Seseorang Dalam Hati Karen

1204 Words
“Masya Allah, cantik sekali kamu Nduk,” mata Ibu berbinar ketika Karen keluar dari kamar dan melangkah makin dekat. “Mirip siapa ya kalau cantik gini?” ledek Karen sambil memainkan alis naik dan turun. “Mirip Ayah ya?” “Sembarangan, ya mirip Ibu lah,” ibu berkacak pinggang. Ia memang selalu tidak terima kalau kecantikan putrinya dibilang mirip ayah. Kulit ayah hitam sementara ibu putih bak putri keraton. Dan Karen mewarisi kulit putih itu. “Tuh kan, warna ini pas banget dengan warna kulit kamu.” Ibu memberi kode pada Karen untuk berputar ke kanan dan kiri seperti yang ia lakukan di depan cermin tadi. “Cantik banget nduk, pasti Nak dokter bakal kepincut sama anak ibu,” “Tuh kan ‘Nak dokter’ lagi, siapa sih? Aku kenal juga gak,” “Nanti juga kamu bakal kenal.” Ucap Ibu sambil merapikan gunting dan benang yang masih berserakan di atas mesin jahit. “Sudah sekarang kamu ganti baju lagi. Kasih ke ibu kebayanya. Besok mau ibu antar ke tukang payet.” Karen menurut. Kembali ke kamar mengganti kebaya itu dengan baju yang semula Ia pakai dan menyerahkannya kembali sesuai perintah ibu. “Bu, ini serius?” tanya Karen sekali lagi sambil menyerahkan kebaya yang sudah dilipat rapi. “Menurut kamu?” “Ya aku kan nanya Bu,” “Memang Ibu kelihatan sedang bercanda?” “Gak sih,” Karen menggeleng sambil memperhatikan ekspresi wajah ibu. “Lagian sejak kapan Ibu bercanda kalau bicara soal jodoh kamu? Sudah, pokoknya kamu manut saja. jangan kebanyakan mikir. Terima beres.” “Tunggu … tunggu Bu,” Karen mulai gelagapan. “Gak bisa begini dong Bu, ini sudah jaman millennial. Malu lah masa aku dijodohin?” “Malu?” nada Ibu sedikit meninggi. “Lebih malu Ibu yang setiap hari dengar ocehan tetangga sama keluarga besar Mbah mu yang terus-terusan nanya kapan Ibu mantu.” Perkataan ibu barusan membuat Karen merenung sejenak. Ia sandarkan tubuh pada sandaran sofa di dekat mesin jahit ibu. ‘Apa mungkin aku yang terlalu egois? Aku menutup telinga dari omongan orang tanpa memikirkan perasaan orang tuaku’. Batin Karen. “Memang kapan pertemuan itu?” tanyanya setelah menghela napas panjang. “Tiga bulan dari sekarang.” Ibu mengulanginya. Karen tergugu. Tak tega lagi mau membantah atau berkilah. Ibu memang seperti sahabat baginya. mereka biasa bercanda, bercerita dan membagi hal apa saja. tapi kali ini ia merasa terlalu lancang untuk merespon ini dengan sebuah candaan. “Kamu siap kan Nduk?” Ibu mempertegas. Tak ada kalimat yang bisa Karen ucapkan. Tiga bulan dari sekarang bukanlah waktu yang lama. Mana mungkin Karen menolak jika ia tidak punya alasan kuat. Pasti itu akan sangat menyakiti hati ayah dan ibu. ‘Andai aku bisa mengutarakan alasanku yang sebenarnya … ah, terlalu mustahil. Kalau pun aku mampu mengatakannya, mungkin ibu akan menertawakan alasan itu. Tapi tadi ibu sempat menantangku untuk memperkenalkan calon pilihanku. Asalkan memenuhi kriterianya’. Batin Karen lagi. “Kalau aku sudah punya calon gimana Bu?” tanyanya asal. “Sejak kapan?” mendadak ibu melotot. “Eng, se-jak ….” “Hayo, mengarang cerita supaya lamarannya dibatalkan?” “Bukan Bu, bukan.” Buru-buru Karen membantah terkaan ibu. “Se-sebenarnya, eng ….” “Kalau kamu benar sudah punya calon, buktikan sama ibu dan ayah. Bawa ke sini. Ibu mau lihat dia serius atau tidak? Jadi perempuan jangan mau dikasih harapan yang gak jelas. Apa itu namanya anak sekarang suka bilang, P … PHP!” ibu lagi-lagi nerocos tanpa ampun. “lagi pula apa salahnya kamu menerima lamaran dari anak Pak Sumarmo? Dia seorang dokter. Dari keluarga terpelajar, dan sudah kenal baik dengan Ayah. Ibu sama Ayah akan sangat bangga punya mantu dokter.” Lanjut Ibu. Karen mengunci mulut rapat-rapat. Pikirannya berlarian entah kemana. “Kalau calon pilihanmu sendiri sekarang profesinya apa?” pertanyaan ibu membuat Karen makin kebingungan. “Hmm? Apa?” desak ibu ingin tahu. Bagaimana mungkin Karen bisa menjawabnya, sedangkan keberadaan pria yang tertinggal dalam hatinya saja ia tidak tahu. Karen memang belum pernah sekalipun memperkenalkan ayah dan ibu kepada seseorang yang statusnya sebagai kekasih. Sejak di bangku kuliah, hingga lulus. Aku belum pernah dekat lagi dengan seseorang. Semua orang mengira Karen sibuk dengan segala cita-cita dan ambisinya dalam hal pekerjaan. Iya, memang ada benarnya. Tapi ada satu rahasia di dalam hati yang belum pernah ia ceritakan pada ibu. tentang mengapa selama ini ia masih sendiri. Karen bukan orang yang mudah jatuh cinta. Ia tidak mudah begitu saja tertarik pada seseorang. Hanya ada satu nama yang hingga kini tertinggal di hatinya. Mungkin terdengar bodoh bagi logika wanita dewasa berumur tiga puluh tahun. Tapi memang ini yang Ia rasakan …. “Aku … belum tahu apa profesinya sekarang Bu,” jawab Karen lirih. “Lho? Katanya punya calon? Kok gak tahu profesinya apa?” ibu heran. “Dia seseorang yang aku kenal sudah lama sekali. Tapi aku kehilangan kontaknya.” Perlahan Karen memberanikan diri menjelaskan sedikit-demi sedikit pada ibu. Obrolan ibu dan anak ini berubah serius. “Coba ceritakan yang jelas. Siapa yang kamu maksud calon pilihanmu itu,” pinta ibu. Meski terkadang ibu begitu bawel ikut-ikutan ayah mendesak putrinya mencari jodoh, Karen yakin ibu akan paham perasaannya jika ia mau terbuka. “Dia cinta pertamaku Bu,” ucap Karen setelah menghela napas panjang. “Cinta pertama?” “Iya, namanya Aga. Agastya.” “Dimana kamu mengenal Nak Aga?” tanya ibu yang mulai kelihatan mau merespon. “Waktu SMA Bu,” “Lalu apa maksud kamu tadi bilang sudah lama tidak kontak? Sudah berapa lama? Waktu kuliah kalian satu kampus gak? Kok gak pernah cerita sama Ibu?” naluri bawel ibu rupanya tidak dapat diredam. “Aku gak satu kampus sama dia Bu. Terakhir, aku tahu kabar dia sewaktu dia lulus SMA. Dia kakak kelasku.” Karen begitu ragu mengatakan hal ini. Ibu benar-benar melotot. Ia tiba-tiba memainkan jemarinya seperti orang yang sedang berhitung. “Ya Allah Karen, tahun berapa dia lulus SMA? Berarti dia lulus sebelum kamu kan? Itu sudah lama sekali.” Nada ibu meninggi. “Terus kamu sama sekali gak tahu kabar dia setelah itu?” Karen hanya mengangguk. Suasana berubah hening. “Bagaimana bisa kamu memendam perasaan pada seseorang begitu lama? Dan sampai sekarang kamu masih mengharapkan Nak Aga? Apa karena itu alasan kamu selama ini tidak pernah dekat dengan siapapun?” “Iya Bu,” jawab Karen tanpa berani menatap wajah ibu. “Karen, dengar Ibu,” kali ini ibu benar-benar terdengar serius. Tangannya diletakkan di kedua bahu Karen. “Pernikahan bukan melulu soal cinta. Lelaki yang baik agamanya, baik akhlaknya, bertanggung jawab, itu yang utama. Kamu bertahun-tahun mengharapkan seorang Aga yang kamu tidak tahu dimana keberadaannya. Kalau memang dia memiliki perasaan yang sama dengan kamu, pasti sudah sejak lama dia juga berusaha mencari kamu. Kamu sudah dewasa Karen, kamu harus bisa membedakan mana lelaki yang pantas jadi suami dan mana yang cuma cinta monyet masa SMA.” Sekian detik Karen membisu. Bibir kelu tak dapat berucap. Perasaannya memang terlalu tak masuk logika. Tapi hati tak dapat dipungkiri masih bergejolak. Setidaknya ia hanya ingin diberi sedikit kesempatan untuk menjawab tanya yang menahun tak terjawab di hatinya …. Bersambung .... siapa sih cinta pertamanya Karen?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD