Dan rupanya hasil obrolan semalam membuat Nic semakin termotivasi untuk melaju lebih serius. Nic mulai melangkah lebih agresif dan menyingkirkan semua aral melintang membujur di hadapannya. Nic ingin menemui Omar, untuk berbicara atau beradu otot. Memperebutkan sesuatu yang sebenarnya tidak ia butuhkan, memperebutkan sesuatu yang Nic sendiri tidak menginginkannya, hati Alana. Pagi sekali, kurang dari jam 7 Nic sudah sampai di depan rumah Alana dan sepertii biasa ia sudah diterima baik di rumah itu. Ia menawarkan pagi yang lebih indah pada Mama Shinta yang pasti akan membuat Alana tidak bisa menolak harapan itu.
"ini demi kebaikan Alana, Tante" ucap Omar di tengah obrolannya
"tante setuju, Nic. tapi bagaimana kalau Alana marah?"
"mungkin akan marah, tapi dia bisa apa tante?" jawab Nic tak berhati
"tante ini mamanya. tante bisa membuat kendali atas Alana, jangan sampai Alana memilih seseorang yang salah, aku hanya ingin yang terbaik untuk Alana, tante" Nic terus mengompori Mama Shinta agar menyetujui ide jahatnya.
"kamu benar, Nic. hanya kamu yang terbaik untuk Alana, dan tante pastikan hanya kamu yang akan jadi menantuku" ucap Mama Shinta
"jadi gimana? boleh tan?"merasa sudah mendapatkan lampu hijau, Nic kembali mempertanyakan kebersediaan Mama Shinta untuk membantu meluruskan rencananya
"oke, mari kita coba" ucap Mama Shinta
"apa yang dicoba?" suara Alana dari atas tangga mengangetkan mereka berdua
"pagi sekali, Nic? ga sekalian nginep aja?" sindir Alana sinis
"ya kalau memang diharuskan nginep aku akan menginap, apapun untuk menjagamu, Al" jawab Nic penuh intrik
"hari ini kamu diantar Nic lagi" kata Mama Shinta. Memang beberapa hari belakangan Nic tidak memunculkan batang hidungnya karena ia punya kesibukan dengan wanita lain, tentu tidak diketahui oleh Mama Shinta dan Alana terlalu tidak peduli untuk membicarakannya
"apa boleh buat" ucap Alana lirih
"kamu ngomong apa, Al" Mama Shinta yang samar mendengarkan ucapan Alana ingin memperjelas
"ya aku bisa apa selain bilang IYA, ma?" ucap Alana kesal
"yaudah bilang iya dong"
"Ya"
Nic hanya tertawa puas melihat kelemahan Alana. Saya sudah memegang kartu ASnya, kata Nic dalam hati.
* * *
Alana memasang wajah tidak menyenangkan di dalam mobil yang ditumpanginya. Ia sama sekali tidak mengeluarkan suara atau kata - kata sekedar memecah keheningan. Nic yang memaksa dan menawarkan diri untuk mengantar Alana juga sepertinya tidak berniat memulai pembicaraan. Pikirannya sedang fokus merancang apa yang akan dilakukannya untuk menyingkirkan Omar. dan tentu ketidaksukaan Alana adalah bentuk keberhasilan Nic dalam membalaskan demdam keluarganya.
Setelah mengantarkan Alana, Nic mendatangi studio Omar yang diketahui alamatnya lewat mata - mata yang dibayar Nic.
"jadi ini studiomu?" Nic melihat sekeliling studio kecil yang berantakan sekali. Omar yang sedang mengedit hasil jepretan terkejut dengan kedatangan Nic di studio kecilnya.
"hai bro! apa kabar?" Omar mengulurkan tangan untuk bersalaman pada Nic namun tangan Nic tampak sedang sibuk memegang hasil foto wanita cantik yang sedang melamun di pinggir pantai.
"do you love her?" tanya Nic pada Omar yang perlahan menurunkan uluran tangannya
"do you love her?" Omar menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan yang sama
"aku yang tanya" Nic dengan senyum liciknya memperjelas pertanyaannya
"ya aku ganti tanya" jawab Omar tengil
"do you love her?" ucap Nic sekali lagi
"yes, I do" Omar menjawab lantang dan mantap
"oke"
"oke?"
"ya"
"kalau lo mencintainya, tentu lo lebih ingin melihat dia bahagia dibanding hanya ingin memilikinya saja, kan?" Nic meminta pendapat untuk diiyakan
"apa arah pembicaraanmu?" Omar mendekati Nic dan meminta penjelasan maksud Nic secara gamblang
"biarkan Alana menjadi milik gue, biarkan Alana bahagia dengan kemewahan yang gue punya! lo tidak ingin Alana durhaka dengan ibunya bukan?" ucap Nic bertele-tele
"to the point aja bro. apa masalahnya!" Omar yang tidak sabar dengan apa yang dijelaskan Nic'
"Artinya, .. elo! jangan berani -berani berharap kalau Alana bakal jadi milik lo!ya itu si kalo lo bener - bener mencintai gadis itu si"
ucap Nic
"apa jaminanmu untuk membuat Alana bahagia?"
"ha ha jaminan? gue udah kenal keluarga Alana dari bayi. gue tahu betul apa yang membuat Alana dan keluarganya bahagia"
ucap Nic merasa menang
"tapi Alana bahagia sama gue, gimana dong?" Omar berjalan menuju sofa yang ada di dekat pintu keluar dan menjatuhkan badannya ke sofa tua itu
"tapi gue yang megang restu nyokap gadis itu" Nic tertawa menang
"saran gue sih ya, berhentilah. jangan membuat Alana semakin berharap kepadamu, jangan membuat gadis yang kamu cintai menajdi anak yang durhaka terhadap orang tuanya" lanjut Nic menasihati, dan berbalik menuju pintu keluar, seperti ia masuk tanpa permisi, Nic pulang tanpa pamit.
Omar hanya terdiam mendengarkan apa yang dikatakan Nic. ada benarnya juga. Ia tidak akan mendapat restu dari Mama Shinta,apakah bisa bahagia pernikahan yang tanpa restu, apakah bisa tenang pernikahan yang dipaksakan dan merugikan beberapa pihak? namun siapakan pihak yang dirugikan? Omar menyalakan cigarettnya dan menyeduh kopi kental dengan sedikit gula. kepahitan yang dirasakan pada kopi tidak sepahit kenyataan yang dihadapi Omar pagi ini.
* * *
di tempat yang lain, Alana sedang disibukkan untuk kematangan acara pagelaran fashion yang akan diselenggarakan dua minggu lagi. Ia sudah memesan fotografer profesional untuk acara ini. bukan Omar. karena harri itu Omar menjadi tamu spesial yang akan mendampinginya. Alana ingin menggunakan kesempatan itu untuk menyuarakan kemauannya. kemauan untuk hidup dengan laki - laki pilihannya.
Alana mengumpulkan keberanian untuk pagelaran fashion pertamanya dan kejujuran yang akan diproklamirkan nanti. Apakah mama akan memaafkanku? apakah mama akan merestui Omar? apakah Nic akan selamanya mengejarku? pertanyaan demi pertanyaan diajukan oleh kepala Alana dan entah siapa yang diharapkan akan menjawab semua pertanyaan itu, hanya waktu yang dapat menjawab.
"kak, mama ga ikut ke butik?" tanya Anisa
"tidak, Nis. mama sedang ada acara sama temennya
"tante pernah bilang ke Anisa, .." Anisa tampak hati - hati memulai pembicaraan sensitif ini pada Alana, takut salah waktu dan tempat
"bilang apa, nis?" tanya Alana sabar
"kalau aku harus lapor setiap kali kak Omar datang ke butik ini, atau setiap kali kak Alana pergi dari butik" Anisa jujur dengan semuanya
"kapan itu, nis?" tanya Alana mulai tertarik
"kemarin, kak"
"kamu mau?" tanya Alana
"ya aku harus gimana, kak? maaf ya kak, aku jujur sama kakak, aku ga bermaksud buat adu domba kakak sama Tante Shinta, aku cuma bingung, harus gimana" ucap Anisa
"it's OK, nis"
"itu bukan salahmu"
* * *
bersambung . . . . .