Monolog Alana

1055 Words
Sebelum maghrib Alana sudah tiba di rumahnya, sejak diantar jemput Nicholas Alana memang tidak lagi bisa bekerja lebih lama dari sebelumnya. Pun ia tidak mau menerima ajakan Nic untuk pergi makan malam atau belanja ke mall. Apapun ia korbankan untuk mengindari Nic. Termasuk waktu me time di kafe sambil mencari inspirasi design. Lelah, kata Alana tentu lelah yang dimaksud Alana bukanlah lelah raga yang bisa disembuhkan dengan istirahat. Alana merasa sangat lelah hatinya, pikirannya, jiwanya. Banyak hati yang harus Alana singgahi Banyak perasaan yang harus Alana jaga Untuk hatinya sendiri? Mana sempat Alana mengurusnya Mungkin itu tugas Omar, dan memang Omarlah yang bisa merawatnya dengan baik. Hanya Omar Meskipun Mama Shinta dan Nic yang sangat terobsesi pada Alana, tapi tak sekalipun mereka memikirkan apa yang sebenarnya Alana harapkan. Apakah itu cinta? Lamun Alana di balkon kamarnya Alana menelfon video Omar selepas isya’ usai makan malam yang ‘biasa aja’ bersama Mama Shinta. “Omar, kita mau bagaimana?” “lha mau gimana?” jawab Omar sambil menghembuskan asap rokoknya “Mama, Nic,..” Alana pasrah “kenapa Mama dan Nic? Jadian?” “Omar, aku serius” “aku juga serius tanya Alana. Apanya yang bagaimana?” “kita? Masa depan hubungan ini? Apa kamu tidak merasa mereka sebuah ancaman?” Alana panik “kamu ga percaya sama hubungan ini? Kamu ragu?” “aku tidak meragukanmu,tapi aku yakin mereka tidak akan tinggal diam membiarkan aku bersamamu, Omar” ucap Alana berusaha meyakinkan dirinya sendiri “itu artinya kamu ragu” jawab Omar Alana tidak menjawab. Ia berkata dalam hati andai saja aku tidak pernah menemukanmu. Alana tatap wajah yang ada di layar telepon pintarnya. Omar menjawab tatapannya “apa yang kamu pikirkan, Alana?” “aku sudah mengatakan apa yang aku pikirkan” ucap Alana “kalau kamu, apa yang ada di kepalamu? Apa kelanjutan hubungan kita?” lanjut Alana mendesak jawaban Omar Keduanya diam seribu bahasa. Masing-masing berbicara satu sama lain, bukan, masing-masing berbicara dengan pikiran mereka sendiri. Mereka berdebat dalam pikiran. “Aku memikirkan hal yang sama, Alana. Bagaimana masa depan hubungan ini, hubunganmu dengan mamamu, dengan sahabat kecilmu, Nic yang sangat mapan itu.” Ungkap Omar dalam hati “Kamu pikir mudah menjadi aku? Baru saja aku bertemu dengan Nic yang mengaku calon suamimu itu. Dia memberiku cek kosong dan memintaku untuk menuliskan berapapun nominal yang aku butuhkan lalu memintaku menjauhimu, tapi Alana. Aku tidak akan menceritakan hal ini padamu. Aku tidak ingin menambah bebanmu. Sejak awal bertemu denganmu aku sangat menyayangkan wajah ayumu yang tak kau gunakan untuk bahagia. Aku hanya ingin kamu bahagia, dan aku akan selalu berusaha untuk itu, Alana” Omar menatap layar teleponnya. Menerka-nerka jawaban Alana. Begitu juga Alana yang sedang menebak dengan saksama apa yang mungkin dikatakan Omar untuk bisa mendebatnya kemudian, dalam hati juga “kenapa juga aku harus mencintai manusia tengil sepertimu, mar Omar. Kenapa orang kamu gitu lo. Lihat kamar berantakan, putung rokok di mana-mana, ada kasur tapi tidur di lantai, lucu, ganteng, susah dilupain, bikin kepikiran, penasaran. Ahh definisiku tentang kamu suka ngaco,mar. Poinnya bukan itu. Saat ini aku bingung. Benar-benar bingung. Aku juga tahu kamu bingung. Bagaimana kita ?” “aku harap kamu sehat” pungkas Alana mengakhiri monolog di hatinya. “kenapa, Al?” ucap Omar memecah keheningan “ga tau” jawab Alana tertawa “kita ngapain diem dieman?” lanjut Alana menyadari keabsurd an mereka “aku ngobrol tadi” bela Omar “di mana?” “di hati” “sama” Alana dan Omar sejenak terdiam lagi, merasa seperti ada yang janggal dan benar-benar absurd. Mereka tidak bisa lagi membendung tawa. Alana tertawa sangat keras, lalu ditahannyakembali ketika menyadari bahwa tertawanya bisa membangunkan singa tidur. Berhenti sebentar. Lalu tertawa lagi, lebih keras dan tidak bisa dikendalikan. Alana merasa lega karena sudah lama ia tidak tertawa selepas ini. “awas singanya bangun” bisik Omar khawatir kalau Mama Shinta terbangun dan menggrebek mereka Semakin ditahan, semakin lucu terasa. Muka Alana memerah menahan tawa. Entah apa yang ditertawakan. “kita ngetawain apa si?” ucap Alana sadar menghapus air mata tawanya “ngetawain nasib” jawab Omar Lalu mereka terbahak lagi. Hari ini menjadi spesial karena diakhiri dengan tawa bersama, Omar dan Alana entah apa yang ditertawakan. mereka juga tidak mengerti. *** "mungkin ga ya Mama merestui hubunganku dengan Omar?" pikir Alana "bagaimana cara agar Mama Shinta tau kalo Nic sejahat itu?" Alana bertanya pada pikiran sendiri berharap mendapat balasan dari imaginasinya "ketika aku nanti menikah dengan Nicholas, mungkin aku akan sedih, Omar juga. mungkin juga kesedihan itu cuma beberapa tahun pertama saja, lama-lama akan hambar dan aku bisa hidup bahagia layaknya manusia pada umumnya. direstui,menikah, punya anak, arisan keluarga, reuni SMA, dan kembali lagi" batin Alana mengandai-andai "tapi jika aku menikah dengan Omar, aku bahagia Omar bahagia, mama mungkin awalnya terpaksa menerima Omar tapi lama-lama ia akan luluh juga. Nic juga bisa mendapat wanita lain yang lebih membahagiakan dia." Alana terus bermonolog dengan dirinya sendiri. kali ini dia berbicara dengan foto ayahnya yang telah berpulang. "ayah, bagaimana ini? apa yang aku harus lakukan? menurut ayah Omar gimana? dia lucu yah. suka bikin aku tertawa. banyak konyolnya si tapi aku suka. ayah setuju ga?" Alana bertanya pada foto itu "aku tahu ayah bakal setuju. ayah terbaik" tentu tidak ada jawaban. semua jawaban hanya ada di pikiran Alana yang dia karang sendiri. "iya kan, yah?" "kemarin pas ulang tahunku, dia ngasih kado Mbak Loly wajan 'buat masakin aku' katanya. dia juga pesan agar aku jagain Mbak Loly, biar Mbak Loly bisa jagain aku. dia lucu, ayah" "bagaimana dengan Nic?" Ayah Alana bertanya dalam pikiran Alana "iya baik, tapi Nic tidak sebaik yang mama ceritakan, ayah" "aku ditampar dua kali di minggu ini, Nic kasar ayah. dia cuma ingin membuat keluarga kita menderita. tapi Mama tidak bisa melihat itu. Mama dibutakan harta." Alana mencurahkan perasaannya "andai mama tau, gimana kalau ayah yang ngasih tau mama. ahhh hubungan kalian saja berantakan, apa mama sempat meminta maaf sebelum kepergian ayah?" tanya Alana pada foto itu "sudah kuduga, Mama tidak akan merasa itu sebuah kesalahan. Mama selalu di atas kebenaran versinya" "ayah... aku tidak akan seperti mama, yah. aku mau jadi anak ayah saja" ucap Alana manja Alana meletakkan bingkai foto itu dan beranjak ke kamar kecil untuk mencuci muka dan berwudhu sebelum tidur. * * * bersambung . . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD