“Aroha? Hei. Apa yang salah? Kenapa?” Alvar mencoba menyadarkan Aroha dari lamunan panjangnya.
"Hm? Ah, nggak. Bukan apa-apa. Aku kaget aja Mas susah payah datang ke sini di tengah jam kerja Mas cuma buat antar makanan buat aku."
"Apa maksud kamu dengan cuma? Ini penting, Sayang. Ini untuk istri dan anak saya. Jangan sepelekan masalah ini, oke?" Ucap Alvar benar-benar dengan wajah khas serius miliknya, dan itu otomatis membuat Aroha tidak bisa menahan senyumnya untuk terbit di sepanjang garis bibir.
Pandangan Aroha tiba-tiba terdistraksi dengan kedua rekannya yang tiba-tiba sudah ada di sana, memandangnya dengan sorot mata ingin tahu meski mereka berusaha untuk membuat itu tidak kentara. Well, bagi Aroha sih itu tetap kentara juga, meski Rizal dan Rika saat ini tengah berdiri di meja infomasi ruang emergency sambil berpura-pura berbincang dengan beberapa perawat yang ada di sana.
Benak Aroha tiba-tiba teringat dengan pembicaraannya dengan kedua orang itu di ruang istirahat tadi, menyembunyikan senyum terselubungnya dan menarik lengan Alvar untuk dia rangkul. Wanita itu berdiri, mengajak Alvar juga untuk bangkit dan ikut dengannya.
Alvar sih tanpa banyak bertanya ikut-ikut saja, meski di matanya ada sorot tanya yang tidak lantas terjawab hingga mereka berada di dekat rekan-rekan Aroha yang ada dan berkumpul di meja informasi ruang emergency itu.
"Hm, halo semuanya. Dari kalian mungkin ada yang belum kenal, jadi saya kenalin aja sekalian, terutama untuk yang belum pernah tahu dan saya kenalin sebelumnya." Aroha mengucapkan kalimat pembuka, dengan senyuman formal di bibirnya pada rekan-rekannya yang ada di sana, terutama pada Rizal yang memang sebelumnya tidak pernah berjumpa dengan Alvar langsung, lain halnya dengan Rika dan beberapa perawat lain yang mungkin pernah berkesempatan untuk dikenalkan pada Alvar dan melihatnya pada kesempatan-kesempatan yang lalu.
"Ini suami saya, namanya Alvar, Letkol Alvar."
Aroha memperkenalkan Alvar santai, seolah lupa kalau dirinya dan Alvar pernah menjadi pasangan yang paling menghebohkan satu negara beberapa tahun sebelumnya. Siapa yang tidak tahu berita mengenai pernikahan putri Presiden dan siapa menantunya, hampir semua orang tahu—ya kecuali orang yang memang benar-benar tidak peduli saja, tapi pada umumnya sebagian besar masyarakat negeri itu jelas tahu, termasuk sebagian besar yang mendengarkan Aroha saat ini juga.
Alvar membungkuk sejenak, tersenyum formal sebisa mungkin meski ekspresi wajahnya memang kaku. Alvar tidak ingin memberikan kesan yang buruk pada rekan kerja Aroha di rumah sakit itu, terlebih Aroha baru sekitar satu tahun berada di sana setelah sekembalinya mereka dari pulau paling timur dan terpelosok di tahun sebelumnya.
"Salam kenal, terima kasih sudah membantu Aroha selam ini."
"Nggak, nggak, Mas. Justru kami yang selama ini merasa terbantu karena kehadiran dr. Aroha..."
"Salam kenal, Alvar. Saya Rizal senior Aroha di sini." Rizal berjalanan ke arah kedua orang yang berdiri di seberang mereka, mengulurkan tangannya dan berjabatan dengan Alvar.
"Ih, Mas Rizal bukannya udah pernah ketemu ya?" Rika angkat suara.
"Pernah, tapi nggak pernah kenalan secara formal."
"Ah..."
"Ngomong-ngomong ada apa ke sini? Mengunjungi rekan yang sakit?" Tanya Rizal kembali pada Alvar.
"Ah, nggak. Saya mampir antar makanan untuk Aroha, takut dia nggak bisa makan apa-apa lagi seperti kemarin."
"Ohh..." Semua perawat, beberapa residen, dokter magang bahkan coass yang ada di sana mengangguk sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Wah, perhatian sekali suami dr. Aroha ya. Benar-benar suami idaman."
Beberapa rekannya yang lain mengangguk setuju.
"Suami idaman dan siaga. Tahu Dokter Aroha lagi susah makan jadi dibuatin makanan khusus, so sweet..." Seru yang lain membuat Aroha tidak bisa menahan senyumnya.
Suaminya di pandang seperti itu jelas membuat Aroha senang juga.
"Udah, udah ah. Kembali ke kerjaan masing-masing, saya izin istirahat dulu ya. Mau makan siang sama-sama." Ucap Aroha membubarkan kerumunan. Aroha tidak mau juga suaminya tiba-tiba menjadi idola di sana karena dianggap suami idaman, karena Aroha rasa dirinya tidak akan bisa mengatasi rasa cemburunya kalau sampai hal itu terjadi.
Setelahnya Aroha pamit pada Rizal dan Rika, menitipkan pekerjaannya dan berjanji akan kembali setelah dirinya selesai dengan waktu istirahatnya. Rizal dan Rika sih sama sekali tidak keberatan, karena toh mereka tahu Aroha membutuhkannya, dan mumpung tidak sibuk juga jadi tidak ada alasan untuk menahan Aroha.
Aroha mengajak Alvar ke cafetaria, mempersilakan Alvar memesan apa pun menggunakan id card-nya untuk mendapatkan makanan. Itu cafetaria khusus untuk karyawan rumah sakit, dan transaksi yang digunakan menggunakan id card, maka dari itu Aroha memberikannya pada Alvar, mempersilakan suaminya menyicipi menu makanan rumah sakit yang biasanya Aroha makan.
“Pelan-pelan makannya, Sayang…" Alvar memperhatikan dengan khawatir.
Menyuapkan roti ke dalam mulutnya dalam gigitan yang cukup besar, membuat mulut Aroha kini dipenuhi dengan potongan roti yang berusaha dia kunyah. Kedua pipi Aroha menggelembung, terlihat lucu, tapi Alvar takut wanitanya itu tersedak karena terlalu semangat memakan roti yang Alvar bawa.
Pria itu mengulurkan tangannya, mengusap sudut bibir Aroha dan pipi wanitanya itu lembut untuk menyingkirkan serpihan-serpihan roti yang ada di sana. Sedikit-banyak Alvar merasa kasihan, miris, karena wanitanya ini tidak bisa menikmati makanan yang disukainya seleluasa sebelumnya.
"Aku tuh ngerasa nggak lapar dari tadi, tapi begitu lihat roti buatan kamu jadi tiba-tiba lapar."
“Habiskan dulu yang ada di mulut kamu, baru bicara.” Ucap Alvar, ketika Aroha membuka mulutnya padahal dia masih sibuk mengunyah.
Aroha menurut, menyelesaikan kunyahannya dan menelannya dulu sebelum bersuara.
“Gimana ini?” Gumam Alvar, lagi-lagi terpaku dengan Aroha yang memakan roti itu seperti orang yang kelaparan. Semalam pun Aroha seperti itu, menunjukan bahwa wanita itu memang belum mengisi apa pun selain apa yang Alvar sediakan untuknya.
“Hm?” Aroha menatap suaminya dengan sebelah alis terangkat, mendengar sekilas gumaman Alvar barusan.
“Saya cemas kalau kamu makan roti terus. Gimana kalau nutrisi, vitamin dan segala macamnya itu nggak terpenuhi. Saya yakin kamu lebih tahu soal itu dari saya, tapi… melihat kamu makan lahap cuma untuk roti yang saya buat, saya jadi khawatir.”
Lagi, Aroha menunggu mulutnya kosong terlebih dulu sebelum menanggapi. “Mas, ini baru dua hari aku makan roti, kenapa Mas udah cemas begitu? Aku baik-baik aja, dan mungkin besok atau lusa aku udah kepingin makan yang lain yang juga mungkin bisa aku makan.”
“Ya tapi gimana kalau kamu tetap nggak bisa? Gimana kalau—”
“Mas, jangan kalau-kalau… Jangan cemas buat sesuatu yang belum terjadi. Gimana pun aku akan berusaha untuk makan dengan benar kok, dan cukupin nutrisi buat bayi kita. Aku juga calon orang tua bayi kita, oke? Jadi aku nggak mungkin abaikan dia cuma karena aku merasa nggak bisa.”
Alvar setuju sih soal itu, tapi tetap saja itu tidak membuat Alvar tenang.
“Gimana kalau kita datangi Ibu aja? Mungkin kamu akan suka dengan makanan Ibu? Atau kamu mau sesuatu? Bilang aja. Saya akan berusaha cari atau buatkan sendiri untuk kamu, asal kamu makan dan kebutuhan nutrisimu dan yang lainnya terpenuhi.” Alvar berkata serius, dengan mimik dan intonasi yang tegas miliknya.
Melihat hal itu Aroha tersenyum, menutup kota makan yang Alvar bawa setelah menghabiskan dua potong roti bakar dari sana. Masih ada beberapa sebenarnya, tapi Aroha rasa dirinya cukup dengan apa yang sudah dia makan hari itu.