2. Pawang

1675 Words
Suasana minggu sore ini cukup sejuk, tak terlalu panas atau pun terlalu dingin seperti kemarin, saat Moko harus berangkat pagi karena mengantarkan Senorita manggung di Solo. Moko sengaja mengosongkan jadwal pekerjaannya tiap dua hari dalam satu minggu, dan kali ini jatah liburnya jatuh pada hari Minggu dan Senin. Karena itu ia memutuskan untuk mencuci bersih mobilnya setelah digunakan perjalanan jauh, sehingga keesokan harinya ia benar-benar bisa menghabiskan waktu kosongnya terlelap di atas tempat tidur. Belum selesai dengan kegiatan memandikan mobil kesayangannya. Telinga Moko harus diganggu oleh deringan ponsel yang berkali-kali berbunyi minta perhatian. Panggilan pertama dan kedua sengaja ia abaikan karena jarak ponselnya yang terlalu jauh dari jangkauan. Namun di panggilan ketua mau tak mau ia terganggu juga, hingga akhirnya ia mematikan menghentikan aktivitasnya. "Apaan sih Cak? Ribut banget." sentak Moko ketika tau yang menghubunginya adalah Cakra, drummer terbaik yang dimilikinya. "Risa nih rese' dari, masa dia dari semalem nginep di Seruni, gak mau pulang. Jemput gih, matanya udah bengkak kayak bola tennis." Seruni adalah nama cafe milik keluarga Cakra, karena kedekatan mereka sebagai personil di band yang sama. Moko dan anggota yang lain sering menghabiskan waktu di cafe tersebut ketika libur dari kegiatan manggung seperti ini. Tapi sangat jarang juga hingga menginap jika tak ada hal yang benar-benar genting. "Ngapain tuh bocah, bukannya semalem dia jalan jama Bimo abis dari Pijar?" "Gak tau, diem mulu pas gue tanya. Tau-tau nangis, jemput gih cepetan, elo kan pawangnya. Dari tadi Gissa udah telpon gue nanyain kakaknya terus." "Gissa? Pantes dari tadi dia juga hubungi gue juga." Gissa ini adalah adik bungsu Risa. Risa sendiri adalah sulung dari tiga bersaudara yang semuanya adalah perempuan. "Ya udah, sepuluh menit lagi gue berangkat ke sana." lanjut Moko sebelum akhirnya menutup panggilan dari Cakra. Tak mau mengulur waktu, Moko segera mengunci pintu-pintu rumahnya dan bergegas menuju cafe Seruni. Bahkan pria tegap itu tak mengganti bajunya terlebih dahulu, dengan percaya dirinya ia hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut dan kaos polos berwarna hitam. Hanya membutuhkan waktu kurang dari tiga puluh menit untuk sampai di tempat yang dimaksud Cakra tadi. Begitu sampai di cafe, beberapa pegawai yang sudah mengenal teman-teman dekat Cakra langsung mempersilahkan Moko untuk masuk. "Mana Icha?" tanya Moko pada Cakra yang sedang membantu sang kakak di meja kasir. "Di tempat biasa." Cakra mengangkat telunjuk kanannya yang mengarah keatas. Tempat biasa yang ia maksud adalah rooftop cafe yang biasanya hanya dibuka untuk umum ketika malam hari. "Oke gue langsung ke sana ya." "Mau dibawain minum sekalian Ko? biar dibikinin anak-anak." kali ini Rina yang bersuara, kakak Cakra yang tengah hamil lima bulan itu memang bertugas mengelola keuangan cafe. "Boleh mbak cantik, yang biasanya ya." jawab Moko seraya melebarkan senyum pada wanita ramah tersebut. "Beres, jangan lupa bawa tissue, kayaknya mood Risa lagi gak oke deh. Dari tadi nangis terus, gak tega mbak ngeliatnya." lanjut Rina lagi. "Okeh mbak." Menyambar tissue yang berada di ujung meja, Moko bergegas naik ke lantai atas melewati tangga di samping meja kasir. "Cha." panggil Moko ketika melihat Risa melamun dibalik meja bundar. Tangan kanannya yang semula memegang selembar kertas, buru-buru ia sembunyikan dibawah meja ketika mendengar suara Moko. "Elo Ko, pasti Cakra deh yang ngasih tau kalau gue disini." Risa berdecak sebal, karena niatnya ingin menyendiri tak bisa berjalan dengan lancar. Moko yang mendengar hanya mengangkat kedua bahunya acuh. "Dasar tukang ngadu." gumamnya lagi, lantas melipat asal kertas ditangannya tadi kemudian memasukkannya ke dalam tas selempang disebelahnya. "Tapi dia nggak ngadu kalau elo habis nangis sampe mata Lo segede itu." telunjuk Moko menunjuk tepat di depan hidung Risa. Risa memutar posisi duduknya sedikit membelakangi Moko demi menyembunyikan sesuatu yang ia pegang tadi. Setelahnya ia cepat-cepat menghapus jejak basah di kedua pipi putihnya. "Kenapa?" tanya Moko pelan, pria itu mengambil tempat duduk disebelah Risa.. "Nggak kenapa-kenapa?" Risa membuang muka, berharap sahabatnya ini tak bisa membaca ekspresinya. "Dan Lo berharap gue percaya gitu aja? Cha kita kenal bukan setahun dua tahun ya, gue kenal elo dari jaman orok, hampir 28 tahun gue kenal siapa Risa Ayuning Prabahita, bahkan gue tau ukuran bra yang elo pake sekarang." ucap Moko terang-terangan hingga membuat Risa menoleh lagi padanya. "Mulut Lo lemes banget mamas Moko." cibir Risa dengan wajah sebal. "Halah... Gak usah centil panggil mamas mamas segala, cepet cerita elo kenapa? Semalem ngapain nginep disini? Tidur dimana Lo?" cecar Moko tanpa mengindahkan tatapan tak suka dari gadis bermata sendu di hadapannya. "Cakra udah bilang kan kalau gue nginep sini, gue tidur di kamar kosong sebelah kamar Bu Ayu." Bu ayu yang di maksud adalah salah satu sepupu Cakra yang ikut mengelola cafe, yang memang setiap harinya ia menginap di kamar yang disediakan di lantai satu. "Kenapa gak pulang?" "Males." "Karena?" kejar Moko, ia memajukan kursi yang didudukinya demi melihat lebih dekat wajah sembab Risa. "Males aja, Gissa juga tukang ngadu, yang ada malah dia ngadu ke mama papa." "Terus kenapa gak pulang ke rumah gue, biasanya kalo Lo males Lo langsung hubungi gue, langsung nginep di rumah gue?" selidik Moko lagi tak ingin melewatkan sedikitpun keadaan yang sedang dialami Risa. "Karena gue tau, Lo bakal cerewet kayak gini kalau tau gue nangis semalaman." Risa menaikkan suaranya. "Dan elo nangis semalaman karena..." tuntut Moko semakin mendekatkan wajahnya ke arah Risa, ia tau sahabatnya itu kini sedang memendam sesuatu, karena semakin tampak dari kedua netranya berkaca-kaca. "Gue putus sama Bimo. Gue putusss....!!!" Risa berteriak lantas menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Gadis itu menangis tersedu dihadapan sahabat yang paling ia percaya. Jelaslah sekarang yang menjadi penyebab Risa kacau seperti ini. Dan itu semua karena Bimo, kekasih yang berencana akan melamarnya bulan depan. Bahkan Risa sudah sesumbar pada keluarga besarnya di Jakarta bahwa bulan depan Bimo akan datang pada mereka dengan membawa kedua orangtuanya. Namun nyatanya... Moko hanya bisa terdiam melihat Risa yang menumpahkan air matanya. Perlahan, ia meraih kedua bahu Risa dan menarik gadis itu dalam pelukannya. Moko memeluk erat Risa yang semakin terisak diatas dadà bidangnya. "Sstt.. ssstt... tenang dulu Cha. All is well... all is well. Berarti dia emang laki-laki bego yang udah melewatkan cewek semanis Lo. Dia yang rugi Cha. Percaya deh sama gue." Moko mengusap pelan punggung Risa. "Tapi gue, tapi gue..." Risa tak sanggup melanjutkan kalimatnya karena desakan air matanya semakin deras. Dadanya ikut sesak saat melampiaskan semua emosinya di depan Moko, sahabat terbaiknya. "Elo cinta banget ya sama si Bimo? efeknya sampe kayak gini ternyata." Moko berkata lirih di atas puncak kepala Risa. Moko tak menyangka Risa bisa begitu lemah karena berakhirnya hubungannya dengan seorang Bimo, yang menurutnya memang tak pantas untuk bersanding dengan Risa. Apalagi ketika mengingat ia pernah melihat Bimo jelas-jelas berjalan mesra dengan perempuan lain ketika Risa sedang mengkhawatirkan keadaannya. Risa menggeleng pelan mendengar pertanyaan dari Moko. "Nggak gitu Ko." lirihan pelan keluar dari bibir mungil Risa. Sungguh, ia menangis tersedu seperti ini bukan karena terlalu cinta dengan Bimo, tapi karena alasan Bimo yang meminta putus darinya. Alasan yang membuatnya merasa begitu kerdil sebagai seorang perempuan. Kenyataan yang membuatnya begitu malu untuk menghadapi dunia lagi. "Kalau elo gak cinta banget, kenapa bisa sekacau ini? Hmm..." ujar Moko lagi. "Gue hanya butuh pelukan Ko, please jangan bawel dulu untuk saat ini. Nanti elo juga akan tau alasan gue kacau seperti ini." merasakan usapan tangan Moko di sepanjang punggungnya, entah mengapa selalu membuat Risa merasa jauh lebih baik dan lebih tenang. Moko tersenyum mendengar keluhan dari sahabat cantiknya ini. "Siap nyonya." tangan Moko berpindah mengusap rambut Risa yang kini berwarna kecoklatan. Warna yang sangat cocok dengan wajah putihnya. Setelah butuh beberapa menit untuk Risa menyembunyikan wajahnya di dàda Moko, tiba-tiba ia sedikit menarik kaos yang digunakan Moko hanya untuk mengusap air matanya. "Elo cantik-cantik jorok banget sih Cha, udah gue bawain tissue juga. Ngapain pake kaos gue buat nge-lap air mata elo." protes Moko. Risa mendengkus sebal sambil memanyunkan bibirnya. "Gak tiap hari juga Ko." Risa menepuk dadà Moko dengan tangan kanannya. "Katanya elo temen terbaik gue? Gini doang dah kebanyakan protes Lo pak." tak mengindahkan peringatan dari Moko, Risa semakin menjadi-jadi menggunakan kaos yang dikenakan Moko untuk mengusap wajah basahnya. Moko tersenyum semakin lebar, ia lega setidaknya Risa sudah mulai tenang meski masih berusaha menahan tangisnya. "Iya.. iya.. apa sih yang enggak buat elo Cha, dunia juga bakalan gue kasih." "Halah.... ngomong gitu tuh sama Kinkin, jangan sama gue. Gak mempan." Risa menjauhkan wajahnya demi merapikan penampilannya yang sedikit berantakan. Kinkin adalah panggilan untuk Kinara. Gadis cantik yang dulu menjadi rekannya bernyanyi di Senorita band. Gadis yang sempat membuat si kaku Herpinda Moko jatuh hati, sekaligus membuat Moko patah hati karena cintanya bertepuk sebelah tangan. "Gak mempan juga sama Kinkin, ya kali aja sekarang mempannya sama elo Cha. Dari dulu elo doang sih cewek yang bisa gue taklukin." Moko terkekeh kecil. "Diih, mana ada?" Risa berdiri setelah membawa tas kecilnya lagi. "Elo berani bawel sama gue doang karena gak ada cewek lain yang tahan sama sikap kaku Lo yang sebelas dua belas kayak kanebo kering pak." Moko terbahak melihat perubahan mood Risa dari yang menangis tersedu hingga sekarang bisa mengomel lagi padanya. Pria jangkung itu merasa bangga bisa merubah suasana mendung di hati sahabatnya ini. "Dah ah, yuk pulang. Elo kesini buat jemput gue pulang kan?" sambung Risa. "Ya iyalah, masa jemput Lo buat ke pelaminan?" saut Moko ikut berdiri. "Iiishh... Amit-amit deh naik ke pelaminan sama elo, bosen tau." Risa mengibaskan sebelah tangannya. "Diih, amit-amit juga deh, siapa juga yang mau? Bosen dari lahir udah tiap hari liat elo Cha." saut Moko. "Eeh.. awas aja dari dari amit-amit elo malah amat-amat jatuh hati sama gue." canda Risa sembari menunjuk hidung hidung mancung Moko. "Mau elo aja mah kalo itu." Moko merangkul bahu sahabatnya, membawa Risa untuk turun ke lantai satu dan hendak mengantarnya pulang. "Jangan bosen jadi temen hidup gue ya Ko, kayaknya cuman elo deh yang bisa bikin gue tenang lagi kayak gini." ucap Risa saat berjalan berdampingan dengan Moko. "Yaa kan emang dari dulu gue yang bisa jadi pawang tiap elo sedih Cha." "Ya pokoknya jangan bosen ya jadi pawang gue." Risa semakin menguatkan pelukannya pada lengan Moko. "Gak akan bosen nyonya." jawab Moko sambil mengacak rambut gadis di sebelahnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD