“Kamu yakin nggak mau istirahat aja selama hamil, Ar? Ibu lihat dari sini sekarang kamu nggak kelihatan baik-baik aja. Lihat itu lipatan di bawah mata kamu, kamu pasti kurang tidur, kan? Dan udah jam berapa ini? Penampilan kamu masih begitu padahal suamimu udah rapih mau berangkat kerja.” Sang Ibu berkomentar dari layar video call yang akhirnya memang mereka lakukan karena kekeraskepalaan Alvar.
Aroha meringis, melirik suaminya di samping yang telak terdiam. Aroha bisa melihat perubahan raut di wajah Alvar ketika mendengar ucapan ibunya, kontradiksi antara ekspresi yang pertama dan yang selanjutnya. Seperti Alvar mendukung dan setuju dengan kalimat di awal yang ibunya sampaikan, namun tidak setuju dengan yang mertuanya itu singgung di akhir.
“Ibu, Mas Alvar aja nggak pernah permasalahin mau penampilanku kayak apa, kenapa Ibu yang malah lebih permasalahin soal itu? Lagi pula di mata Mas Alvar aku ini selalu memesona, Bu. Nggak harus selalu berpenampilan rapih atau cantik kayak yang Ibu maksud, toh Mas Alvar udah cinta mati sama aku. Iya nggak, Mas?”
Tanpa Alvar duga, Aroha benar-benar langsung melibatkannya dalam perang argument Ibu dan anak itu. Tapi tentu saja, tanpa Aroha katakan pun, sebenarnya jawaban Aroha itu juga yang ada di dalam hati Alvar sejak tadi, itu juga sebabnya kenapa Alvar tidak setuju dengan kalimat ibu mertuanya tadi.
Well, Alvar menikahi Aroha untuk baik dan buruknya, untuk sehat dan sakitnya, dan untuk apa pun itu yang ada di dalam diri Aroha, jadi jika perkara penampilan di pagi hari atau kapan pun itu dipermasalahkan, di mana letak janji Alvar saat menikahi Aroha dulu?
“Aroha, kamu ini...”
“Apa yang Aroha bilang itu benar, Bu. Jadi Ibu nggak perlu khawatir kalau soal penampilan Aroha, Saya sudah cinta mati sama putri Ibu ini, mau penampilannya seperti apa pun saya nggak masalah. Dan ah, bukan itu juga yang sebenarnya mau kami sampaikan pada Ibu, tapi—”
“Aku bilang juga apa, mending nanti saja kabari Ayah dan Ibu. Mas sih ngebet banget mau dapat dukungan dari Ayah dan Ibu.”
Nah, sekarang, bukannya fokus dengan orang tua mereka kedua pasangan muda itu malah berdebat berdua.
“Hah? Apa maksudnya itu? Jadi kamu rencananya akan mengabari Ayah dan Ibu nanti-nanti begitu? Menunggu Ibu dengar kabar dari orang lain atau bagaimana? Kamu ini, kalau ada kabar baik itu ya harus segera kabari Ayah dan Ibu. Enak aja disimpan sendiri.”
Aroha meringis, pembicaraan ini benar-benar menjadi melebar kemana-mana.
“Bu, bukan begitu maksudku. Aku—”
“Iya kan, Bu? Itu kenapa saya paksa Aroha untuk mengabari Ayah dan Ibu sekarang juga. Karena Aroha berkeras mau mengabari Ibu nanti-nanti aja.”
“Mas!”
Ish, benar-benar. Ada apa dengan suaminya ini? Kenapa jadi tukang adu ke orangtuanya begini?
“Iya? Kenapa begitu, Nak Alvar? Kenapa Aroha bilang akan mengabari kami nanti-nanti aja?”
"Itu sebenarnya karena pagi ini saya bilang pada Aroha untuk istirahat selama hamil sampai nanti melahirkan, Bu. Seperti yang Ibu katakan tadi, saya juga setuju soal itu. Tapi Aroha justru bilang—"
"Mas, Bu... Aduh gimana aku bisa buat kalian ngerti? Ayah, tolong jelasin sama Ibu, aku jelas nggak bisa cuti kerja selama itu, kan? Lagi pula setelah melahirkan, bukan jaminan kalian juga akan ngizinin aku untuk kembali kerja secepatnya, pasti akan ada alasan-alasan lain yang akan kalian gunakan untuk cegah aku. Itu kenapa aku nggak mau membiasakannya. Aku mampu, Bu. Aku yakin Ibu juga tahu, aku yakin ibu juga bisa ngerti karena Ibu pernah mengalaminya. Hamil bukan berarti kita nggak bisa lakuin apa pun, kan? Di luar sana bahkan banyak ibu-ibu hamil lain yang pekerjaannya lebih berat dari aku kok, dan buktinya mereka baik-baik aja." Aroha akhirnya bicara panjang-lebar, berharap kedua orang yang bersikukuh dengan pendapat mereka itu bisa mengerti.
"Aroha benar, Sayang. Kamu juga dulu waktu hamil Aroha kan suka bosan kalau aku minta untuk nggak melakukan apa pun, pada akhirnya kamu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah meski aku larang, dan Aroha baik-baik aja, bahkan tumbuh jadi Aroha yang keras kepala seperti sekarang. Kita ambil saja kesamaannya, pekerjaan rumah dan pekerjaan Aroha sekarang jelas sama-sama melelahkan. Kamu sendiri loh yang bilang dulu, jangan meremehkan wanita hamil, wanita itu adalah mahluk paling kuat di beberapa sisi dibandingkan pria. Aku masih ingat sekali ucapan kamu dulu itu." Adam akhirnya bicara setelah sejak tadi hanya menyimak, membungkam Alvar dan Revana yang sebelumnya dalam kubu yang berseberangan.
Aroha mengangguk-angguk semangat setuju dengan perkataan ayahnya di seberang sana. Yah, meski dalam beberapa kalimatnya ada kata yang ingin sekali Aroha ralat atau ajukan protes tadi, tapi mari lewatkan bagian itu karena dari keseluruhan kalimat yang Ayah sampaikan toh sang Ayah berada di pihaknya. Dan semoga, semoga dengan ultimatum dari ayahnya satu pihak yang berada di kubu seberang bisa paham sepaham-pahamnya dan tidak memperpanjang lagi masalah hal ini.
"Aku tahu kalian khawatir pada Aroha, aku pun begitu. Kalian juga pasti sangat senang dan bersemangat dengan kabar kehamilan Aroha ini, aku pun sama. Tapi mari kita realistis, Alvar, dan kamu juga Sayang." Ucap Adam beralih dari Alvar yang ada di layar pada istrinya yang duduk di samping. "Mari posisikan lagi diri kita dari sudut pandang Aroha, kalian juga pasti nggak akan suka kan kalau dilarang melakukan apa pun? Selama 9 bulan? Bahkan ditambah setelah melahirkan nanti?"
Pada akhirnya Alvar tetap kalah, meski niat awalnya ingin memperkuat argumennya dengan bantuan kedua mertuanya, ternyata justru ayah mertuanya yang bisa menanamkan pengertian itu di kepala Alvar juga ibu mertuanya yang kebetulan satu kubu dengannya tadi.
Well, apa yang dikatakan Ayah mertuanya memang benar, dan bukan sesuatu yang bisa dibantah juga. Kalau memikirkan dari posisi Aroha, Alvar pelan-pelan bisa memahami, bahwa memang rasanya pasti tidak enak sekali dilarang ini-itu dalam waktu yang lama. Alih-alih menginginkan Aroha istirahat, keinginan Alvar justru bisa membuat Aroha stress karena memaksakan kehendaknya, kan?
"Jam berapa kamu berangkat kerja nanti?" Alvar akhirnya kembali bicara setelah pembicaraan dengan kedua mertuanya selesai dari sambungan.
Pria itu sudah siap berangkat kerja, kali ini benar-benar sudah siap karena mereka kini sudah berada di depan pintu keluar apartemen dengan Aroha yang mengantar Alvar sampai di sana.
"Hhm, sekitar jam 11. Aku masih bisa tidur beberapa jam setelah kamu pergi nanti."
Alvar mengangguk-angguk mengerti. "Lalu gimana kamu mau pergi ke rumah sakit nanti? Kamu mau saya jemput dan antar kamu sampai rumah sakit? Kalau kayak gitu biar saya—"
"Masss... Cukup oke? Ini sudah benar-benar berlebihan loh. Nggak ingat apa yang Ayah bilang tadi? Aku bisa melakukannya sendiri, masih bisa melakukannya sendiri. Dan kalau kamu nggak mau aku mengemudi, biar aku gunakan taksi, oke? Kamu nggak perlu repotin diri kamu dengan melakukan apa yang nggak perlu dan malah melalaikan pekerjaanmu."
Melihat Alvar yang diam dan lesu setelah mendengar ucapan Aroha membuat Aroha jadi merasa bersalah, karena hari ini dirinya jadi lebih banyak menentang keinginan pria itu padahal maksud suaminya itu baik.
Aroha menarik napasnya, melangkah mendekat ke arah Alvar dan meraih kedua tangan Alvar lalu menggenggamnya lembut. “Tolong percaya pada kami, Ayah... Kami akan baik-baik aja. Aku dan Ibu akan baik-baik aja.” Ucap Aroha dengan suara yang sangat manis, memposisikan dirinya sebagai calon bayi mereka yang masih berada di dalam perut Aroha.
Dan yah, itu berhasil untuk Alvar. Pria itu tidak bisa menahan senyumnya, seketika hatinya merasa berbunga dengan panggilan baru yang terucap dari mulut Aroha itu. Pria itu menarik Aroha ke dalam pelukannya, mendekap erat wanitanya itu dengan segenap rasa sayang dan cinta.