“Aku benar-benar masih nggak percaya kamu nolak tawaran suami kamu untuk istirahat aja di rumah. Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan dengan senang hati terima.” Rika berkomentar di tengah kunyahannya yang sedang menyantap cemilan di waktu-waktu senggang mereka.
Iya, beruntung memang hari itu mereka sedikit longgar, meski jangan pernah mengatakan hal itu dengan lisan karena biasanya itu akan menjadi kalimat yang diralat oleh kenyataan yang kemudian menghantam mereka sesaat kemudian.
“Rik, kamu serius bilang begitu? Kamu lupa apa profesi kita? Kamu pikir, kalau aku cuti dan berhenti selama itu akan membuat kemampuanku lebih baik? Buat aku, cuti 3-5 bulan aja udah cukup, dan itu akan aku gunakan ketika aku akan melahirkan ataupun setelah melahirkan nanti.”
Rika meringis, ya tidak salah juga sih yang dikatakan Aroha, tapi tetap saja, kalau Aroha berkeras begitukan rasanya seperti... “Kamu nggak kasihan dengan bayi-bayi kamu nanti? Orang-orang pasti akan mengatakan hal semacam itu, kan?”
“Yah, pasti. Tapi siapa yang peduli kata orang? Yang menjalani hidup aku, anak-anakku, yang merawatnya juga aku dan keluargaku. Terus kenapa aku harus mikirin apa kata orang? Aku juga butuh kewarasanku sendiri. Lagi pula sekarang banyak fasilitas yang bisa kita manfaatkan. Di rumah sakit ini sudah ada daycare untuk para karyawan, aku bisa menemui anakku kapan aja saat senggang meski aku ada kerja. Dan ada ayahnya yang akan menjaganya waktu aku memang nggak bisa. Semuanya bisa kita selesaikan kalau kita memang bekerja keras untuk itu, tinggal pintar-pintar kita mengaturnya aja.”
Suara tepukan tiba-tiba hadir ketika Aroha sedang menggebu mengemukakan pendapatnya, dan suara itu membuat Aroha serta Rika menoleh ke arah yang sama, ke arah datangnya suara tersebut.
“Wow, wow, wow. Bukan Aroha kalau nggak berkata sarkas seperti itu. Dan kamu, Rik. Kamu salah kalau mengangkat tema semacam itu sama Aroha, wanita itu jelas nggak akan ambil pusing sama sekali.”
“Mas Rizal...” Aroha melirik sinis, yang dibalas Rizal dengan pandangan polos.
“Apa? Memang ada yang salah dengan ucapanku?” Tanya Rizal balik yang jelas tidak bisa dibantah oleh Aroha. Pria itu adalah seniornya, dan memang tidak ada yang salah dengan ucapan seniornya itu.
“Jelas nggak ada, Mas. Dia cuma sedikit terganggu aja karena Mas Rizal gunain kata-kata sarkas sama dia. Karena biasanya dia yang selalu sarkas sama orang lain.”
“Rika!” Aroha melirik sinis ke arah temannya, memberikan tatapan ancaman.
Rika hanya melengos tidak peduli, lanjut memakan cemilannya di ruang khusus beristirahat para dokter dan staff itu, yang kadang juga dijadikan ruangan bergosip secara alami dan mengalir begitu saja.
“Aku penasaran bagaimana sikap Aroha sama suaminya? Apa suami kamu nggak kewalahan berhadapan sama kamu, Ar? Kamu bahkan menentangnya yang meminta kamu di rumah aja, kan?”
“Mas Rizal...”
“Iya, iya aku tahu jawaban pertanyaan keduanya. Jadi jawab aja yang pertama.”
“Apa yang harus aku jawab? Bukannya udah jelas itu karena suamiku cinta sekali sama aku makanya tahan dengan apa pun sikap yang kutunjukan padanya?”
Mendengar ucapan Aroha itu membuat Rizal dan Rika melengos dan pura-pura tidak mendengar apa yang Aroha katakan, dan Aroha tentu bisa melihat hal itu. “Apa itu? Kalian nggak percaya dengan apa yang aku bilang? Kalian bahkan nggak tahu apa aja yang bisa Mas Alvar lakuin untukku, kan? Kalian mau aku ceritain, huh? Mau? Aku—”
Aroha masih sibuk mengoceh dengan kedua rekannya yang tetap malas mendengarkan, hingga ponsel Aroha berbunyi dan memecahkan ucapannya yang panjang lebar itu.
“Mas Alvar?” Gumam Aroha, buru-buru mengangkat sambungan telepon itu dan menempelkannya ke telinga.
Dengan itu Aroha resmi berbalik mengabaikan kedua rekannya. Aroha, setiap kali menerima telepon dari suaminya akan selalu bersikap seolah lupa dengan sekitar, kecuali kalau yang mengintrupsinya adalah panggilan darurat atau kepentingan tugas, kalau itu Aroha pasti akan berbalik melupakan Alvar yang ada di seberang. Intinya, untuk sekarang ini hanya akan ada Aroha dan Alvar sementara waktu.
“Iya, Mas?” Suara Aroha begitu menempelkan teleponnya di telinga.
“Kamu di mana, Sayang?”
“Hm? Aku?” Pandangan Aroha mengedar ke sekitar, sempat bertemu tatap dengan Rika dan Rizal yang setelahkan kembali Aroha abaikan.
“Iya, saya ada di ruang emergency tapi sepertinya nggak melihat kamu di mana pun.”
Aroha seketika terlihat lebih bersemangat dan bertenaga mendengar ucapan suaminya itu. “Mas ada di sini? Di rumah sakit?” Seru Aroha jelas sekali terdengar antusias.
“Iya, saya ada di sini, di rumah sakit. Jadi bisa temui saya sebentar? Kamu nggak lagi sibuk, kan? Karena kalau kamu sibuk atau dalam situasi darurat kamu pasti nggak bisa jawab telepon saya kayak gini.”
“Hm! Nggak, kok! Aku nggak sibuk. Aku ke sana sekarang, ya? Mas tunggu di situ, aku ke sana segera!” Ucap Aroha, menyambar jas putih dokternya yang semula dia sempat lepas dan berjalan melewati kedua rekannya yang menatap Aroha dengan dahi berkerut melihat kepergian wanita itu dari sana.
“Hei, hei. Pelan-pelan, oke? Saya akan tunggu di sini dan nggak akan ke mana-mana. Jadi kamu nggak perlu terburu-buru atau lari? Ingat ada anak kita di dalam perut kamu, Aroha.”
Mendengar suara dan ucapan suaminya masih dalam sambungan telepon, Aroha malah senyum-senyum sendiri. Alvar ini, kenapa bisa sekali melelehkan hati Aroha dengan kalimat sederhananya seperti itu? Ah, atau Aroha saja yang terlalu mudah merasa tersanjung karena ucapan Alvar? Ya tidak masalah juga sih, mereka kan sudah suami-istri, jadi tidak ada yang salah dengan itu.
“Aroha? Kamu nggak benar-benar lari, kan?”
Aroha tersadar dari lamunannya ketika Alvar kembali berusara di seberang. Ini bahaya, Aroha rasanya akan semakin menjadi pihak yang lebih mencintai Alvar dibanding pria itu sendiri. Padahal Aroha tidak tahu saja sebucin apa suaminya itu.
“Nggak, Mas. Aku jalan kok ini. Sungguh. Aku tadi ada di ruang istirahat, dan itu nggak jauh. Sebentar lagi sampai, tunggu ya...”
Dan benar saja, setelah beberapa belokan lorong rumah sakit, Aroha sudah bisa melihat Alvar yang berdiri di antara orang-orang yang berlalu-lalang di sana dan paling mencolok menurut Aroha. Paling mencolok ketampanannya.
“Ah, saya lihat kamu.” Alvar justru mengucapkan hal itu lebih dulu meski yang melihat sebenarnya Aroha lebih dulu, tapi karena saking terpesona dengan ketampanan dan kegagahan suaminya sendiri, Aroha jadi lupa diri.
Alvar memutuskan sambungan telepon di antara mereka setelah mereka akhirnya berhadapan. Mata Aroha lurus menatap ke wajah Alvar, tidak ke mana pun bahkan tidak terganggu dengan apa pun. Wanita itu tersenyum segaris bibir, terlihat sekali menikmati memandang wajah suaminya.
Apa ini? Kenapa Aroha merasa Alvar makin tampan dan menawan. Tidak, jangan salah sangka, bukannya Aroha tidak merasa seperti itu sebelumnya. Hanya saja hari ini entah mengapa aura Alvar itu berkali-kali lipat bertambah di matanya. Padahal dengan kadar yang biasa saja Aroha sudah dibuat kelepek-kelepek oleh Alvar.
“Aroha? Sayang?”
“Hm? Ah, ya. Ada apa? Kenapa Mas ke sini? Ada rekan Mas Alvar yang kebetulan terluka atau di rawat di sini?”
Alvar yang sadar bahwa posisi mereka berdiri bisa saja menghalangi orang lewat, menarik tangan istrinya itu, menepi bahkan mempersilakan Aroha duduk di kursi tunggu yang tersedia di sana.
“Nggak. Saya ke sini bukan karena ada yang sakit atau terluka, saya ke sini memang sengaja buat ketemu kamu.”
“Hm?”
Entah dari mana, yang pasti Aroha tidak sadar sebelumnya bahwa suaminya itu membawa sesuatu di tangannya. Tentu saja, bagaimana Aroha bisa sadar? Kalau matanya hanya tertuju ke arah wajah suaminya saja.
Well, kembali pada sesuatu yang Alvar bawa. Pria itu meletakannya di pangkuan Aroha, membuat Aroha akhirnya beralih menatap benda itu di sana lalu memandang Alvar kembali dengan tatapan tanya.
“Saya buatkan roti bakar seperti semalam. Saya takut kamu nggak bisa memakan apa pun lagi hari ini, itu kenapa saya buatkan. Semoga ini berefek sama kayak semalam ya? Saya nggak mau kamu pulang dengan keadaan lapar seperti kemarin.”
Ya Tuhan, bagaimana Aroha tidak membanggakan suaminya ini di depan rekan-rekannya? Lihat saja apa yang sudah Alvar lakukan. Membuat Aroha ingin semakin menyombongkannya saja, kan?!