* * *
Waktu menunjukkan pukul enam pagi, Alana memulai hari lebih pagi untuk menyiapkan desain-desain baju yang akan dipamerkan pada pekan pagelaran fashion bulan depan. Mematangkan konsep dan merevisi hal – hal yang masih kurang tepat. Semuanya harus sempurna.
Sementara itu, Anna yang sedang mabuk dengan kehamilannya tidak bisa membantu banyak. Mama Shinta turut menyiapkan segala rupanya dalam hal manajemen waktu dan melobi endorsment pada beberapa model dan para influencer.
“Alana" Mama Shinta berjalan mendekati Alana menunjukkan list to do yang sudah banyak ceklisnya
"model sudah, influencer sudah, gedung sudah, souvenir sudah, tinggal fotografer yang belum dapat, ” ucap Mama Alana sambil mencoret list to do nya
“Alana saja yang cari fotografer, ma” sahut Alana
“oke” Mama Alana menyetujuinya
“bagaimana persiapan kostumnya? Sudah selesai?” Mama Shinta meletakkan buku agendanya dan berjalan ke arah wardrobe memastikan semua kostum telah lengkap
“80 persen siap, ma. Sisanya tinggal finishing aja” Alana menunjukkan beberapa kiriman foto di ponselnya dari konveksi yang sedang melaksanakan tahap finishing.
“syukurlah, setelah ini kita bisa fokus ke acara pertunanganmu dengan Nic” Mama Shinta kembali ke arah sofa dan duduk santai dengan memainkan ponsel pintarnya.
Alana kembali menata baju – baju yang sudah rapih tergantung pura-pura tidak mendengar ucapan Mama Shinta. Alana sebisa mungkin menghindari percakapan mengenai oertunangan dan Nic. Demi keselamatan mentalnya.
“mau dipesankan apa bu, untuk makan siang?” beruntung Anisa membuyarkan obrolan kaku itu. Anisa melihat jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang menawarkan Mama Shinta dan Alana untuk makan siang.
“saya mau chese steak yang ada di Waroeng Steak. Beri ekstra cheese ya” pinta Mama Shinta
“baik, tente. Kalau kak Alana mau apa?”
“samain mama aja, Nis. kamu juga pesen terserah kamu” perintah Alana pada Anisa.
“oke, kak” Anisa memesan makanan via online seperti yang biasa dilakukan dulu sebelum Omar dan Nic muncul
* * *
Omar sedang mengedit hasil fotonya, dengan beberapa bekas gelas kopi dan puluhan putung rokok yang menemani kerjanya. Sudah ditegur beberapa kali oleh ibun dan juga Alana untuk mengurangi rokoknya namun tetap saja Omar hanya berhenti merokok jika jalan bersama Alana.
Hari ini mereka tidak ada janjian ketemu, karena kesibukan masing – masing. Omar akan merampungkan pekerjaannya dengan cepat agar lebih banyak menyisakan waktu untuk berdua dengan Alana.
Masih ada waktu satu bulan bagi Alana dan Omar untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Sementara mereka fokus dulu dengan pekerjaan masing-masing.
* * *
saya ingin bertemu empat mata denganmu, Mama Shinta mengirimkan pesan singkat pada Omar. Lalu diiyakan oleh Omar tanpa sepengetahuan Alana. Omar tidak ingin membuat Alana khawatir dan mencegah mamanya.
“apa kabar, tante?” Sapa Omar yang baru saja datang di kafe tempat mereka berjanji akan bertemu
“silakan duduk” ucap Mama Shinta dingin
“terima kasih, tante” ucap Omar sambil melambaikan tangan pada waitress untuk memesan makanan
“tante sudah pesan?” Omar mencoba bersikap santai dan sok akrab
“sudah” ucap Mama Shinta masih menatap layar ponselnya
“saya mau lemon tea aja, mas” pesan Omar pada pelayan restaurant
Mama Shinta tetap diam melihat layar ponselnya.
“saya sudah di sini, tante” Omar mengingatkan Mama Shinta yang sedari tadi tidak berbicara apapun pada Omar
Dengan lirikan tajam, Mama Shinta meletakkan ponselnya dan memulai obrolan dengan Omar.
“baik, tentu kamu sudah sadar bukan? Saya rasa kamu bukan laki-laki yang bodoh” Mama Shinta memulai pembicaraan dengan pembukaan yang lumayan pedas. Omar hanya diam menunggu kelanjutan yang ingin disampaikan Mama Shinta.
“kamu tau, saya sangat peduli dengan masa depan anak saya. Kesejahteraannya dan kebahagiaan sudah saya pikirkan matang-matang. Tentu kamu juga sudah dengar kabar bahwa dalam waktu dekat, Alana akan bertunangan dengan laki-laki yang memang tercipta untuk Alana.”
Mama Shinta mengambil jeda nafas sebelum lanjut menjelaskan maksudnya dengan runtut dan santai, Omar menunduk terdiam dan belum memberi respon apapun.
“saya akan melakukan apapun untuk kelancaran pertunangan ini” lanjut Mama Shinta sambil meminum capuccino yang ada di hadapannya
“boleh saya bicara, tante?” Omar mendongakkan wajahnya meminta izin pada Mama Shinta
“saya belum selesai” ucap Mama Shinta
“baik, “ Omar kembali terdiam
“saya tau kamu mencintai Alana, anak saya. Kamu tahu bedanya menyukai dan mencintai, bukan?” Mama Shinta emnatap tajam Omar yang sedang mendengar setiap kata yang diucapkan Mama Shinta dengan saksama
“ Sederhananya, seperti kamu melihat bunga yang indah jika kamu menyukainya, kamu akan memetik dan menjadikannya milikmu walaupun kamu tahu itu akan membunuh perlahan bunga itu. Namun jika kau mencintainya, kau akan menyiramnya dan memandangnya tumbuh dan makin mekar. Kau mencintai Alana bukan?” Mama Shinta mempengaruhi Omar dengan analogi bunga mawar
“kadang kita harus mematahkan dahan bunga itu untuk menanamnya di tempat yang lebih subur, agar berumur panjang dan tumbuh semakin subur” Omar membalikkan analogi bunga mawar pada Mama Shinta
“apa yang bisa jadi jaminan bahwa dahan yang kau petik itu akan tumbuh subuh dan bukan kering?” Tanya Mama Shinta
“sama besarnya dengan kemungkinan dahan itu tumbuh subur dengan bunga yang lebih merekah” Omar menjawab dengan lantang
“lalu kamu mau mengambil risiko untuk peluang yang pertama? Bagaimana bisa kamu meyakinkan pemilik bunga yang merawat bunga itu dari kecil dengan ancaman mematikan seperti itu? Sedang kebahagiaan sudah di depan mata, apakah worth it untuk mengambil risiko yang begitu besar?”
Ucapan Mama Alana membuat Omar berpikir tentang kebahagiaan Alana ketika ia memaksakan diri untuk bersamanya
“saya akan memenuhi semua kebutuhanmu” Ucap Mama Shinta mengeluakan check kosong.
“maksudnya apa ini, tante?” Omar menahan amarah karena sangat tersinggung dengan sikap Mama Shinta
“tulis nominal yang kamu butuhkan, saya akan cairkan” jawab Mama Shinta dengan angkuhnya
“maaf, tante. Saya tidak butuh ini” ucap Omar tegas
“saya tahu rasanya hidup di ambang kemiskinan. saat berada di jurang kemiskinan, kita tidak banyak pilihan. Bahkan, terkadang harga diri tidak masuk ke dalam daftar pilihan.” Ucap Mama Shinta
“tante, hanya karena tante pernah kehilangan harga diri, bukan berarti tante harus merendahkan harga diri orang lain. Bagi saya, uang tidak lebih penting dari harga diri itu sendiri. Kebutuhan saya pada uang tidak lebih besar dari harga diri saya” jawab Omar
Mama Shinta tertawa dengan elegant
“saya penasaran, sejauh mana kamu akan bertahan dengan prinsip harga dirimu itu” ucap Mama Shinta merendahkan
“semoga tante panjang umur untuk memantau dan menyadari definisi harga diri dari sudut pandang saya. Saya mohon pamit, tante. Salam” Omar beranjak dari kursinya dan meninggalkan Mama Shinta
Mama Shinta tersenyum tipis mendapat jawaban yang sangat berani dari Omar.
"makan tu prinsip" gerutu Mama Shinta
***
“kemana aja si, dari kemarin ditelfon ga diangkat” protes Alana pada Omar yang baru datang ke butiknya
“banyak lemburan”
“abis rokok berapa bungkus?
“dua”
“sehari”
“setengah hari” Omar menjawab dengan selengekan
“Omar, please”
“kenapa, Alana”
“kamu tahu itu ga baik”
“tapi itu baik untuk mentalku”
“kamu bisa mengalihkannya pada hal positif lain, Omar”
“Alana, let’s not talk about this, please”
“aku mengkhawatirkanmu, Omar”
“aku tahu apa yang terbaik untukku, khawatirkan dirimu sendiri” ucap Omar
“jangan membuatku sedih, Omar”
“hei! Kamu tidak bisa menggantungkan kebahagiaan pada siapapun termasuk aku. Aku akan mencoba membahagiakanmu sebisaku, tapi jangan pernah kamu gantungkan harapan sekecil biji sawi pun padaku, Alana. Bahagialah untuk dan olehmu sendiri. Berdirilah di atas kakimu sendiri. Bahagialah dengan apapun yang ada di depanmu!” Omar memeluk dan mengecup kening Alana yang menangis, entah karena apa
Di pelukan Omar, Alana terdiam tak mendebat apa yang dikatakan Omar. Kata-kata yang sulit dimengerti. Dalam pikiran Alana, ia hanya ingin waktu berhenti di detik ini. Ia ingin berlama-lama dipelukan Omar.
"aku ingin waktu berhenti"
"tidak bisa, Alana." jawab Omar melepas pelukannya dan duduk di sofa
"kenapa?"
"banyak anak kelaparan yang sedang menunggu nasi matang, bagaimana bisa kamu tega menghentikan waktu pada anak-anak yang kelaparan menunggu, banyak orang yang tinggal selangkah lagi menuju kebahagiaan harus ikut terhenti atas kemauanmu" Omar memaparkan alasannya
"bagaimana kalau kita hidup di luar waktu saja?" Alana berkata asal
“apa yang akan kita lakukan di luar waktu, siapakah yang akan kita ajak hidup di sana?”
“kita”
“hanya kita? Kamu dan aku?”
“ya”
“tidak bisa, Alana”
“kita butuh orang lain, kita butuh penjual es tebu, siomay, penjahit baju, dokter, penambang” Omar bercanda namun semua hal yang dikatakan benar juga, kita tidak bisa hidup tanpa orang lain.
“kamu benar”
“selalu” jawab Omar becanda dengan pongah.
"dasar" Alana mengacak-acak rambut Omar gemas
* * *
"kamu yakin dengan Alana?" ucap seorang wanita paruh baya di tengah makan malam bersama keluarga kecilnya
"yakin, ma" jawab Nicholas
"saya kenal betul siapa Shinta, dia adalah wanita ter - mata duitan yang pernah ada" ucap Mama Sonia
"Alana tidak begitu, ma" jawab Nic.
"apa kamu mencintainya?" Mama Sonia memastikan pada Nicholas
"ha ha peduli apa tentang rasa cinta, ma" jawab Nic seraya tertawa lepas
"apa rencanamu, Nic?"
"aku ingin menghancurkan keluarga itu, dan membuat Alana menderita"
"bagaimana kalau kamu malah jatuh cinta pada Alana"
"sekuat apa cinta itu, ma? apa ada yang lebih kuat dari dendam akibat sakit yang diderita mama?"
"Nic. kamu memang anak mama" ucap Mama Sonia bangga
"ada apa ini? serius amat obrolannya" ucap Papa Roy yang baru saja pulang dari kantornya
"hai sayang" ucap Mama Sonia membawakan tas dan melepas jas Papa Roy
Sikap Papa Roy yang selalu dingin pada istrinya, tidak memberi respon pada Mama Sonia.
"pah,.." ucap Nicholas
"gimana kantor hari ini?"
Nic dan Papa Roy melangsungkan obrolan yang sangat panjang malam itu, Mama Sonia sudah pamit untuk tidur lebih awal sekaligus memberi kesempatan ayah dan anak laki-lakinya melakukan deep talk.