“Uhhhh, suamiku pengertian sekaliii...” Ucap Aroha, meraih pipi Alvar dan mengusapnya gemas.
Meski Alvar jelas bukan sosok yang terlihat pantas diperlakukan macam itu—maksudnya tubuh Alvar kan tegap, berwibawa, garang dan segala macamnya, di perlakukan seperti itu, manja dan semacamnya di depan umum jelas tidak terlihat cocok dengan Alvar sama sekali, kan? Tapi dengan Aroha yang tidak peduli akan hal itu, dan tetap merasa suaminya menggemaskan dengan cara bicara, ekspresi bahkan sikapnya membuat Alvar terkejut namun tidak merasa menolak perlakuan itu juga. Alvar malah merasa... hm, bagaimana ya menjelaskannya? Karena pria itu juga memang tidak pernah diperlakukan macam itu sebelumnya.
“Aku akan coba pikirin apa yang mau aku makan, oke? Jadi kamu nggak perlu terlalu khawatir, Mas. Apa pun, nanti kalau aku mau dan terlintas di kepalaku, aku akan langsung bilang sama kamu, oke?”
“Janji, ya? Kamu benar akan langsung bilang sama saya?”
“Iya...” Aroha mengangguk pasti, dengan gerakan yang sangat yakin. “Aku pasti akan langsung bilang. Tapi Mas Alvar yakin nggak masalah?”
“Huh?”
“Mas yakin akan bisa? Maksudku, apa Mas nggak pernah dengar dari rekan-rekan Mas yang istrinya hamil?”
“Dengar? Dengar apa?”
“Aku sering denger dari orang, Ibu hamil itu nyebelin karena kepinginnya yang aneh-aneh.” Aroha meringis, kali ini mulai merasa khawatir.
“Oh... maksud kamu ngidam? Tentu, saya udah dengar beberapa kali, dan lihat dari dekat langsung malah. Khusus Mas Tama, beliau memang sering kali kewalahan dengan kemauan istri yang hamil dulu, tapi pada akhirnya Mas Tama selalu bisa penuhi kok. Menurut Mas Tama, cuma itu yang bisa dia lakukan untuk istrinya yang jauh lebih kesusahan karena mengandung anaknya, dan saya setuju dengan itu. Dibanding kamu yang harus merasakan semua perubahan dalam diri kamu, penuhin apa yang kamu mau jelas nggak akan sebanding, jadi saya akan berusaha semampu saya untuk memenuhinya.”
Aroha pikir Alvar akan merasa takut karena sudah tahu masalah yang akan dihadapinya ke depan. Tapi tidak, di luar dugaan Aroha, Alvar malah cukup tenang.
“Iya memang, saya pernah lihat Mas Tama kewalahan dan sedikit mengeluh karenanya. Tapi Mas Tama tetap berusaha melakukan apa pun semampunya untuk membantu kakak ipar agar nggak terlalu kesulitan melewati masa kehamilannya. Dan itu pula yang ingin saya lakukan untuk kamu, Aroha. Karena kamu mengandung anak kita, bukan cuma anak kamu sendiri.” Alvar meraih satu tangan Aroha dan menggenggamnya. Menggenggamnya cukup erat.
“Saya nggak mau kamu merasa melewati dan merasa kesusahan sendiri. Saya akan berada di samping kamu dan kita akan melalui semuanya bersama. Saya mungkin nggak bisa ggantikan posisi kamu, saya juga nggak bisa menyingkirkan rasa sakit yang kamu rasakan, tapi seenggaknya, saya bisa melakukan hal lain, genggam tangan kamu, pastiin perasaan kamu tetap terjaga, nggak merasa ditinggalkan, dan saya akan selalu berada di sisimu apa pun keadaannya.” Ucap Alvar tulus dan serius, dan itu sudah cukup untuk Aroha memahami perasaan suaminya.
Aroha tersenyum lebar, “Terima kasih.” Menambahkannya dengan gumaman sebelum tatapan intens keduanya dipecahkan oleh panggilan dari pengeras suara kalau Aroha di minta untuk datang ke ruang emergency.
“Terima kasih untuk roti bakarnya, Mas Sayang. Aku kembali kerja lagi ya?”
Alvar mengangguk, dan Aroha tidak bisa mengulur waktunya lagi untuk segera pergi dari sana. Tapi baru saja Aroha akan melangkahkan kakinya lebih cepat, Alvar berseru penuh peringatan.
“Hati-hati!” Seru Alvar yang membuat Aroha lagi-lagi tersenyum sambil melambaikan tangannya seiring kepergiannya.
***
“Gila kamu ya, Ar! Bisa-bisanya kamu nggak ngabarin aku sama Nadya soal kehamilan kamu sampai aku denger sendiri dari rekan kerjaku di rumah sakit.”
Itu Dira, yang mengunjunginya di rumah sakit setelah mendengar mengenai kehamilannya dari rekan kerjanya di rumah sakit tempat pria itu bekerja. Iya, sepulangnya dari pulau timur sama mereka memang bekerja di rumah sakit yang berbeda, begitu juga Nadya. Nadya dan Dira sih satu rumah sakit karena kedua sejoli itu agaknya tidak lagi bisa dipisahkan setelah kepulangan mereka dari pulau timur, sementara Aroha bekerja di rumah sakit lain setelah tawaran yang diterimanya dari senior yang mempromosikannya tidak bisa Aroha tolak. Tapi intinya pertemanan mereka tetap sama, meski kini jalan yang mereka lalui harus sesuai jalur masing-masing.
“Ya maaf, Dir. Aku aja baru tahu kemarin lusa kok, terlalu sibuk dengan ini-itu dan belum sempet untuk mikir harus ngabarin siapa aja selain Ayah dan Ibu. Lagian, kok cepet banget sih kabarnya kesebar? Sampai rumah sakit seberang aja udah tahu soal kehamilanku.” Aroha meringis, tidak tahu harus berekspresi macam apalagi dengan todongan sahabatnya itu.
“Dokter obgyn rumah sakitku itu senior dokter obgyn yang nanganin kamu, dan kayaknya kemarin mereka ketemu di satu seminar terus cerita-cerita, sampailah tahu kalau kita temenan dan seperti yang kamu tahu akhirnya kabar itu sampai di telingaku. Nadya histeris banget pas dengar, sayang aja dia nggak bisa ikut ke sini karena shift-nya masih berjalan hari ini.”
“Terus gimana? Nadya marah nggak?”
“Marah gimana? Yang ada dia malah gemes, seneng banget tahu mau punya keponakan.”
“Syukurlah, aku takut aja Nadya bakal marah-marah kayak kamu. Bisa kena marah 2 kali kalau begitu kan.”
“Nggak usah hiperbola deh, memang aku marah sampai ngamuk terus mukulin kamu? Amit-amit.”
Aroha hanya nyengir karena disindir seperti itu.
Kadang, rasanya rindu juga berdebat dengan Dira dan Nadya di tempat kerja. Rasanya kalau bekerja bersama sahabat yang sudah mengerti luar-dalam memang jadi lebih menyenangkan dibanding biasa, tapi ya bagaimana pun keadaan mereka sekarang tetap harus disyukuri, karena mereka tetap berada di jalan yang sama-sama mereka cintai.
“Terus gimana, keadaan kamu baik-baik aja, kan? Baby-nya?”
“Baik… Semuanya baik. Eh, kamu mau lihat fotonya nggak?” Aroha mengeluarkan ponselnya antusias, lalu menunjukan gambar hasil USG yang sudah Aroha simpan di gawai miliknya agar bisa dilihat kapan saja.
Seolah tidak pernah melihat hal serupa, Dira menyambut dengan antusias, mendekat ke arah Aroha dan bersama-sama menatap objek yang ada di layar ponsel milik Aroha saat ini.
“Lucunya… Ah, aku juga jadi pengen cepet-cepet punya.” Gumam Dira, yang membuat Aroha mengulum bibirnya sedikit lebih difensif.
Bukan apa-apa, Aroha sebenarnya menghindari topik macam ini, topik yang bisa membuatnya kelepasan bertanya kapan Dira dan Nadya akan menyusul misalnya seperti yang sering dikatakan ibu-ibu pada umumnya di luar sana. Aroha tidak ingin menyinggung itu karena takut akan melukai perasaan Dira atau Nadya yang tidak Aroha tahu sedang dalam mode macam apa, tapi kalau Dira yang mengatakannya lebih dulu seperti ini, Aroha bolehkan menggiring percakapan ke arah sana? Aroha jadi bingung sendiri.
“Aku harap kalian juga cepet dikasih ya. Aku tahu rasanya diam-diam menanti, walau di mulut kita bilang nggak apa-apa dan jalanin hidup kayak biasanya, tapi tanpa orang tahu kita yang paling mendambakan hal itu, kan?”
Dira tersenyum, tulus. “Aamiin… Thanks. Aku sama Nadya tahu kok, kamu akan selalu doa yang terbaik untuk kami berdua, sama kayak kami yang selalu doa terbaik buat kamu, Ar. Dan sekarang doa terbaik untuk kalian. Kamu, Alvar juga calon anak kalian.”
Kali ini Aroha yang tersenyum tulus, penuh dengan rasa terima kasih.