* * *
Sejak saat itu, saat aku bisa mendengar apa yang tidak kau suarakan melalui lisan. Aku bisa lebih jujur berkata pada hatiku sendiri agar bisa juga kau dengarkan suaranya. Suara hatiku yang berisik ini, Omar.
Kau tau pasti, hatiku tak pernah setenang sikapku. Riuh ramai antara hati dan pikiran selalu berkecamuk hingga membuatku lelah, Mar.
Beruntung kau bisa mendengarnya, aku tidak perlu lelah menjelaskan padamu.
Hari ini masih tanpa mama, entah kenapa aku justru senang, sedikit kerinduan masih kalah dengan jumlah kebebasan yang aku nikmati saat ini.
Omar, durhakakah aku?
Aku lupa, kau tidak di sini, aku bahkan belum beranjak dari ranjangku padahal ini sudah pukul 8.
Ah aku kacau, belum pernah aku sekacau ini.
Jadwalku berantakan. Tentu bukan karenamu. Bukan karena mengenalmu.
Mungkin karena aku sedikit melonggarkan toleransi kedisiplinanku.
Hah... aku sudah gila, Omar.
Aku berubah, aku sendiri merasakan betapa banyak perubahanku entah itu baik atau buruk. Tapi aku lebih bahagia sekarang.
Alana terus bermonolog dalam hatinya, karena ia tahu Omar bakal mendengarnya, setidaknya harapannya adalah didengar Omar. meskipun saat ini Omar masih tidur pulas. Alana bergegas untuk memulai harinya dengan bahagia yang tak biasa.
"Neng, Mbak Loly udah bikinkan neng sarapan nasi goreng nih" ucap Mbak Loly yang sedang menyiapkan makanan Alana di meja makan
"Pake wajan baru, mbak?" Alana mengingat kado Omar untuk Mbak Loly.
"iya, neng. sayang kalau ga dipake" jawab Mbak Loly
"neng sayang ga?" goda Mbak Loly pada Alana
"apaan si mbak?" Alana tersipu malu
"neng, Mbak Loly punya ide" Mbak Loly mendekatkan dudknya ke dekat kursi Alana
"apa itu mbak?" tanya Alana penasaran
"gimana kalo Mas Omar kita undang makan malam di rumah? mumpung ga ada nyonya" Mbak Loly mengemukakan pendapat nakalnya
"boleh si, Mbak. masakin apa tapi ya" Alana berpikir makanan kesukaan Omar
"waktu itu si Mas Omar bilang dia suka tumis buncir, neng. Mbak Loly masak itu aja kali ya" ujar Mbak Loly
"boleh deh, nanti aku kabarin ya mbak. Alana pamit dulu" Alana berpamita dan menyium tangan Mbak Loly
"hati- hati neng. jangan lupa kabarin jadi engga nya biar Mbak Loly bisa belanja sorenya" pesan Mbak Loly lagi
"siap, bos" jawab Alana
"loh piye to, neng? yang bos kan sampean"
Alana hanya tertawa melihat kepolosan Mbak Loly yang natural.
* * *
“Berisik sekali hatimu, Al” ucap Omar dalam pikirannya
Sebenarnya bukan hati Alana yang berisik, memang pikiran Omar hanya dipenuhi dengan angan-angan Alana. Semua tentang Alana dan upaya untuk membahagiakannya.
Pemotretan hari ini ditunda. Ah semesta sepertinya mendukungku untuk berduaan denganmu, Al.
Aku jadi ingat, sore itu seperti ada cahaya kecil yang menyeretku untuk melintasi persawahan itu, hamparan sawah yang baru saja ditanam, tampak padi-padi kecil hampir tenggelam di air sawah berwarna merah jingga itu. Alana, sore itu aku seperti melihat bidadari. Di penghujung sore dengan matahari yang ragu ragu untuk tenggelam, mungkin ingin menyaksikanku salah tingkah bertemu dengan bidadari secantik kamu, Al.
Al, aku tidak bisa tidur malamnya, berdoa meminta pada Tuhanku agar bagaimana caranya aku dipertemukan lagi denganmu. Hingga temanku, Andita menelfonku untuk menggantikan fotografer sebelumku untuk mengabadikan momen bahagia Anna, sahabatmu yang rame itu.
Alana aku hampir mundur ketika melihat Mama kamu menyebut Nic sebagai calon menantunya, tapi seketika aku ingin melangkah maju lebih cepat ketika melihat atap matamu yang penuh kemuakan dengan sikap Nic. ha ha maaf aku kasian dengan tukang sol sepatu itu. Kau lebih memilihku saat ini. Aku tidak menyangka aku yang tidak kaya ini mendapatkan perempuan yang kukira mutahil ada di bumi itu.
Alana Alana kalau orang korea percaya reinkarnasi, pasti aku yang dulu pernah menyelamatkan dunia, hingga aku yang seklarang bisa mendapatkan hadiah alam secantik kamu.
Omar bermonolog dalam hatinya
* * *
Omar mengengkol motornya untuk menjemput Alana. tak lupa ia mengambil satu pot punga untuk dibawa.
"selamat pagi, nona" sapa Omar dengan sebongkah pot berisi kaktus kecil yang lucu.
"ini sudah jam satu, Omar"
"bertemu denganmu otakku selalu pagi, Alana. sesemangat pagi, energiku selalu pagi jika ada di dekatmu.
Alana seperti tidak mempan dengan gombalan itu, namun ia suka juga karena gombalan itu keluar dari mulut Omar
"buat aku?" ujar Alana menunjuk kaktus yang ada di tangan Omar.
"buat Anisa." kata Omar
"kok Anisa?" protes Alana
"biar dia pajang di meja kerjamu" lanjut Omar
"biar apa kalau di mejaku?"
"biar kamu seneng"
"aku laper" Omar memegang perutnya yang rata
"makan lah!" ucap Alana
"suapin" ucap Omar manja
"ayuk, gass" ajak Alana keluar mencari makan
"kemana?" tanya Omar
"warung pecel langgananku, mau?" Alana menawarkan
"boleh, lah. besok gantian ke warung soto langgananku, ya" jawab Omar
"oke, siap."
Cuaca siang itu terik sekali, Alana meminta untuk mampir berteduh di bawah pohon beringin yang rindang. di bawahnya penjual es dawet legend.
"es dawet nya tiga, bang" kata Omar
"kok tiga?" tanya Alana
"aku kalo satu kurang" jawab Omar singkat
"ih dasar rakus" maki Alana
"silakan, mas Omar, mbak...."
"Alana" Alana segera mengenalkan diri
"Terima kasih, bang" ucap Alana sambil meminum es dawetnya
dalam hitungan sekejap es itu pun habis, Alana melirik es dawet Omar yang belum disentuhya karena sedag di toilet.
Alana meminum es dawet gelas kedua yang dipesan Omar.
"bang, saya tadi pesen tiga kan?" tanya Omar pada penjual dawet
"aku minum satu" jawab Alana manja tanpa merasa bersalah
"jadi?" Omar ingin Alana menyimpulkan
"aku haus, mar. wajar dong aku minum dua" Alana membela diri. Alana tidak ingin mengakui bahwa dirinya serakus apa yang ia tuduhkan pada Omar.
"wajar kok wajar" Omar menenangkan Alana sambil menatap dua gelas kosong
"kenapa liatnya gitu amat?" protes Alana sinis
"engga kok, aku cuma bilang wajar. emang wajar" Omar masih menatal dua gelas kosomg secara bergantian
Omar dan Alana tidak lagi bisa menahan tawanya. mereka menyadari kekonyolan yang baru saja Alana perbuat.
"ternyata ada bidadari yang perutnya karet" Ucap Omar meledek
"enak aja perut karet" Alana tidak terima
"oh jadi kamu merasa kamu bidadari?"
Alana kembali tertawa malu sendiri.
* * *
Alana dan Omar melanjutkan perjalanannya, entah ke arah mana tujuannya.
asal berdua sepertinya tidak butuih angan panjang lagi untuk mengunjungi tempat wisata. cukup sudah di atas motor berdua, bercerita tentang apa apa yang mereka temui. Pohon- pohon yang berbuah poster, kemacetan, debu di jalan, atau sekedar berbicara dengan suara hati.
"kamu siapa?' tanya Alana menyadarkan lamunan
"aku Omar"
"Omar siapa?" kata Alana
"Omar saja" jawab Omar singkat
"aku tidak ingin terbelenggu identitas, identitas adalah cara halus untuk mengkotak-kotakkan kita untuk dikelompokkan dengan orang-orang ang setara saja, atau sekepentingan saja. seperti tidak ada alasan untuk orang kaya dan miskin berteman, atau untuk babu dan ra berteman." lanjut Omar
"tapi aku ingin kenal kamu, Omar" desak Alana
"jadi kamu belum kenal aku, Al" Omar meledek Alana
"perkenalkan, aku Omar tidak pake bakri, aku jatuh cinta padamu sejak pertama kali aku menyentuh ban mobilmu" Omar bercanda hal yang tak lucu bagi Alana.
"bukan itu yang ingin aku dengar" Alana kesal dengan ketidak seriusan Omar menanggapi pertanyaannya.
* * *
bersambung . . . . .