Omar, kamu benar aku memang suka berpikir berlebihan, hal-hal kecil saja selalu aku cemaskan sampai-sampai aku meragukan kekuatan cinta kita. Aku teringat pada Bu Sur guru Bahasa Indonesiaku yang bilang "Alana, semua kecemasan ketakutan, kesedihan, kesakitan itu berasal dari pikiran kita. kamu tidak akan terjangkit semua itu kalau kamu tidak membiarkan pikiran buruk menguasaimu" kurasa aku sangat berlebih mengkhawatirkan semua ini. Bu Sur juga bilang kalau "apa apa yang kamu inginkan harus kau katakan, kau lisankan, agar terdengar orang lain, dengan begitu orang akan menghargai keinginanmu dan berhenti mengaturmu. Karena jika tidak, kau akan diarahkan sesuai keinginan orang lain" ucapnya seusai kelas privatku.
Bu Sur benar, Omar.
sepertinya aku harus menyuarakan kemauanku.
tapi, apakah mama mau mendengarnya?
sekeras aku teriak, pendapatnya-lah satu-satunya suara yang mau ia dengar.
aku baginya hanyalah anak kemarin sore, bukan!. aku hanyalah anak yang harus menuruti semua kemauannya.
sampai kapan pun, aku tidak akan cukup dewasa untuk menjalani hidup dengan kemauanku sendiri.
sekeras aku mencoba menerapkan rumus hidup Bu Sur.
sekeras itu pula mama mengaturku.
bagaimana ini, Omar?
aku tidak bisa menghindari kecemasanku
aku plin plan, bukan?
bagaimana bisa kamu begitu santai menghadapi ini?
ajari aku cara hidup sepertimu, Omar.
Omar, kenapa kau diam saja? sesaat Alana tersadar ia sedang berada di mobil sendirian.
tidak ada Omar
maupun Nicholas
dan juga Mama Shinta
Mama Shinta berpamitan untuk pergi ke luar kota pagi ini, mendadak sekali ia baru memberi tahu Alana ketika ia menyeret kopernya yang diperkirakan dari apa yang dibawa ia akan pergi lebih dari seminggu.
"sama siapa, ma?" tanya Alana
"tante Miranda, diantar Nicholas" tante Miranda adalah Mama Nicholas yang sangat tinggi selera fashionnya
"Nic ikut?" tanya Alana berbinar
"iya, sementara kamu berangkat pulang kerja sendiri ya" pesan Mama Shinta
"baik, ma" ucap Alana bersemangat, setidaknya ia akan selamat terbebas dari jebakan Nic selama seminggu ke depan
"Alana.." ucap Mama Shinta tegas
"iya, ma" Alana yang tengah tersenyum lega seketika menahan senyumnya untuk sebisa mungkin datar dan sedih
"jangan macem-macem! jaga diri! jauhi brandal itu!" pesan Mama Shinta sebelum masuk ke mobilnya
"iya, ma. hati-hati" Alana mencium tangan dan memeluk mamanya
"yess" batin Alana berteriak
* * *
Omar, kata Bu Sur juga pernah menyebut 'mestakung' saat kutanya ia langsung menjawab dengan jawaban yang tidak aku lupa sampai sekarang dan aku menyakininya
"ketika kita menginginkan sesuatu, seluruh alam akan bersatu-padu menwujudkannya" kurasa alam mendengar inginku, Omar.
kamu tahu kenapa? Ya. karena seminggu ke depan aku bisa hidup tanpa aturan Mama Shinta dan Nicholas Jade.
Omar, kamu diam saja.
Alana mencari Omar dalam hati
"oh iya" menyadari dirinya masih di dalam mobil sendirian, Alana menuju ke kost Omar.
"hei" sapa laki-laki berkaos oblong merah, celana kolor warna biru sedang mencuci motor vespanya
"morning, sayang" sapa Alana gembira
"sendirian? mana sepatu?" Omar mencari cari Nicholas yang biasa menjadi penjaga Alana
"ga ada sepatu" jawab Alana mengangkat tangannya
"ga ada mama, ga ada Nic untuk seminggu ke depan" Alana duduk di teras kosan dengan santai
"kemana mereka?" Omar penasaran
"i don't know, and I don't care" ucap Alana
"liar" kata Omar pada Alana
"biarin" sahut Alana masa bodoh
"sibuk?" tanya Alana
"selalu"
"apa?"
"memikirkanmu"
"najis" Alana melempar kain kotor yang ada di sebelah kursinya
"pantai, yuk" Alana mengajak
"ya ayok" jawab Omar
"berdua" Alana mengajukan syarat
"bertiga"
Alana merengut
"bertiga dengan vespa" lanjut Omar
"oke"
Alana dan Omar sedang menikmati kebebasan yang tidak setiap waktu bisa dirasakannya
"seminggu ke depan, kita harus mengisi waktu kita dengan bersenang-senang" Omar beride
"kalau perlu ga usah tidur" lanjut Alana
"boleh juga" sahut Omar
mereka tertawa bersama. bebas.
* * *
"Omar, hari ini aku ingin menikmati hubungan ini tanpa kekhawatiran. aku ingin bebas mencintaimu." Alana meyakinkan diri dalam hatinya.
"iya" jawab Omar
"aku ngomong apa?"Alana terkejut dengan jawaban Omar.
"aku bisa dengar isi hatimu" jawab Omar
"sekarang, kamu lagi ngomong dalam hati?"
"iya" jawab Omar lagi
"yaudah kita ngomong dalam hati saja. biar ga ada orang dengar" Alana beride
“oke” Omar menyetujui
“kita sudah sampai,Al”
“iya”
“beruntung kita bisa bicara dari hati ke hati”
“eh jadi ini kata orang tentang istilah ‘dari hati ke hati’ ya, Mar”
“mungkin”
“kenapa beruntung?” Alana memandang penasaran wajah Omar
“kita bisa menikmati suara ombak tanpa terganggu suara lain”
“tapi kamu bisa mendengar suara hatiku, mar”
“ah iya, hatimu berisik banget, Al. Bisa diam tidak”
Alana berteriak kencang dalam hati yang membuat jantung Omar berdegub lebih kencang
“pelan – pelan dong, Al” protes Omar, kali ini dia memakai suara
“oke oke” Alana tetap menajwab dalam hati dengan isyarat tangan menenangkan
Tepi pantai kali ini sepi.
Hanya ada mereka berdua
Bertiga dengan vespa
Berempat dengan pedagang es kelapa
Berlima dengan popmie
Berrombongan dengan pasir pasir di pinggiran pantai
Namun sepertinya mereka bisa saling berbicara tanpa suara.
Hening
Tenang
Bahagia
“Sudah sejam kita diem dieman” batin Alana
“laper ga?” jawab Omar
“banget”
“makan yuk”
“ya ayok”
“bude popmie dua, ya”
“mana mungkin dia denger, Omar!” jitak Alana di dahi Omar yang memanggil bude pedagang popmie dengan suara hati
“oke, rasa apa mas?” bude menanyakan varian rasa kepada Omar. Dengan suara hati tentunya
Dia dengar?” Alana terkejut
“iya soto satu, bakso satu, bude” jawab Omar berteriak dalam hati
10 menit kemudian tersaji di depan mereka. Dua popmie satu berasa bakso dan satu rasa soto. Persis seperti yang dipesan Omar
“terima kasih, bude” ucap Alana
Mereka berdua makan dengan lahap, tak tersisa barang setetes kuah di dalam mangkuk sterofoamnya
“Mar, ...” ucap Alana
“apa semua orang bisa mendengar isi hati kita?”
“ga tau”
“bude itu tau, mar”
“Apa dia dari tadi menguping obrolan kita?” Alana panik
“memang kita ngobrol?” jawab Omar
“kan kita diem aja” lanjut Omar
“ahh mungkin aku sudah gila, mar”
“aku sudah lama gila, makin gila sejak bertemu kamu, Al”
“kita harus bicara, Mar”
“dengan suara”
“kenapa, Al” tanya Omar
“aku harus mendengarmu, kamu juga harus mendengarkan suaraku. Bagaimana jika aku tidak mengenal suaramu? Bagaimana jika aku lupa dengan suaramu, dan menganggap semua ini hanya halusinasiku saja”
“apa memang ternyata semua ini hanya halusinasi?” Alana mulai menyangsikan kenyatan yang aneh ini
“tidak, Alana. Kita nyata. Aku nyata mencintaimu, suaraku nyata terdengar di telingamu. Begitupun apa yang kau dengar itu adalah nyata suaraku, suara hatiku” jawab Omar
"banyak yang akan mendengar suaramu, Alana. tapi aku yakin dengan penuh seluruh hanya aku yang mampu mendengarkanmu. isi hatimu, segala yang hanya kau suarakan dalam hatimu"
"kamu seperti dongeng yang diceritakan ibun, ibun mengisahkan seorang putri bisu yang sulit berkomunikasi. hingga datang seorang pangeran tampan, memahami isyaratnya. mereka bisa berkomunikasi dengan lancar. dengan suara hati yang hanya bisa dipahami leh mereka sendiri. suara ini, Alana. tak akan didengar oleh Nicholas di tukang sol sepatu itu" Omar menenagkan
"suaramu paling nyata. nyata menjadi gaung di gendang telingaku"
Alana mendengarkan Omar berbicara panjang dengan saksama.
antara percaya dan tidak percaya, sepertinya semua yang dikatakan Omar adalah karangan dadakan yang tidak bisa dipertanggung ajwabkan kebenarannya.
* * *
bersambung