2. Kabar Mengharu Biru

1229 Words
“Kamu kelihatannya lapar sekali, mau saya buatkan lagi?” Tanya Alvar, bersuara setelah beberapa menit hanya diisi dengan keheningan dan kunyahan Aroha yang lahap memakan roti bakar buatan suaminya. Wanita itu masih mengunyah dan berusaha menelan ketika Alvar bertanya, hingga mendorong roti yang berada di dalam mulutnya dengan s**u yang juga Alvar buatkan. Wanita memaksa mendorong makanan di mulutnya dengan cairan agar bisa segera membalas ucapan Alvar. “Pelan-pelan, Sayang. Pelan-pelan. Saya nggak akan ke mana-mana. Saya akan tunggu kamu sampai selesai ngunyah kok. Jadi jangan buru-buru begitu makannya.” Alvar mengulurkan tangannya, mengapus remahan roti bakar di samping bibir Aroha sambil benar-benar menunggu agar wanita itu dapat bicara dengan leluasa. “Boleh? Boleh aku minta buatkan satu potong lagi?” Alvar tersenyum, tangannya yang berada di sudut bibir Aroha lantas beralih mengelus pipi istrinya yang menatap dengan polos ke arahnya dengan sorot penuh minat. Tawaran itu tentu saja tidak akan Aroha lewatkan. “Tentu boleh. s**u-nya juga mau lagi?” Tanya Alvar sebelum beranjak dari kursinya. Aroha mengangguk dengan semangat, yang dibalas Alvar dengan tepukkan di kepala wanita itu pelan sambil mengucapkan kata “Tunggu, ya.” yang terdengar sangat lembut. Di kitchen set, tepatnya di depan kompor, Alvar yang mulai menyiapkan roti bakar menjadi pusat perhatian Aroha di meja makan yang masih mengunyah sisa rotinya. “Nggak biasanya kamu makan tengah malam begini, bahkan sebenarnya ini udah lewat tengah malam. Biasanya kalau pulang kamu akan langsung milih langsung tidur bahkan kadang tanpa harus merasa perlu mandi.” Mendengar ucapan Alvar, Aroha sedikit cemberut. Wanita itu tahu suaminya tidak bermaksud untuk menyinggungnya atau apa, hanya saja... “Eh, maaf. Saya nggak bermaksud—” Alvar yang saat itu menoleh ke arah Aroha karena Aroha tidak menyahut melihat perubahan raut wajah wanitanya itu. “Aku tahu Mas nggak bermaksud untuk menyinggungku atau apa, aku ngerti kok. Jadi Mas nggak perlu minta maaf.” “Tapi kamu...” “Awas rotinya gosong, Mas...” Keluh Aroha, melongok kompor yang Alvar belakangi hingga menyadarkan pria itu agar tidak memfokuskan dirinya pada Aroha dan menyelesaikan kegiatannya itu lebih dulu. Pada akhirnya di antara mereka kembali diam, sampai Alvar menyelesaikan tugasnya membakar roti dan menyajikannya ke hadapan Aroha dan mempersilakan wanita itu untuk menyantapnya meski dengan raut wajah yang bergurat menyesal. Tentu saja karena apa yang dikatakannya tadi. “Terima kasih.” Ucap Aroha, begitu Alvar menyodorkan satu piring lain yang berisi roti bakar di atasnya, tidak lupa dengan satu gelas s**u putih hangat juga tentunya. Alvar sengaja memberikan s**u hangat itu pada Aroha, agar istrinya itu bisa tidur dengan nyenyak setelah ini. “Sebenarnya itu juga yang ingin aku sampaikan sama Mas Alvar sih.” “Hm?” “Ya... soal kenapa aku kayak orang kelaparan tengah malam begini. Itu, ada hubungannya sama apa yang terjadi di rumah sakit hari ini.” Dahi Alvar berkerut, membiarkan Aroha menyantap makanannya pelan-pelan dan memilih untuk menunggu kapan wanita itu siap bicara, dari pada Alvar salah bicara lagi. Karena sebenarnya Alvar cukup kaget dan merasa Aroha sedikit aneh hari ini. Bagaimana mengatakannya, ya? Mungkin jika bisa dijelaskan dengan sebuah kata, Aroha hari ini terasa “sedikit sensitif” tapi Alvar segera mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya, sebab Alvar pikir mungkin itu perasaannya saja karena ini sudah larut malam dan Aroha pasti sangat lelah. Jadi hal seperti tadi itu wajar saja terjadi—mungkin. “Ini makanan pertamaku hari ini—ah nggak, kemarin maksudku.” “Apa? Jadi kamu nggak makan seharian kemarin?” Aroha meringis, sudah sedikit mengantisipasi reaksi Alvar itu sebenarnya. “Nggak benar-benar nggak makan seharian sebenarnya, aku makan, dengan kamu sarapan kemarin…” “Aroha.” Ya, ya. Tentu saja Aroha paham itu nada peringatan. Dan suaminya saat ini benar-benar tengah dalam mode serius. “Aku nggak napsu, Mas. Apa pun yang mau masuk ke mulut bikin aku mual. Bahkan meski aku coba untuk isi dengan roti yang aku beli di mini market.” Wajah Aroha benar-benar terlihat memelas saat ini, karena Alvar yang duduk di hadapannya terlihat sedikit kesal pada wanita itu. Tahu bagaimana pria seperti Alvar kesal? Tidak ada banyak yang berubah dari wajah Alvar memang, ya begitu-begitu saja, datar dan serius. Tapi auranya ituloh, auranya itu yang membuat Aroha menciut. “Aku nggak tahu, ya seenggaknya sampai malam tadi aku nggak tahu. Dan sekarang aku juga nggak tahu kenapa roti buatan kamu justru bisa aku makan dengan lahap sekarang ini. Ah, mungkin aku tahu alasannya tapi mungkin juga sebenarnya nggak.” “Aroha...” Lagi, nada peringatan. Aroha sadar penjelasannya tidak membantu dan menjawab pertanyaan yang ada di kepala Alvar. Wanita itu sadar sepenuhnya dia mungkin terkesan berputar-putar atau semacamnya. Hanya saja, entahlah, mungkin karena grogi, karena cemas, atau karena faktor lain yang membuat Aroha memutar-mutar pembicaraannya terlebih dulu sebelum memberitahukan yang sebenarnya. Tapi agaknya sudah cukup, Aroha tidak ingin membuat suaminya menjadi lebih bingung. Itu kenapa akhirnya Aroha berdiri dari kursinya, berjalan dan mengambil tas yang tadi Aroha pakai bekerja dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas itu sebelum kembali ke meja makan dan berhadapan dengan Alvar. Di tangan Aroha kini terdapat satu amplop putih yang Alvar tidak tahu berisi apa, tapi melihat wajah Aroha yang tegang dan jadi ikut serius sedikit membuat Alvar cemas dengan apa yang sebenarnya hendak wanita itu sampaikan. “Apa?” Alvar bertanya ketika Aroha mengulurkan amplop putih itu padanya, tidak langsung pria itu terima, Alvar masih terbawa perasaan was-wasnya sepertinya. Padahal biasanya pria itu termasuk sosok yang tenang, tetap berusaha mengendalikan perasaannya jika sesuatu yang itu belum jelas atau pasti. “Buka aja, please.” Pinta Aroha, dengan berusaha menunjukan senyumnya meski masih terlihat canggung. Alvar masih ragu, menatap wanitanya lurus namun akhirnya mengambil amplop putih itu dari tangan Aroha. Pria itu pun membuka amplop itu dalam diam, dengan Aroha yang memperhatikan cermat dan menunggu sambil mengigit bibirnya. Wanita itu benar-benar tidak tahu reaksi atau respon macam apa yang akan suaminya tu perlihatkan dengan kabar yang dibawanya tengah malam begini dengan atmosfir di antara mereka yang sebelumnnya terasa lebih sensitif. Membuka dan membaca setiap bari dalam kertas di tangannya itu dengan cermat, Aroha bisa melihat perlahan tangan Alvar bergetar dengan mata yang masih terarah ke barisan kata di atas kertas itu. “M-Mas?” Suara Aroha takut-takut, wanita itu khawatir sebenarnya. Menurutnya Alvar sudah cukup lama rasanya untuk menyelesaikan membaca tulisan di kertas itu, tapi suaminya tidak juga mengangkat wajahnya dari sana, atau mengatakan apa pun dengan mulutnya. Barulah, setelah Aroha memanggilnya, kepala Alvar akhirnya kembali terangkat dan terarah pada Aroha dengan sorot mata—em... bagaimana menjelaskannya? Entahlah, Aroha juga tidak tahu, tapi perasaan Aroha ketika melihatnya jelas campur aduk, wanita itu bahkan rasanya tiba-tiba ingin menangis. “I-ini benar?” Aroha mengangguk. “Tentu, mana mungkin aku main-main tentang hal ini, kan?” Alvar kemudian bangkit dari kursinya, melangkah menuju Aroha dan langsung memeluk wanitanya itu erat. “Maaf, maafkan aku, Aroha. Dan terima kasih, terima kasih karena kamu lagi-lagi mewujudkan salah satu impian terbesar saya.” Bisik pria itu haru, dan tanpa Aroha sadari apa yang dirinya bawa sudah membuat Alvar menangis karenanya. “Terima kasih karena udah membuat saya menjadi calon Ayah, dan semoga dengan lancar menjadi seorang Ayah yang sesungguhnya.” Aroha tersenyum, membalas pelukan Alvar dan ikut menangis karenanya. “Terima kasih juga, Mas. Karena udah kasih aku kesempatan untuk bisa menjadi wanita luar biasa di dunia ini yang disebut Ibu.” Ucap Aroha tulus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD