Mama Shinta berdiam diri di kamarnya, melihat foto keluarga dala foto Alana kecil sedang dibopong ayahnya dan Mama Shinta berdiri dengan senyum bahagia yang sempurna. Mama Shinta seperti di dorong memasuki lorong waktu masa lalu. Ia tiba di rumah kecil tempat ia dan ibunya, Nenek Alana tinggal. sebuah rumah yang lebih pantas disebut kandang. Bahkan kandang sapi dibangun lebih permanen dari ini. beratap jerami beralaskan tanah. Mama Shinta tumbuh di sebuah desa terpencil di atas tanah dari rasa kasihan juragan baik hati atau aji mumpung mempekerjakan Nenek Alana dengan jam kerja yang sangat panjang.
Nenek Alana pergi diusir oleh mertuanya yang kaya raya, karena mertuanya lebih memilih istri muda anaknya yang jauh lebih berpendidikan dan jelas bibit, bebet, dan bobotnya. Sejak saat itu Nenek Alana bertekad untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik, ia bekerja keras untuk menyekolahkan Mama Shinta dan menanamkan nilai - nilai yang sampai sekarang dipegang erat oleh Mama Shinta.
Mama Shinta remaja dimasukkan ke sekolah favorit paling mahal di tempat itu. Meski Nenek Alana harus bekerja lebih keras, menahan lapar lebih lama, dan tidur lebih sedikit semua demi mengembalikan harga diri yang terinjak. Ia ingin membuktikan kepada anaknya bahwa ia tidak salah membawa anaknya pergi bersamanya meninggalkan tempat tinggal nyaman dan fasilitas lengkap di rumah mantan suaminya.
Pernah suatu ketika Nenek Alana ingin membelikan Mama Shinta sebuha tas impian Mama Shinta yang seharga 3 bulan uang makan mereka. Ia rela tahan untum makan hanya dengan garam, untuk mewujudkan mimpi anaknya itu.
Ia pergi ke tukang loak membelikannya tas impian anaknya yang sudah ia pesan tiga bulan lalu.
Dengan semangat Nenek Alana tergopoh - gopoh menjemput Mama Shinta di depan sekolah.
Semua anak menatap kasian oada wajah lusuh berkeringat yang menunggu Mama Shinta pulang.
"oh ini emak dia?" ucap salah seorang yang melihat Nenek Alana membawakan kado untuk Shinta.
Lalu bisik-bisik penghinaan dan meremehkan samar terdengar di telinga Mama Shinta.
"ini tas impian kamu, mama beli di toko loak tadi" Nenek Alana berbisik pada Shinta muda
"harusnya aku ikut bapak saja, buk" ucap Shinta muda, kata yang kerap kali diucapkan Mama Shinta pada ibunya
Mama Shinta merasa minder seorang anak dari buruh serabutan yang berani - beraninya berada di sekolah elit.
Mama Shinta sudah terbiasa mengecap pahitnya kemiskinan yang membuat dia makan nasi basi, atau sisa roti dari tong sampah, membeli baju-baju loak untuk dia pakai ke pesta, demi menyamakan derajat pada teman-temannya, meski seluruh harta dan jatah jajan sebulan ia kumpulkan tak cukup untuk mengimbangi harga satu setel baju yang mereka kenakan.
Ia kerap menyendiri di pojok kelas untuk membaca buku. ia bertekad untuk menjadi juara agar bisa membungkam mulut-mulut para anak gedongan itu.
"bu, aku mau pergi ke rumah ayah bu" Shinta memohon pada ibunya
Nenek Alana bekerja keras untuk mencari ongkos Mama Shinta menemui bapaknya.
Ini ada ongkos berangkat untuk kamu menemui bapakmu, berangkatlah sendiri. ongkos hanya cukup untuk satu tiket. pergilah ke alamat ini!.
Dengan berat hati Nenek Alana menyetujui keinginan Mama Shinta.
Sampailah pada alamat yang diberikan Ibunya.
Ia melihat ayahnye bersama dengan seorang remaja yang sangt cantik, dengan rambut terawat, baju yang layak, dan senyum yang bahagia.
Penyesalan semakin menguasai Mama Shinta. Penyesalah karena dia lebih memilih tinggal bersama ibunya yang miskin, kucel, dan tampak lebih tua dari umurnya.
Namun bagaimanapun, Mama Shinta sangat mencintai ibunya.
Mama Shinta merasa kagum dengan ibunya yang bekerja keras untuk memuliakan hidup Mama Shinta.
* * *
Setelah kejadian itu, Mama Shinta semaki dikucilkan oleh teman-teman sekelasnya karena perbedaan tingkat sosial.
Hal itu membuat Mama Shinta semakin minder dan semakin menikmati waktunya sendiri. Ia sering menghabiskan waktu istirahatnya di perpus.
Kebiasaan Mama Shinta menyendiri itu ternyata diperhatikan oleh laki - laki yang sangat rapih, berkacamata, dari tampilannya dia bukanlah orang sembarangan. Selain menjadi bintang sekolah karena kecerdasannya laki -laki itu adalah putra dari donatur terbesar yayasan sekolah elit ini.
Dialah Habibi Moeloek, Ayah Alana yang jatuh hati pada padangan pertama pada Mama Shinta. Pada pandangan kedua, Habibi Muda mendapati Shinta sedang dirundung teman - temannya yang menganggap Shinta muda tidak layak berada di sekolah ini.
Habibi membela Shinta dan membuat semua wanita semakin membenci Shinta. Semenjak itu mereka sering jalan bersama, belajar, dan menjalin cinta.
Roy kakak kelas Shinta yang juga mengincar kecantikan Shinta merasa dikhianati oleh Habibi.
Berulang kali Roy mencoba mendekatii Shinta namun selalu ditolak. Oleh sebab Roy saat itu hanyalah laki -laki biasa. tak ada istimewanya dibanding dengan Habibi idaman para wanita.
Hal itu membuat benih- benih dendam Roy pada Habibi tertanam dan terawat dengan pupuk cemburu -cemburu yang menyuburkan dendam itu.
Shinta dan Habibi Muda memutuskan untuk menikah, disusul dengan Roy dan Sonua, perempuan yang kerap membuly Shinta.
Roy dan Shinta sebenarnya tidak menimah berdasarkan cinta, melainkan dendam yang sama sama subur tertanam di hati mereka. Mereka melahirkan anak hampir bersamaan,
Alana dan Nicholas.
Merasa sudah selesai tugasnya di bumi ini, sebulan setelah kelahiran Alana, Nenek Alana meninggal dunia dengan meninggalkan pesan untuk Mama Shinta. "jangan sampai kamu dan cucuku jatuh miskin, cukup kamu saja yang merasakan susahnya diinjak karena miskin, susahnya diusir dari rumah ayah sendiri.
Alana harus sukses dan menikah dengn orang kaya juga. Tidak ada kesengsaraan melebihi kemiskinan" ucapan terakhir Nenek Alana kepada Mama Shinta yang sampai sekarang ia pegang teguh.
Tampak dari luar mereka sangat bersahabat, begitu juga anggapan dari Shinta dan Habibi sampi akhir hayatnya.
Roy menjadi satu - satunya orang yang Habibi percaya untuk menjaga keluarganya, sepeninggalnya.
* * *
Aku tidak akan membiarkan kamu miskin, Alana.Kamu harus kaya. jangan sampai kamu mengalami apa yang Mama dan Nenek alami dulu.
Ucap Mama Shinta pada foto yang ia pegang.
Lamunan kembali ke masa masa bahagia antara Mama Shinta dengan Habibi, suaminya.
Saat itu mereka masih sama sama remaja, manjalin cinta dengan rasa cemburu para kaum wanita terhadap Shinta, dan kaum adam yang sangat iri terhadap Habibi.
Shinta dan Habibi muda kerap kali harus bersembunyi dari keramaian untuk menghindari perundungan yang dilakukan secara verbal maupun fisik.
Mama Shinta teringat mertuanya yang sangat menerima dia apa adanya. dan menyukai kecerdasan Mama Shinta dalam mengelola keuangan.
Mama Shinta memang pandai dalam me-manage keuangan.
butik Alana pun dimanage oleh Mama Shinta.
* * *
bersmbung