Saat makan siang, Alana meminta Omar untuk ber-swafoto berdua untuk diunggah di media sosialnya. Omar tampak bingung dengan keanehan Alana yang biasanya tidak pernah mengunggah kehidupan pribadinya di media sosial. Melihat Omar tampak bingung, Alana memegang tangan Omar memberi pengertian.
"kita harus mengumumkan pada dunia, kalau kita sedang berpacaran" bisik Alana mengemukakan idenya
"tujuannya?"
"ya biar dunia tahu kalau kita sudah punya pilihan, terus dunia sungkan buat ngasih kita pilihan lain" Jawab Alana
"menurutmu, dunia bakal maklum? gimana kalau dia tetap memaksa?" ucap Omar menyangsikan ide Alana
"setidaknya kita berusaha dulu" Alana tetap optimis menekan tombol kamera di telepon pintarnya
"senyum, Omar!" Alana berbicara dengan senyum pepsodent tanpa menggerakkan giginya.
Omar menurutinya
"lagi!"
Omar menurutinya
"sekali lagi!"
lagi-lagi Omar menurut
"udah?" ucap Omar
"belum, sekali lagi ya, Please!"
"okee" Omar berpose malas dan terpaksa
"bagus" kata Alana senang
"kamunya aja bagus, lihat akunya!" Omar protes dengan muka malasnya yang tampak sayu
"biarin asal akunya cantik, wlee" Alana meledek
"Omar, aku sengaja minta foto berdua, karena aku ingin mendapatkan validasi publik untuk hubungan kita" ucap Alana saat memilah mana foto yang akan diunggah
"untuk apa validasi itu?" Omar meneruskan makan siangnya, saat itu dia memesan nasi padang di kaki lima
"untuk pembelaan diri nanti, misal ada apa-apa" jawab Alana
"yang ini ya? kamu cakep kok" Alana meminta persetujuan
"Alana...!" potong Omar
"ya" sambil sibuk memikirkan catatan apa yang harus ditulis untuk unggahan fotonya
"kenapa"
"kenapa apanya?" jawab Alana masih fokus dengan media sosialnya
"untuk apa ini? ada masalah apa?" Omar mendesak Alana, karena ia tahu Alana tidak sekedar iseng dalam melakukan sesuatu
"kemarin, mama pulang dari luar kota" Alana menutup dan meletakkan gawainya
"lantas?"
"mama beri aku oleh-oleh, tas branded harganya ratusan juta" Alana datar dan menarik napas dalam - dalam lalu melanjutkan permisnya
"kutanya, untuk apa mama beli tas semahal ini? lalu mama menjawab ini semua dibelikan Nic. Nic, seperti biasa dia selalu tahu celah mama. Itu belum seberapa, Omar, Mama bilang juga mereka sudah menentukan rencana untuk,..." Alana berhenti menyiapkan mental, menarik napas dan menghembuskan napas berkali-kali
"untuk?" Omar menunggu lanjutan cerita Alana
"untuk melamarku, minggu depan"
"ha ha ha"
"kamu ketawa, Mar?"
"aku harus apa, Alana" Omar melanjutkan tawanya
"Nic mau melamarku, Omar. dan kamu tertawa?" Alana merasa sangat kesal dengan sikap Omar yang sangat menyepelekan
"Alana, kamu yakin sama aku?" tanya Omar serius
"kamu mau apa?"jawab Alana dengan wajah yang masih kesal
"kamu yakin sama aku?" Omar mengulangi pertanyaannya
"ya, aku yakin. sekarang kamu mau apa?" Alana menantang
"ikut aku" ajak Omar beranjak menuju motoe vespanya
"ke mana?" tanya Alana
"kamu percaya sama aku, kan? kamu yakin sama aku, kan?" Omar kembali memastikan
"iya, tapi mau kemana?" Alana berjalan tergesa gesa mengimbangi kecepatan jalan Omar yang menggandeng tangannya
"ikut aja!" Omar memaksa
Sepanjang jalan Omar bercerita macam-macam, mulai dari kisah masa kecilnya yang katanya ia suka tidur di angkot sampe diajak muter-muter sama mamang angkotnya sampai putaran kembali dia belum bangun. Dia sering bangun telat dan malas mandi pagi karena dingin, terus dia mandi di sekolah nunggu agak siangan.
"ada ga prestasi yang lebih membanggakan, Mar?" tanya Alana
"ada, aku pernah ngumpul tugas pertama sebelum dateline"
"wah keren banget" sahut Alana
"iya, soalnya aku salah jadwal. kukira hari itu hari Kamis terakhir ngumpul, ternyata masih Rabu. Tapi ga papa, aku jadi punya sesuatu yang membanggakan,, bangga ga?" Omar meminta validasi
"bangga bangga" Alana menganggukan kepalanya dan mengacungkan jempol
Perjalanan dua jam ditempuh dengan bahagia. Motor Omar terparkir di depan sebuah rumah megah dengan halaman yang sangat luas, terdapat aneka macam pepohonan, buah-buahan, dan beberapa saung untuk penjaga rumah.
"rumah siapa, Mar" Alana memutari kepalanya untuk melihat sekeliling rumah itu
"katanya kamu yakin sama aku, aku mau kenalin kamu ke ibun sama ayah" Omar menggandeng Alana yang masih terpana dengan kemegahan dan keasrian rumah Omar. Alana heran karena selama ini dia sama sekali tidak menyangka kalau Omar adalah anak orang kaya.
"ibun, .. lihat ni siapa yang lagi aku gandeng" Omar menyapa ibunya memamerkan Alana yang malu - malu
"halo sayang" sapa wanita paruh baya yang sedang sibuk dengan tanaman hiasnya
"halo tante" Alana menyapa ragu
"ibun, panggil saya ibun saja" ibu Omar mencuci tangannya untuk segera menyambut kedatangan tamu istimewa itu.
"siapa ini?" bisik Ibu Omar pada Omar
"calon mantu, ibun" jawab Omar
"cantik"
"iya"
"namanya siapa" Ibu Omar masih berbisik kepada Omar
"nama saya Alana, tante, eh ibun" jawab Alana yang sedari tadi mendengar mereka berbisik
"loh kamu denger?" tanya Ibun
"masuk yuk masuk. Capek ya naik motor? Omar ini kalo di rumah aja manja banget sama Ibun, tapi kalau di luar rumah, hemm boro - boro mau manja, ngakuin kita sebagai orang tua aja engga" Ibun mengutarakan curahan hatinya pada Alana
"la kenapa, bun" tanya Alana heran
"katanya mau jadi diri sendiri, biar ga bawa - bawa nama keluarga. Omar tu susaaah banget dibilangin, Al. kamu kok mau - maunya sama anak begajulan kaya gini" Ibun menjewer telinga Omar
"di Ha Pe mu ada MAP, kan?" tanya Ibun poda Omar
'ada, Ibun" jawab Omar singkat
"gitu kenapa kamu jarang pulang" Ibun kembali memukul badan Omar bertubi - tubi sampai Omar minta ampun dan mengancam melaporkan Ibun ke Kak Seto
"Al, tolong lapor ke Kak Seto, ada KDRT di rumahku" adu Omar sambil terus menghindari pukulan Ibunnya
Alana hanya tertawa melihat pemandangan yang sangat hangat. "Hangat sekali keluarga ini" batin Alana
dari jauh Alana melihat ada laki - laki berperawakan tinggi besar dengan hidung mancung dan alis tebal, dari posturnya tidak bisa dielakkan bahwa dia adalah keturunan Timur Tengah.
"ada apa ini, berisik sekali" ucap laki - laki itu dengan wajah yang sangat seram, seketika semuanya diam
"siapa ini?" mata laki - laki itu menatap Alana dengan tajam membuat Alana menelan ludah karena tegang
"saya Alana, Om. temennya Omar" Alana mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Dilihatnya secara bergantian dari tangan Alana kemudian wajah takut Alana. Pria itu menerima jabatan tangan Alana dan memperkenalkan diri
"saya ayahnya Omar. panggil saja AYAH, saya ga suka dipanggil om" ucap laki-laki tua dengan kaos oblong bergambar Taylor Swift
"b- baik, Om, eh, ayah" ucap Alana bingung antara takut atau lega
"cantik" ucap Ayah Omar pada Ibun
Alana bernapas lega karena ternyata laki - laki ini tidak seseram kelihatannya
"kukira kamu itu bodoh dalam segala hal, ternyata kamu pinter milih cewek" ucap Ayah Omar kepada anaknya
"iya, dong. anak siapa dulu" jawab Omar
"kalau masalah begini, kamu anak ayah" Ayah Omar mengulurkan tangannya untuk beradu tos dengan Omar. Mereka terlihat sangat kompak dan hangat.
"Ayah, aku rindu ayah" ucap Alana dalam hati
* * *
Jamuan makan malam disiapkan di meja panjang yang lumayan panjang untuk ukuran meja makan keluarga. "memang ada berapa orang yang akan makan di meja sepanjang ini?" batin Alana kagum
"di sini ada 14 asisten rumah tangga yang membantu ibun mengurus rumah ini. Jadi, jika ada acara spesial seperti ini setelah kita makan, dan mereka selesai bekerja, mereka akan makan bersama di sini." Ibun menjelaskan
"apa Ibun juga bisa membaca isi hatiku?" Alana merasa malu jika Ibun bisa mendengar apa yang dikatakan hatinya itu
Di tengah - tengah makan, Omar membuka pembicaraan yang serius/
"Ayah, Ibun, .." Omar menghentikan percakapannya
Alana tidak sabar menunggu lanjutan Omar.
"aku mau nambah nasinya dong, bun" lanjut Omar mengulurkan piring ke arah Ibun
Alana memutar bola matanya, kesal.
"makasih, Ibun"
"Alana mau nambah, nak? sini Ibun tambah lagi ya?"
"eh engga, Ibun Alana kenyang"
"jadi, kapan kalian mau nikah?" Ayah membuka pembicaraan
"secepatnya, yah" jawab Omar
"kapan?" desak Ayahnya
"besok aku datang ke rumah Alana"
Alana hanya terdiam saja tidak ingin mengikuti pembicaraan keluarga Omar, meskipun yang dibicarakan adalah dirinya.
"kamu siap, Alana?" tanya Ibun pada Alana
"Insya Allah siap, Ibun" jawab Alana yakin
"kamu bahagia dengan Omar?" pertanyaan Ibun langsung menampar hati Alana, bagaimana tidak, belum pernah sekalipun Mama Shinta menanyakan perasaan Alana
"aku sangat bahagia, Ibun. Terima kasih sudah diterima di sini, Ayah, Ibun" Alana sangat terharu
"Alana tu designer lo, Ibun, Ibun pasti bakal minta aneh - aneh kalo tau kamu bisa desain baju" kata Omar
Obrolan malam itu terasa sangat hangat dan mengalir, diikuti dengan celetukan - celetukan yang membuat Alana terpingkal - pingkal. pukul 21.00 Omar berpamitan mengantarkan Alana pulang.
"hati - hati, sayang. salam buat mama" ucap Ibun mengecup kening Alana
" iya, Ibun. terima kasih ya Ibun"
"ayah, terima kasih ya, Alana pamit pulang dulu" Alana mencium tangan ayah Omar
* * *
pukul 23.00 Alana sampai di rumah. Omar berpamitan.
"dari mana?" ucap Mama Shinta mengejutkan Alana
"mama belum tidur?"
"sudah berapa kali mama bilang? jauhi berandal itu, sampai kapanpun mama tidak akan setuju kamu dekat - dekat dengan laki- laki berandal macam dia. kamu ini mama sekolahin tinggi - tinggi, agar kamu sukses, hidupmu enak, dapet keluarga yang layak. bukan dia Alana, bukan berandal seperti dia tapi Nicholas. Nic yang sudah jelas - jelas mencintaimu."
"Ma, ang berandal itu Nic, bukan dia, buka Omar, maa" Alana membantah
plakkk.. tamparan Mama Shinta mendarap ke pipi Alana.
"masuk kamar!" perintah Mama Shinta pada Alana yang menangis
Alana berlari masuk ke kamarnya dengan kekesalan terhadap mamanya.
"mama jahat, ayah" adu Alana pada foto ayah yang terpajang di meja kamarnya
* * *
"selamat pagi, ma" sapa Alana kaku
"lusa, keluarga Nic mau datang" ucap Mama Shinta datar
"loh kok lusa si, ma" protes Alana
"kami berubah pikiran, saya rasa lebih cepat lebih baik, karena sudah tidak ada yang perlu ditunggu lagi" ucap Mama Shinta
"tidak ada bantahan, atau kamu mau Mama kurung di kamar" lanjut Mama Shinta
Alana sudah tidak bisa berpikir jernih. Namun Alana tidak boleh gegabah. Dia harus memikirkan strategi yang pas untuk memberikan penolakan atas rencana ini.
"Omar harus tahu ini" hal pertama yang dipikirkan Alana