikan kalau menantunya itu memang tidak pulang ke rumah semalaman. Rasa lelah dan mengantuk membuat wanita itu tak lama kemudian terlelap.