Bab 1. Bukan Kamar Pengantin
Gaun pengantin yang berkilau dan berharga ratusan ribu dolar masih melekat erat di tubuh Elea yang ramping. Di balik senyuman tipisnya, binar mata gadis 21 tahun itu menyimpan bayang-bayang pesta mewah yang baru saja ia jalani. Namun, kebahagiaan itu tiba-tiba pudar saat keramaian usai.
Alih-alih menuju kamar pengantin, Elea malah diantar masuk ke sebuah ruangan gelap dan dingin. Napasnya tercekat, jantungnya berdetak kencang, dan dingin itu merayap ke tulang—menjadikan kenangan indah berubah menjadi mimpi buruk yang nyata.
Elea menatap sekeliling dengan mata yang berkaca-kaca, dadanya berdebar tak karuan. "Kenapa aku dibawa ke sini?" suaranya bergetar. Matanya menyapu perlahan setiap sudut ruangan yang terasa asing itu. "Apa ini kamar pengantinnya?" gumamnya lirih, setengah ragu, setengah takut, mencoba memahami kenapa ia ada di tempat itu.
"Ini perintah langsung dari Bos!" jawab seorang pengawal yang membimbing Elea melangkah menuju tempat gelap itu, melewati lorong-lorong panjang yang membuat Elea semakin begidik.
Kenapa seperti ini? Bukankah pengantin wanita yang baru menikah harusnya menghabiskan malam di kamar pengantin bersama lelaki yang telah mengucap janji setia di atas altar?
"Silakan! Tunggu perintah selanjutnya!" Suara pengawal itu keras, tak memberi ruang untuk protes.
"Perintah siapa?" tanya Elea bingung.
Tangan pengawal itu tiba-tiba mendorong punggung Elea dengan dorongan kasar, membuat tubuhnya tersentak lalu terjerembap masuk ke dalam ruangan. Elea menahan napas, dadanya berdebar kencang saat pintu di belakangnya tertutup rapat, meninggalkannya dalam keheningan yang makin menekan.
"Hey, ini apa maksudnya ...?"
Tak sempat mendapatkan penjelasan, sang pengawal sudah lebih dulu menutup dan mengunci rapat pintu tebal dengan sistem keamanan yang canggih itu.
Elea terkurung bersama rasa takut dan kebingungan yang hebat. Ada apa ini? Kenapa ia malah diasingkan ke dalam ruangan yang lebih mirip ruang isolasi daripada kamar yang layak? Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Elea mengguncang-guncang knop pintu dengan panik, napasnya tercekat dan suaranya bergetar saat teriakannya pecah, "Tolong! Tolong keluarkan aku dari sini!" Tangannya gemetar, berusaha sekuat tenaga, tapi pintu itu terlalu kokoh untuk ia taklukan.
Keringat dingin mulai membasahi dahinya, ketakutan merayap masuk memenuhi ruang dadanya. Ia jatuhkan tubuhnya ke lantai, menatap sekeliling dengan mata penuh putus asa.
Elea memukul-mukul pintu besi dengan tangan semakin gemetar, suaranya juga semakin pecah saat sekali lagi ia berteriak, "Siapa pun, tolong keluarkan aku dari ruangan ini! Aku pengantin Tuan kalian, aku bukan tahanan!" Rasa frustasinya kian merambat ke seluruh tubuh, membuat tubuhnya seolah tak berdaya.
Elea tak tahu lagi harus bagaimana, dia pikir ini hanya kekeliruan dan ia hanya menjadi korban salah sasaran dari para pengawal suaminya.
"Ini pasti salah paham, ini bukan tempatku ...." gumamnya dengan lirih.
Tapi Elea telah salah menduga. Ia dikirim ke ruang isolasi itu adalah sebuah perintah mutlak dari Mathias Xander, pria tampan nan gagah yang baru saja menikahinya hari ini.
"Nona Elea sudah diamankan di ruang isolasi nomor 1, Bos. Dia tidak memberontak, dia hanya kebingungan kenapa ia diantarkan ke sana, bukan ke ruangan pribadi Anda." Pengawal yang mengantar Elea sudah tiba di ruang kerja Mathias dan memberikan laporan lengkap tentang Elea yang telah diamankan.
Mathias tampak tenang sembari menatap layar monitor yang menampilkan rekaman CCTV dari ruangan isolasi di mana Elea terkurung sekarang.
Pria pemilik hunter eyes yang dengan iris berwarna coklat yang membius itu hanya fokus pada objek yang ia amati, yaitu pengantinnya yang terlihat kebingungan masih dalam balutan gaun cantik pemberiannya itu.
"Kembali ke tempatmu, serahkan sisanya pada Esther!" titah Mathias kemudian.
"Baik, Bos."
Pengawal itu pergi, meninggalkan Mathias dengan pertunjukkan di layar monitor yang sedang ia saksikan. Satu hisapan rokok favorit menjadi peneman pria 32 Tahun itu seolah ia benar-benar sedang menikmati tayangan acara yang ia tunggu-tunggu.
10 menit setelah ia ditinggal sendirian, ia melihat seorang wanita berpakaian serba hitam masuk ke ruangan itu dan melakukan tindakan kasar sejak langkah pertama ia masuk ke ruangan itu pada Elea.
"Aaahhh, apa-apaan ini? Kenapa kamu kasar sekali? Kamu siapa?" pekik Elea yang cukup kesakitan dengan tendangan telak Esther di bagian punggungnya.
Tapi tak hanya tendangan telak di punggung, selanjutkan kepala Elea dijambak dan diintimidasi dengan sorot mata tajam dari wanita yang berprofesi sebagai tukang pukul itu.
Elea semakin terjerembab dalam rasa bingung dan takut. Sebenarnya ini ada apa? Baru saja ia dirayakan dengan sebuah pernikahan yang megah dan indah, tapi kenapa tiba-tiba ia dilempar ke dalam mimpi buruk yang nyata ini?
"Jangan banyak bicara! Setiap apa yang aku lakukan adalah perintah mutlak dari Tuan Mathias!" ucap wanita itu dengan suara menggeram marah yang semakin mengguncang jiwa Elea.
"Kenapa ...?" Suara Elea gemetar dan tenggelam. "Aku adalah pengantinnya, aku istrinya, kenapa ia melakukan ini padaku?" Air mata kian luruh, membuat riasan mata perlahan luntur menciptakan kekacauan di wajah cantiknya.
"Itu di luar urusanku! Aku hanya menjalankan perintah!" jawab Esther lalu ia menyeret kepala Elea dengan kasar lantas menghempas ke sudut ruangan yang lain.
Elea semakin putus asa dan merasa kalau ada sebuah rencana buruk dari pernikahannya dengan Mathias yang ia ketahui sebagai Bos dari sebuah organisasi bawah tanah yang menguasai beberapa bisnis gelap yang terorganisir dengan sangat rapi.
Dan di detik detik berikutnya, Elea tetap diperlakukan seperti bina tang sampai lemas tak berdaya. Tak ada kesempatan untuknya menerima penjelasan, pertahan terakhirnya hanya do'a yang ia jaga di dalam hati walaupun ia tahu bahwa akhirnya ia akan berakhir di peti mati.
'Apa salahku ...? Tapi, Tuhan ... andai aku memang ditakdirkan untuk berakhir di tempat ini, di tangan suruhan suamiku sendiri, tolong kabulkan satu permintaan terakhirku ... beri aku kesempatan untuk mengetahui alasan kenapa ia tega melakukan ini padaku ....' batin Elea lalu perlahan memejamkan matanya, tenaganya habis dan kesadarannya lenyap.
Elea tergeletak lemas, napasnya tersengal-sengal. Gaun yang semula rapi kini koyak di sana-sini, memperlihatkan kulitnya yang penuh luka lebam. Matanya yang sayu menatap kosong ke langit-langit, seolah melepas semua kekuatan yang tersisa dalam dirinya.
Di ruangan lain, Mathias duduk tenang, matanya menatap tajam ke arah layar monitor yang menampilkan pertunjukkan penyiksaan pada pengantinnya.
Wajah Mathias tetap dingin, tanpa ekspresi, tapi di balik tatapan itu, dadanya bergejolak hebat, Bayangan kelam masa lalu menyergap—saat ia menyaksikan ayah, ibu, dan saudari perempuannya dibantai dengan keji oleh sekelompok pria.
Rasa sakit itu masih membakar hati Mathias, membangkitkan dendam yang selama ini ia jaga baik-baik. Tangan kanannya mengepal pelan, napasnya tersengal seolah ingin membungkam luka yang tak pernah sembuh sejak 15 tahun yang lalu.
'Kau harus membayar apa yang telah k*****t itu lakukan pada seluruh keluargaku, Elea! Kau harus membayarnya!'