48. | Fitting Baju dan Obrolan Via Gawai

1595 Words
“Siang, Bu, maaf kami telat.” “Akhirnya kalian datang. Chindai, cepat kamu ke toilet perempuan dan pakai gaun ini,” cecar Bu Fany sesaat Chindai dan Bagas baru memasuki UKS. “Bagas, kamu juga pakai ini di toilet pria.” Sejenak sepasang yang setia bergandengan itu terdiam serta melongo, sedangkan jemari terpantau saling meremas satu sama lain. Dilanjut bertatapan, berbicara melalui mata yang seakan sanggup menebak isi pikiran makhluk ciptaan Tuhan di sampingnya. Kemudian, keduanya mengangguk kecil. “Iya, Bu.” Bu Fanny tersenyum puas kala dua anak muridnya berjalan sesuai arahan dengan gaun serta jas formal berwarna senada di tangan masing-masing. Ia tidak kudet untuk mengetahui bagaimana terkenal sejumlah rumor heboh menyangkut dua remaja sejoli yang sedang bersiap-siap itu. Butuh waktu lima belas menit bagi Chindai mengenakan gaun biru dongker yang sangat cocok di kulit seputih susunya dibantu dua anak buah Bu Fanny. Ia menggigit bibir bawah, tak menampik rasa gugup, sementara yakin Bagas pun sudah selesai. Baik Bagas maupun Bagas tinggal menunggu panggilan. “Apa kalian siap, Bagas, Chindai?” Hanya Bagas yang menyahut dan Chindai mengangguk dalam diam dengan d**a yang berdebar-debar. “Silakan.” Selanjutnya, Chindai melangkah pelan keluar, yang kebetulan bersamaan Bagas pun melakukan hal serupa. Otomatis keduanya langsung berhadapan dan menjadi batu beberapa saat. Netra yang berdenyut sebab kagum, pun di dalam hati mensyukuri betapa menakjubkan makhluk ciptaan Tuhan di depannya. Jas yang melekat di tubuh Bagas menambah aura menawan dan tampan yang tak ada duanya. Ini lebih membikin anak gadis gemetar ketimbang laki-laki itu di balutan seragam sekolah rapi seperti biasanya. Aura dewasa Bagas malah terlihat sangat cocok dan masih saja memukau. Napas Bagas turut terhenti, berpusat pada gadis yang anggun memikat di balutan gaun tanpa lengan dan sedikit mengembang di bagian pinggul ke bawah amat indah di matanya. Chindai bak putri dalam dongeng, tinggal tambahkan sebuah mahkota kecil di saat acara. Ini pun lebih daripada sempurna. Senyum penuh kekaguman tak dapat ditutupi Bagas, enggan sekadar mengalihkan mata. Benar kata teman-teman; si manis berponi pagar amat memukau. Adapun Chindai yang tidak berkutik mengamati penampilan Bagas saat ini. “Ekhem. Kita bukan fitting baju pengantin, anak-anak,” goda Bu Fany mengercit geli melihat rona merah di pipi siswa-siswinya tersebut. “Masih mau bertatap-tatapan?” “Maaf, Bu.” Chindai beringsut mundur salah tingkah. Ia sekadar bisa menggaruk pipinya yang mendadak gatal karena melihat Bagas teramat santai dan menyeringai. “Ndai, gaunnya gimana?” Mendengar teguran Bu Fany kembali, Chindai agak tersentak sebelum mengulas senyum lembut sebagai bentuk terima kasih. Dress yang dipakainya mengembang dan sulit dibawa ke mana-mana. Namun, Chindai memutuskan mengangguk. “Pas, kok, Bu. Enggak ada yang kurang.” “Bukannya baju Chindai terlalu berat, ya, Bu?” sahut Bagas seakan mendengar isi pikiran Chindai. Ia tak tahu mengapa Inai-nya tidak berani berkata jujur. “Enggak, Bu. Gaunnya keren banget dan sangat pas di badan Chindai.” Menelaah Bagas meliriknya tajam, Chindai tidak kalah melotot agar laki-laki itu tidak banyak omong. “Terima kasih atas usahanya, Bu.” “Jadi, kalian setuju?” Bu Fany tampak sangat senang tepat saat Bagas dan Chindai mengangguk. “Besok giliran lainnya.” “Baik, Bu. Kalau begitu, kita permisi dulu.” “Saya belum bilang dari tadi. Kalian berdua cocok, lho.” Bagas dan Chindai diam menatap satu sama lain. Tidak terlalu lama, tetapi sukses mendebarkan d**a kedua belah pihak. Baik Bagas serta Chindai sesaat tidak bersuara dengan jemari bertautan—itu pun tak terencana. Butuh beberapa menit untuk keduanya kembali normal dan berdeham agar obrolan bisa balik santai. “Kenapa enggak jujur?” Bagas yang konstan penasaran sejak ngototnya Chindai mengatakan hal yang bertolak belakang, ia menengok gadis yang lebih pendek darinya itu. “Biar lo juga nyaman, Ndai.” “Kasihan, Kak Bagas. Beliau sudah berusaha keras, enggak mungkin repot urus punya gue doang. Semua anggota fitting dulu, baru gue ngomong lagi.” Bagas manggut-manggut paham, sehingga terjadi keheningan. Memancing berdebat pun tidak memungkinkan. “Kita balik ke ruang musik lagi, Kak?” Selanjutnya, Chindai tak tahan untuk tidak bersuara. Lapangan SMA Rajawali yang dilewati tergolong sepi tak terpakai. Chindai masih merasa sungkan meskipun Bagas selalu membuatnya nyaman dan terbiasa akan kebersamaan mereka akhir-akhir ini. Bagas terdengar menyanggah, sementara jari-jarinya menuntun Chindai mengarah ke parkiran. Ia tidak mau banyak omong. Akan tetapi, tatapan polos Chindai dan raut penuh tanda tanyanya memicu Bagas akhirnya mendesah pelan. “Gue tahu lo enggak nyaman di sana, makanya kita pulang.” “Tapi enggak enak sama Fattah, Kak, dia sendirian.” “Lo terlalu memikirkan orang banyak, Ndai. Terkadang diri sendiri lupa.” Tidak lama, senyum Chindai merekah seiring genggaman mereka mengerat di per sekian detik dirinya fokus mengimbangi langkah Bagas. Ia begitu menikmati saat-saat diberi kesempatan berinteraksi lebih bersama Bagas—sosok yang sudah lama dikagumi Chindai beberapa bulan terakhir. “Gue pulang sendirian aja, ya, Kak.” Namun, Bagas tidak menjawab apa pun, malah memakai helmnya. Suara motor membuat Chindai menggaruk tengkuk, sadar laki-laki itu marah karena ucapannya. “Kak—” “Naik.” “Kak.” “Naik, Chindai,” tutur Bagas tak terbantahkan Chindai setengah ragu memegang bahu Bagas demi memudahkannya menduduki kendaraan. Takut juga kejadian tempo hari terulang dan berakhir memicu malu. “Ayo, Kak, gue siap.” “Kalau lo berani tolak satu kali lagi, gue tinggal tanpa ngomong, Ndai.” Detik berikutnya, Bagas berkendara dengan kecepatan tinggi, sehingga Chindai refleks mencengkeram pundak laki-laki itu agar tidak berakhir mengenaskan. *** “Sebenarnya, seberapa dekat lo dan Bagas? Jawab, jangan sok-sok polos lo!” Sadar jika lagi-lagi ada yang menghubunginya dan menyeret nama Bagas sebagai objek obrolan, Chindai tidak tinggal diam. “Ini siapa?!” “Gue tanya, harusnya lo jawab.” “Enggak mau.” “Lihat aja nanti. Gue cuma minta lo jauhi Bagas. It’s so easy, right?” Chindai terkekeh sambil membenarkan posisinya agar nyaman, kepalanya pun tak henti bergerak ke kiri dan ke kanan karena geli atas panggilan tersebut. Hanya karena seorang Nathaniel Bagas Saputra dekat dengan gadis sepertinya, Chindai menjadi bual-bualan para kaum Hawa yang iri dengki. “Sayangnya, gue enggak mau. It’s not problem, right?” balas Chindai terkesan tak kalem dan justru balik menantang. “Kurang ajar!” “You.” Nomor tak dikenal yang membumbui percakapan dengan ancaman tak berfaedah itu cukup mengganggu. Bukan takut, Chindai kesal sebab menyangkut kenyamanannya. Tahu penyebabnya adalah Bagas dan ia tak mudah termakan gertakan. Chindai enggan membalas, meyakinkan diri bahwa orang iseng yang berani mengganggu. Tidakkah orang itu tahu kalau Chindai muak? Belum sempat benda persegi panjang tersebut terlempar ke atas kasurnya, kembali ada panggilan masuk—kali ini Rio—Chindai ingin membunuh manusia sekarang juga. Ia berakhir mengangkat di usaha Rio ketiga kali. “Ndai, jangan lupa keputusan lo, harapannya terima tawaran gue. Lo dan Bagas cocok banget dipasangkan jadi putra-putri sekolah.” “Bacot, Kak.” “Bacod pakai d. Bagas be like” Terdengar tawa puas Rio di seberang sana. “Gue hapal banget taktik lo, Dek. Cie, makin dekat sama doi.” “Bukannya ke balik, nih? Kemarin habis nge-post foto bareng, maksudnya apa?” “Iya, dong, hubungan gue dan Ify jelas banget, lho. Enggak kayak lo sama Bagas, Dek.” Rio di seberang sana tampaknya sengaja memainkan emosi Chindai. “Iya biar cepat.” Rio masih berusaha agar Chindai dan Bagas menerima tawaran mengikuti putra-putri sekolah. Mungkin akan berakhir ditolak sebab Chindai tak berniat sejak lama dan dirinya tidak mau Bagas kembali disibukkan tanggung jawab besar tanpa memedulikan diri sendiri. Ia sekadar kasihan. Arkian, secara mengejutkan sosok yang dipertimbangkan mengirim sebuah stiker di ruang obrolan sebagai jalan pertama pembicaraan berlanjut. Ini sudah tengah malam dan Bagas tiba-tiba juga menginginkan percakapan lebih dari sekadar berkirim pesan. “Capek.” “Ya, tidur, Kak Bagas,” balas Chindai seadanya oleh aduan—mirip rengekan anak bayi—Bagas yang terdengar. “Ngapain malah chat gue?” “Maunya tadi begitu, tapi lihat lo online … langsung melek mata.” “Bisa banget. By the way, enggak lagi ngambek, kan?” “Masih, dong, Inai.” Bagas kembali terpantau berdecak gereget. “Gue pikir lo merengek balik biar gue enggak marah. Eh, malah tambah dicuekin.” “Jangan ngambek, dong.” “Enggak.” Bagas tetaplah sosok yang ingin dipuji-puji agar senang, sehingga Chindai saat ini berusaha memutar kepalanya guna memikirkan cara ampuh meladeni engkah-engkahan laki-laki itu. Bagas yang terkenal wibawa di luar sana, entah kenapa mudah sekali untuk mencari perhatian seorang Chindai—si gadis cuek bebek. “Kak.” “Hem.” “I love you.” Lama yang dapat tertangkap oleh indra pendengaran hanya suara napas memburu dari masing-masing. Bagas terpantau tak mengeluarkan sepatah kata, tidak jauh berbeda dengan Chindai yang baru saja melakukan pengakuan terselubung. Sama-sama syok. Akhir-akhir ini hubungan keduanya memang makin lengket bak perangko. Bagas tidak malu-malu mendatangi Chindai—di kelas, kantin, ataupun di sisi mana pun dari lingkungan SMA Rajawali. Itu sebagai usaha mereda atensi sejumlah laki-laki yang tak berhenti meskipun tahu Chindai tengah dekat dengan Bagas. Sekarang … cokiber dan cekiber sekolah sedang menjalankan pendekatan khusus ke hubungan yang lebih tinggi. “Ndai …, Inai ….” “Nomor yang Anda tuju sedang tidur. Silakan hubungi besok.” Detik berikutnya, Chindai segera memutuskan sambungan telepon. Ia menggigit bibir bawahnya beberapa saat. Tidak cukup sampai di situ, tiba-tiba Chindai menerima satu pesan masuk yang sukses membuatnya membelalak. Siapa yang tidak kaget karena Bagas … mengirimkan sebuah emotikon berbentuk hati. Selalu saja seperti ini. Niat menggoda Bagas, justru nafsi yang terbawa perasaan sampai tulang rusuk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD