Alana membaringkan diri di ranjang, menarik napas dalam-dalam mengingat kembali apa kata-kata yang diucapkan Omar tadi siang, sore, dan malam. Ia juga teringat kata-kata Omar kemarin, selumbari, dan percakapan sejak Alana bertemu dengan Omar beberapa bulan terakhir. Dibayangkannya Alana berada pada saat itu dan direvisinya jawaban-jawaban yang seharusnya ia lontarkan atas kata-kata Omar. Dalam khayalan, Alana tampak fasih berdebat, berbeda saat bertemu langsung dengan Omar, Alana menjadi bisu, terpaku, atau terpana?
Omer menceritakan bahwa Alana wanita ke sembilan setelah delapan nama-nama yang Omar coret itu. Andrea mantan waktu TK-nya yang menjadi saksi gigi copot pertamanya yang ia buang ke atap karena itu gigi bawah, putus karena orang tua Andrea pindah tugas ke Turki.
Kedua Anita, mantan jaman SD kelas 2, setelah setahun menjomblo akhirnya Omar menambatkan hati pada Anita gadis manis yang menjadi pacarnta tak lebih dari 2 jam. Mereka jadian setelah dihukum tertib atribut. Saat itu Anita yang centil memakai sepatu pink dan Omar yang tidak mau potong rambut. Mereka putus di kantin pas istirahat sekolah karena perbedaan selera makan. Anita suka kopiko dan Omar suka ale-ale.
Mantan ketiga, Alea hubungan yang dijalin di kelas 4 SD ini bertahan selama 3 hari, saat itu mereka sedang tugas kelompok tentang membuat telepon kaleng. Mereka terbawa suasana dan menganggap dala diri mereka terpaut kemistri yang sangat dalam, mereka putus karena benang yang menyatukan antar kedua kaleng terputus, dan mendapat kesimpulan bahwa mereka memang tidak berjodoh seperti kaleng itu.
Asri adalah mantan ke lima yang lebih dewasa 2 tahun dari Omar, saat itu Asri kelas 7. Asri menerima cinta Omar karena Omar memalsukan tahun lahirnya di facebooknya. Tentu begitu mengetahui pacarnya masih SD Asri langsung mencampakkan Omar.
Mantan ke tujuh ini adalah mantan terlama menjalin hubungan dengan Omar, dua bulan. Namanya Riri, mereka putus setelah Riri mengikuti lomba antar sekolah dan berkenalan dengan pebasket ganteng. Yang pada akhirnya pebasket itu juga tidak menerima Riri.
Mantan ke delapan, berlangsung selama satu bulan sepuluh hari. Putus karena beda keyakinan. Omar dan Ling-Ling sepakat untuk menjadi sahabat saja, Ling-Ling sekarang sudah menikah dengan Chen setahun lalu.
"Yang ke sembilan ini kalau bisa jangan sampe jadi mantan" ucap Omar dalam pengisahan autobiografinya.
* * *
"Alana I am Home" ucap Mama Shinta semangat
Alana sedang memakan nasi goreng dengan sisa tumis buncis semalam segera beranjak menjemput mamanya pulang.
"hai, Ma. Al kangen" ucap Alana sembaari memeluk Mama Shinta
"Mama punya oleh-oleh buat kamu" Mama Alana berkata dengan semangat
"waah, apa itu, Ma?" tanya Alana berlagak ingin tahu
"ini" Mama Shinta memberikan sebuah bingkisan dengan brand ternama.
"Ma, mahal banget oleh-olehnya" Jawab Alana keberatan
"ini bukan Mama yang beli" jawab Mama Shinta
"Nic?" Tebak Alana dengan wajah lelah, pasrah
"orang tua Nic akan datang minggu depan" ucap Mama Shinta sambil dudul di sofa, di samping Alana
"mau ngapain, ma" respon Alana yang sedang sibuk dengan gawainya
"melamarmu" jawab Mama Shinta datar
"ma.... please!" pinta Alana memohon pada Mama Shinta
"ini yang terbaik untukmu, Al, kami sudah mempersiapkan dekor-dekor untuk kemegahan acara kita nanti
"maaa... yang mau nikah tu Alana, yang akan menjalani hidup juga Alana. Mama pertimbangkan juga dong suara Alana" ucap Alana sambil menangis
"suatu saat kamu akan berterima kasih pada mama untuk ini" jawab Mama Shinta singkat dan yakin
"Mama pernah tanya apa yang sebenarnya Alana ingin" ucap Alana menahan emosi
"Mama tahu apa yang kamu butuhkan. Terima beres saja kamu. percayalah mama tahu yang terbaik untuk kamu" Mma Shinta membawa kopernya ke belakang dan memasuki kamarnya
"Alana berangkat dulu, ma" Alana berpamitan mencium tangan Mama Shinta mengakhiri perdebatan yang tidak akan pernah selesai
* * *
"An...bisa ketemu hari ini?" tanya Alana di telefon
"iya, Al. gue ke butik ya nanti" jawab Anna dengan suara sedikit menahan beban
"lo kenapa, An?"
"angkat galon" kata Anna singkat
seketika Alana tertawa lepas mendengar sahabatnya mulai melakukan sesuatu seperti emak emak pada umumnya
"dih, ketawa lagi liat temennya kesusahan"gerutu Anna
"iya, maaf maaf. gue tunggu di butik, ya" pungkas Alana menutup telefonnya
Hari ini tanpa Omar, Alana butuh waktu berkualitas untuk mencurahkan hati dengan sahabatnya itu. akhir-akhir ini memang mereka jarang ketemu karena kesibukan masing-masing.
"minggu depan ,.." Alana memulai pembicaraan
"minggu depan kenapa, Al" Anna bertanya cemas melihat gelagat Alana yang sangat serius
"Nic dan keluarga mau ngelamar gue" Alana menutup wajahnya dengan tangan, seolah tak sanggup menerima kenyataan
"dan lo mau?" sahut Anna
"gue bisa apa, Ann? gue cuma anak yang harus nurut sama nyokap gue" jawab Alana pasrah
"tapi lo punya hati, lo punya keinginan, lo berhak punya pilihan, lo berhak punya keputusan sendiri, Alana" Anna menasihati, kesal
"pilihan apa yang gue punya? menolak Nic dan ngelawan mama?" ucap Alana
"atau lo bakal menderita seumur hidup" jawab Anna ketus
Alana dan Anna terdiam untuk beberapa saat, atau saat yang lama.
"Omar sudah tau ini?" ucap Anna memulai obrolan kembali
"belum, ..." Alana tidak bergeming dalam lamunannya
"Apa kamu mencintainya?" tanya Alana
"siapa?"
"Omar" jawab Anna. "I don't know" Alana tetap tidak bergeming
"Al, kalau boleh kasih saran ni ya, .." Anna menghela nafas pelan-pelan
"lo harus yakin atas pilihan lo dulu, untuk bisa menolak pilihan orang lain"
"maksudnya?" Alana menoleh tidak mengerti dengan maksud Anna
"ya kalau lo tidak pernah yakin dengan pilihan lo sendiri, wajar kalau nyokap lo memaksakan pilihannya sama elo" jawab Anna tegas
"menurut lo, .." Alana berganti tanya
"apa Omar worth it untuk diperjuangkan?" Alana menatap wajah Anna berharap mendapat jawaban yang diinginkan
"lo yang paling tahu kebutuhan hati lo, Al. gue hanya bisa lihat lo bahagia dan tampak nyaman dengan Omar. Selebihnya, lo sendiri yang bisa menentukan, apakah dia layak untuk diperjuangkan" Anna mencoba bersikap objektif
"I LIKE HIM" Alana menyahut
"lalu?"
"tapi gue belum tahu siapa dia, An. siapa dia, keluarganya, masa lalunya. mama butuh semua itu untuk pertimbangan. Karena di mata mama dia tak lebih dari seorang berandal tak bermasa depan"
"ya cari tahu, Alana. gimana lo bisa meyakinkan Mama Shinta kalau lo sendiri ragu dengan pilian lo" ucap Anna gemas
Alana terdiam membenarkan semua yang dikatakan Anna.
"cintaku ini cinta dewasa, aku rela, aku ikhlas melepasmu dengan orang lain. Jangan mengandalkan bahagia pada orang lain. Orang lain tidak memiliki tanggung jawab atas kebahagiaan dan keinginanmu. Kita harus memperjuangkan bahagia kita sendiri, tapi juga tidak bisa memaksakan orang lain mengikuti standar bahagia yang kita punya. Alana, aku mencintaimu, aku berharap kamu bahagia, karena dalam bahagiamu terdapat bahagiaku. Jadi aku turut bertanggung jawab untuk itu" Alana teringat kata-kata Omar terkait kedaulatan bahagia
"Omar, aku belum siap menemuimu lagi" bisik Alana dalam hati
Alana tidak mendapat jawaban, mungkin koneksinya sudah terputus atau Omar yang sedang sibuk.
"bisa jadi cintaku setingkat cinta ibu, aku rela kau anggap badut jika itu bisa membuatmu tertawa, Alana. apapun untuk menghasilkan senyummu adalah hak yang pantas untuk diperjuangkan" Alana terus terngiang
"cinta masa kecil sampai remaja sudah kulalui, sudah penuh rasanya pengalaman mencintai, namun bertemu denganmu itu hal bar, aku seperti anak baru dalam mencintaimu, dengan tanpa pengalaman aku nekat mencintaimu dengan cinta yang dewasa. ahh tentu tidak aku niatkan untuk mengkategorikan cintaku ini adalah cinta dewasa. aku hanya berpikir, aku akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu, bukan karena kau lemah tidak bisa mencapai bahagiamu sendiri, melainkan itu bentuk tanggung jawabku atas kebahagaanku. Karena di dalam bahagiamu terdapat ribuan kali lipas bahagiaku"
"mungkin aku tidak mencintaimu, Alana. aku hanya mencintai diriku yang melekar erat pada jiwamu. Aku tidak akan menyakitimu, karena hal itu hanya akan membuatku menyakiti diri sendiri." ucapan Omar terus berlarian di kepala Alana
"benarkah begitu, Omar?" Alana bertanya dalam hati
Alana meraba ingatannya kembali 10 tahun silam, saat itu ia baru lulus SMA da dicampakkan oleh pacar pertama yang sudah berhubungan sejak SMP. Alana diselingkuhi dengan 3 orang sekaligus. Dengan uang yang banyak mantan Alana bisa dengan mudah mencari pacar-pacar yang mau diajak kencan dengannya. Dari itu Alana sudah tida percaya lagi sama laki-laki, baginya laki-laki hanya akan manis di awal saja.
Tapi Omar datang tanpa menawarkan apa apa, ia tidak menawarkan harta atau jaminan kesejahteraan jika kelak Alana menikah denganya. Alana merasa ada yang berbeda di diri Omar.
"Pilihlah laki-laki yang tidak menjanjikan apa-apa tapi rela memberikan apapun untukmu" ucap Ayah Alana
Alana terus berenang-renang dalam kenangan. Kemudian menyelam hingga dasarnya. Alana menemukan dirinya di masa kecil yang sangat ceria. Tidak ada tekanan, kala itu sang ibu sedang sibuk bekerja. Ia besar bersama Mbak Loly, dengan didikan penuh kasih sayang dan rasa merdeka mengakibatkan kesahajaan melekat di pribadi Alana.
Sebelum Ayah Alana meninggal, kehidupan Alana adalah impian semua orang. berbanding terbalik setelah kepergian ayahnya. Alana menjadi tumbal atas keserakahan Mamanya, bertahan hidup dengan menggantungkan nasib perusahaan di bawah bayang-bayang keluarga Nic. Alana harus membayar itu semua dengan masa depan dan cintanya, Alana harus mengorbankan kebahagiaannya untuk membayar hutang-hutang keluarga.
"Omar, bagaimana ini?" ucap Alana lirih.
* * *
bersambung, ... .