2. Tolong Lupakan Semua

1876 Words
"Mbak Sera!" seru Kinkin heboh seraya menaiki tangga, lalu bergegas menghampiri meja kerja Sera. "Kenapa, Kin?" tanya Sera datar. Jika biasanya Sera akan menanggapi kehebohan Kinkin dengan level setara, kali ini tidak. Sera hanya merespon datar, tanpa ekspresi, bahkan dia sama sekali tidak mengangkat wajah dari pekerjaannya. Kinkin segera berjongkok, lalu meletakkan dagu di meja kerja Sera. Mata berbinar-binar ketika berbisik, "Ada Mas Beau!" Mata Sera berkedip cepat, tetapi dia tetap setenang sebelumnya. Tangan Sera terus bergerak menggambar sketsa, entah benar-benar sedang fokus atau berpura-pura saja. "Kok, Mbak Sera enggak kelihatan semangat?" Wajah Kinkin tampak kecewa. "Mau apa dia datang?" gumam Sera dingin. "Mana Kinkin tahu, Mbak!" desis Kinkin sebal. "Mungkin mau ucapin selamat ulang tahun buat, Mbak," celetuk Jeje. Mata Kinkin langsung melebar. "Wah, kemajuan ini!" "Tolong bilang aja aku lagi banyak kerjaan," ujar Sera kaku. Sontak Kinkin dan Jeje saling berpandangan dan sama-sama mengucap, "Loh, Mbak?" Keduanya jelas tahu sebesar apa keinginan Sera untuk selalu bertemu dengan Keifer. Mereka sendiri telah menjadi saksi nyata betapa bahagianya Sera setiap kali habis bertemu dengan pria itu. Apalagi kalau Keifer sampai berkunjung, Sera bisa jumpalitan tidak karuan sebelum menemuinya. "Sepertinya kamu memang sengaja menghindari aku," ujar Keifer yang tiba-tiba saja sudah berada di lantai atas. Jeje yang peka terhadap situasi, segera menarik Kinkin agar berdiri, lalu melipir perlahan menuju tangga. "Mbak, kita ke bawah dulu ya." "Kenapa menghindari aku, Sera?" tanya Keifer heran melihat betapa kakunya sikap Sera saat ini. "Mau apa kamu datang?" balas Sera yang tetap mempertahankan akting sibuknya. "Sambutan kamu dingin sekali." Keifer menarik kursi terdekat, lalu membawanya ke depan meja Sera. Tatapannya tampak penuh selidik ketika bertanya lagi, "Ada apa dengan kamu?" "Aku hanya sedang banyak kerjaan." "Ini tidak seperti kamu yang biasanya." Sikap Sera mungkin terlihat tenang, tetapi suaranya terdengar bergetar dan Keifer menangkap hal itu. Sera memejamkan mata sejenak, lalu mengembuskan napas lelah. "Katakan saja, untuk apa kamu datang?" Keifer mengulurkan tangan untuk mengambil pensil dari tangan Sera. Namun, Sera segera menarik tangannya menjauh ketika jemari mereka bersentuhan. Hal itu tentu tidak luput dari perhatian Keifer. Janggal rasanya melihat Sera langsung menghindari sentuhan tidak sengaja itu. Biasanya Sera malah tanpa ragu-ragu sengaja melakukan kontak fisik dengan Keifer. Entah memegang tangan, merangkul pundak, bahkan memeluk pun Sera berani. "Ke mana kamu semalam?" tanya Keifer penuh selidik. "Kenapa tidak datang?" "Bukannya bagus kalau aku enggak datang?" balas Sera ketus. Keheranan Keifer makin bertambah. "Aku menunggu kamu sampai pagi, Sera." Sera menjawab tidak peduli, "Maaf kalau begitu." "Aku bukan mau mendengar permintaan maaf kamu, tapi beri tahu ke mana kamu semalam?" desak Keifer mulai jengkel. "Aku melewatkan waktu bersama teman aku." "Kamu sendiri yang bilang ingin ke apartemen aku." Sera mengembuskan napas lelah. Menunjukkan betapa terganggunya dia oleh pertanyaan-pertanyaan Keifer. "Setelah dipikirkan baik-baik, aku menyesali pikiran konyolku yang kekanakan itu dan memilih untuk batal saja." Rasanya Keifer tidak bisa percaya. Bukan dia tidak terima jika Sera tiba-tiba mengabaikannya, hanya saja Keifer merasa ada yang salah di sini. Oleh karena itu, Keifer kembali bertanya, "Kenapa tidak mengabari aku kalau memang kamu tidak jadi datang?" "Aku pikir kamu tidak akan peduli,” balas Sera dingin. “Biasanya juga seperti itu." "Apa kamu tidak ingin mendengar jawaban aku?" Untuk beberapa saat Sera tertegun. Jika saja ini terjadi beberapa hari yang lalu, tentu Sera akan menanti dengan berdebar-debar. Sayangnya, sekarang tidak lagi. "Aku sudah tidak berminat.” Mata Keifer terlihat benar-benar terkejut. “Kamu yakin?” “Aku sudah tidak ingin mendengar jawaban apa-apa lagi,” sahut Sera kecut. “Bagaimana seandainya aku memberi jawaban yang sesuai harapan kamu?” tanya Keifer penuh pancingan. Sera yang sejak tadi terus menatap ke arah buku sketsa, perlahan mengangkat wajahnya. Dia ingin menantang mata Keifer untuk melihat kesungguhan pria itu, tetapi dia tidak sanggup menatapnya terlalu lama. Sera kembali mengalihkan pandang. Rasanya terlalu malu untuk bertatapan dengan Keifer. Dia merasa dirinya tidak lagi pantas. “Aku sudah tidak mengharapkan apa-apa,” ujar Sera sendu. “Jadi, apa pun jawaban kamu, tidak ada bedanya lagi bagi aku.” “Kenapa kamu tiba-tiba berubah seperti ini?” Kebingungan Keifer sudah mencapai puncaknya. Bagaimana mungkin jawaban yang sudah Sera nantikan selama sepuluh tahun bisa dia abaikan begitu saja secara tiba-tiba? Sera tertunduk diam. Ingin rasanya dia menjerit marah, tetapi yang bisa dia lakukan hanya tetap bungkam. Jika ditanya apa yang membuatnya tiba-tiba berubah seperti ini, jawabannya hanya satu. Malam penuh nista itu sudah menghancurkan segalanya. Bayangan akan malam menjijikan itu belum juga mau berhenti berputar-putar dalam benak Sera. Dia masih bisa mengingat dengan jelas setiap detailnya. “Lepas!” Sera menjerit penuh kemarahan sembari mendorong tubuh Abram kuat-kuat setelah pemuda itu merampas kehormatannya dengan keji. Dia meraih pakaian koyaknya yang teronggok di lantai. Tubuh Abram terdorong cukup jauh. Dia memang sudah tidak mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan Sera lagi karena permainan telah usai. Abram bergeser dengan sukarela, lalu bersandar santai di seberang Sera sambil memandangi perempuan itu dengan seringai licik. Perlahan dia menyulut sebatang rokok, lalu menikmatinya. “Kenapa menangis?” tanya Abram dengan nada mengejek. “Mana Sera yang selalu galak dan penuh kuasa?” “Aku benar-benar benci kamu, Bram!” desis Sera penuh kebencian. Abram tertawa jahat. “Aku sudah bilang kamu akan menyesalinya, Sera.” “Kamu benar-benar menjijikan!” Sera menyambar pajangan kecil di meja dekat sofa tempat Abram menodainya, lalu melemparkan benda itu penuh kemarahan. Abram terkekeh dengan nada menghina ketika menghindari lemparan Sera. Niatnya untuk membiarkan Sera beberapa saat langsung batal. Dia kembali mendekati perempuan itu dan menguncinya di ujung sofa. “Jangan munafik dengan berpura-pura membenci apa yang baru saja terjadi di antara kita, Sera. Aku tahu kamu menyukainya,” ujar Abram seraya mencengkeram dagu Sera dengan kasar. “Kamu pasti akan segera meminta aku untuk mengulanginya lagi.” “Jangan mimpi!” Sera menepis tangan Abram dengan rasa jijik yang membuatnya seolah-olah nyaris terbakar. “Sampai kapan pun aku enggak akan pernah sudi disentuh oleh kamu lagi!” Abram mengepulkan asap ke wajah Seraya, lalu berkata dengan nada menghina, “Jangan berlagak jual mahal, Sera. Harga kamu enggak setinggi itu.” “Bukan aku yang akan menyesali ini, tapi kamu,” desis Sera marah. “Kenapa aku harus menyesal?” balas Abram dengan wajah mengejek. “Apa kamu pikir aku akan membiarkan kamu begitu saja?” ujar Sera dengan nada menantang. “Aku tidak akan membiarkan kamu lolos dari semua ini.” Abram mendengkus geli. “Kamu mau memperkarakan masalah ini?” “Aku bukan perempuan lemah,” balas Sera berani. Senyum meremehkan tampak di wajah Abram. “Apa kamu tidak malu?” “Untuk apa malu?” Sera menantang mata Abram tanpa gentar. “Bukan aku yang melakukan kejahatan dalam hal ini.” “Apa yang mau kamu adukan? Kekerasan, pelecehan, pemaksaan?” Abram balas menantang. “Kamu pikir siapa yang akan percaya dengan kamu?” Sera terdiam memikirkan pertanyaan Abram. Untuk membuktikan semua tuduhannya, dia harus memiliki bukti. “Lagi pula, aku enggak bodoh, Sera.” Abram tertawa licik, lalu kembali menyerang Sera dengan kata-kata menghina. “Aku punya sesuatu yang akan membuat kamu berpikir ribuan kali sebelum memperkarakan masalah ini.” Sera menatap Abram dengan perasaan waswas ketika pria itu mengambil ponsel, lalu memperlihatkan sesuatu kepadanya. Mata Sera langsung terbelalak melihat gambar mereka di layar ponsel Abram. Dia sama sekali tidak tahu jika Abram merekamnya. “Begitu kamu membuat laporan, video kita yang penuh kemesraan ini akan langsung beredar di media sosial,” ujar Abram penuh ancaman. “Kamu akan malu, tapi akan akan meraup banyak keuntungan.” Sera benar-benar dibuat tidak berkutik dengan semua ini. Dia termangu tanpa dapat bereaksi. “Kenapa diam saja?” tanya Abram sembari jemarinya menyusuri tengkuk Sera. “Mana kata-kata kamu yang biasanya pedas menyengat itu?” Abram begitu puas melihat Sera yang tidak berdaya seperti saat ini. Selama mereka berpacaran, selalu dia yang menjadi pihak tidak berdaya. Mengemis dan memohon perhatian serta waktu Sera. Sera menepis tangan Abram dengan jijik. “Biarkan aku pergi sekarang.” “Untuk apa buru-buru, Sayang?” Alih-alih melepaskan Sera, Abram malah mengungkung perempuan itu. Satu tangan Abram merampas pakaian yang Sera gunakan untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Dia membantingnya ke lantai dengan kasar. “Masih terlalu pagi untuk berpisah. Aku masih mau bersama kamu belasan jam lagi dan mengulang adegan-adegan penuh tantangan tadi.” Namun, kali ini Sera tidak akan menyerah dengan mudah. Dia menendang Abram kuat-kuat sampai pemuda itu terjungkal dari sofa, lalu segera berlari ke arah pintu. Sayangnya Abram juga tidak berniat melepaskan Sera dengan mudah. Dia menyambar kaki Sera sehingga perempuan itu terjerembap. Saat terjatuh, Sera membentur meja dan membuat lampu di atasnya terbanting ke lantai. Cepat-cepat dia mengambil besi penyangga lampu yang telap patah itu, lalu mengarahkannya kepada Abram. “Jangan coba-coba mendekat!” seru Sera gemetaran. Abram terperanjat melihat patahan besi runcing itu mengarah ke wajahnya. “Hei, mau apa kamu?” “Kamu pikir aku enggak akan berani menusuk kamu?” tanya Sera menantang. Perlahan Abram melepaskan kaki Sera, duduk dengan hati-hati, lalu mengangkat tangan tanda berdamai. “Sera, tenang dulu.” Namun, saat Sera lengah, Abram langsung menerjang perempuan itu. Dia menindih Sera, merampas besi di tangan perempuan itu, lalu melemparnya jauh-jauh. “Argh!” jerit Sera frustrasi. Abram mencekal kedua pergelangan tangan Sera di atas kepala seraya tertawa mengejek. “Aku tahu kamu berani, tapi sayangnya aku jauh lebih kuat dan cerdas dibanding kamu.” Abram kembali mengulangi perbuatan kejinya terhadap Sera. Bukan hanya dua kali Abram melakukannya, melainkan sepanjang malam. Sera sampai nyaris pingsan karena sakit yang mendera sekujur tubuh. Abram memperlakukannya dengan sangat kasar dan menyiksa Sera tanpa ampun. Lebam tampak di sana sini. Lewat tengah malam akhirnya semua kegilaan itu berakhir. Sera berhasil melarikan diri ketika Abram tertidur. Dia berjalan tanpa arah meninggalkan studio Abram. Sera tidak berani menghubungi keluarganya karena dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan apa yang sudah terjadi. Satu yang terpikir dalam benak Sera, dia harus menuju rumah sakit. Perempuan itu terus berjalan kaki sambil menahan sakit di sekujur tubuh karena sudah tidak ada kendaraan yang beroperasi saat ini. Namun, sebelum mencapai rumah sakit terdekat, tubuhnya ambruk ke jalan. Sera terbaring di dinginnya jalanan malam dengan pandangan yang mengabur. Beruntung tidak jauh dari sana, seorang ibu penjual penganan malam melihat Sera terjatuh. Segera saja dia memanggil beberapa penjual lain untuk memeriksa kondisi Sera. Melihat seorang perempuan muda terbaring dalam kondisi menyedihkan dengan pakaian berantakan dan koyak di sana sini, tanpa ragu mereka segera membawanya ke rumah sakit yang berjarak hanya sekitar 100 meter lagi. Sera tidak ingat bagaimana dia ditolong, tetapi keesokan paginya perempuan itu terbangun di ranjang rumah sakit. Semalaman dia menjalani perawatan dan pagi ini Sera baru saja meninggalkan rumah sakit. Dia segera kembali ke Accentuate begitu meninggalkan rumah sakit agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tidak lupa Sera mengabari ayah ibunya bahwa dia menginap di rumah teman, sehingga Evrard dan Aubrey tidak curiga meski dua malam putri mereka tidak pulang. Semua ingatan itu membuat Sera merasa sesak. Belum lagi rasa jijik yang menderanya begitu hebat. Saat ini juga Sera memantapkan hati untuk mengambil sebuah keputusan yang telah dia pikirkan sejak kemarin. Dia memberanikan diri menatap mata Keifer, lalu berujar tenang, “Keif, maaf kalau selama sepuluh tahun ini aku sudah menggangu kamu. Aku benar-benar minta maaf atas semua sikap konyol aku yang membuat kamu merasa tidak nyaman. Mulai sekarang, tolong lupakan saja semuanya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD