3. Take Care

1593 Words
Setelah berhasil membujuk Risa untuk pulang, Moko benar-benar membawa gadis itu untuk mampir sejenak ke rumahnya. Sekedar untuk membersihkan diri dan berganti baju. Karena Risa tak mau langsung pulang dengan keadaan kacau, bisa-bisa Gissa— adiknya, akan mengadu yang tidak-tidak pada kedua orang tua mereka di Jakarta. Iya, selama di Rembang Risa hanya tinggal berdua dengan Gissa, setelah nenek mereka meninggal dunia dua tahun lalu. Sudah berkali-kali orang tuanya meminta Risa untuk kembali tinggal di Jakarta, namun Risa menolaknya dengan alasan masih sangat betah tinggal di rumah peninggalan sang nenek. Sampai di rumah Moko, Risa langsung melemparkan tas selempangnya ke atas sofa di ruang tengah. Gadis itu lantas berjalan masuk ke kamar mandi dengan membawa baju ganti yang selalu ia bawa. Rumah Moko yang sering dijadikan markas berkumpulnya anggota Senorita band, membuat Risa sudah terbiasa berada di rumah itu. Sejak di perjalanan tadi, Moko banyak memperhatikan setiap ekspresi Risa. Entah kenapa ia merasa sedang melihat sisi Risa yang lain, Risa yang sedang terpuruk lebih tepatnya. Namun gadis itu bersikeras untuk menutupi masalah yang sedang dihadapinya dengan topeng berupa senyum dan tawa. "Elo tetep gak mau cerita sama gue nih Cha?" "Tentang?" Risa berjalan pelan ikut duduk di sebelah Moko yang sedang memindahkan makanan yang mereka beli ke piring saji. "Yang bikin elo kelihatan terpuruk banget, kata Lo bukan karena Bimo nya. Tapi karena hal lain. Hal lain apa?" "Gue belum siap buat cerita lebih jauh Koko Moko, please. Suatu saat elo bakal tau juga kok, tapi jangan sekarang, gue belum sanggup." Risa duduk bersila di sebelah Moko yang sudah membawa dua piring nasi briani lengkap dengan samosa untuk mereka berdua. Pria itu dengan cekatan menata makanan untuknya dan Risa. Sedangkan Risa membuka botol minuman soda dengan ukuran besar dan menuangkannya ke dalam gelas kecil. "Berat banget emang?" "Buat cewek sih iya, bikin gue pengen gantung diri. Tapi entah lagi kalau buat cowok." Risa menunduk dengan pandangan kosong. Tangannya sibuk mengaduk makanan di depannya. "Husssh ... mulutnya ya, gantung diri gantung diri pala lo peyang." sentak Moko tak percaya. Mereka berdua akhirnya hanya makan dalam diam, sampai sama-sama kekenyangan. "Gue udah nyipain makan, gantian elo yang cuci piring Cha." titah Moko pada Risa yang hendak beranjak dari karpet ruang tengah. "Iya tau pak, tau ..." Risa melengos dan kembali berbalik untuk mengambil tumpukan piring bekas makanan mereka. Saat menyadari sahabatnya itu sudah menghilang di dapur, Moko dengan cekatan mengambil tas kecil yang tadi dilemparkan Risa ke atas sofa. Gegas pria tampan itu mengambil amplop putih berlogo salah satu rumah sakit swasta dan membuka kertas yang sedikit kusut didalamnya. Berburu dengan waktu, Moko tak mau ambil pusing jika terpergok Risa sedang lancang mencari tau tentangnya. Ia langsung mengambil ponsel yang tak terlalu jauh dari jangkauannya dan memotret dua lembar kertas di tangannya. Setelahnya ia cepat-cepat melipat kertas tersebut, memasukkan ke dalam amplop dan mengembalikannya ke tempat semula. Setelah dirasa cukup aman, Moko kembali duduk di sofa tunggal yang menghadap ke arah dapur, agar ia tau jika Risa sudah selesai dengan aktivitasnya. Dengan gestur seolah-olah sedang berselancar di dunia maya, Moko mengamati hasil jepretan di galeri ponselnya. Memicingkan mata beberapa saat, akhirnya Moko menyadari apa yang membuat Risa banjir air mata sejak dilihatnya tadi. Mengambil nafas panjang Moko mengunci ponsel dan meletakkannya di atas meja kecil di sebelah sofa. Ia berjalan pelan menuju dapur tempat Risa sedang membersihkan piring-piring mereka. "Udah selesai," Risa menepuk telapak tangannya yang basah beberapa kali. "Sekarang anterin gue pulang, Gissa pasti udah cerewet banget nungguin gue." lanjut gadis cantik itu. Moko mengangguk, lalu dengan gerakan cepat ia menarik Risa ke dalam pelukannya. Entah kenapa ia merasa begitu emosional saat ini, terutama setelah mengetahui apa yang sedang disembunyikan oleh sahabatnya itu. Menumpukan dagunya di atas puncak kepala Risa adalah satu-satunya hal yang dilakukan oleh pria jangkung itu. "Kenapa?" suara Risa terdengar seperti cicitan tikus di atas d**a bidang Moko. "Lagi pengen peluk elo aja Chacha cebol." jawab Moko sekenanya. "Ckk ... kasian banget, kelamaan jomblo sih lo koko Moko." Risa menepuk pelan punggung Moko. Demikian juga dengan Moko yang semakin mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping Risa, satu-satunya sahabat yang selalu ingin ia lindungi sejak kecil dan sampai kapanpun. "Udah ah ... pelukan mulu dah kayak teletubbies. Yuk pulang, gue musti bantuin Gissa packing nih." "Packing?" Moko mengurai pelukannya dan menatap lurus pada iris bening Risa. "Besok lusa kan gue nganterin Gissa ke Malaysia Ko, pasti lupa deh lo. Gissa kan masuk USM." Aaah ... iya, hampir saja Moko lupa bahwa adik bungsu Risa itu baru saja lolos masuk salah satu universitas bergengsi di Malaysia. Dan karena Gissa paling dekat dan selalu paling dimanja oleh Risa, gadis itu memaksa kakak sulungnya untuk mengantarnya hingga ke Malaysia. "Ahh ... bener juga? ortu lo emang udah berangkat?" tanya Moko sekarang benar-benar melepaskan pelukannya dari Risa, namun kedua tangannya masih setia menggenggam kedua telapak tangan Risa. "Mama sama Papa berangkat besok, nyiapin tempat tinggal buat Gissa dulu. Jadi lusa gue langsung ketemu mereka di sana." "Lusa berangkat jam berapa sih pesawatnya?" "Pagi, gue lupa jamnya. Pokoknya sebelum jam delapan gitu deh." Risa mengambil lap bersih di atas kulkas dan mengeringkan tangannya dengan cepat. "Lusa gue anterin lo berdua, subuh gue jemput ya." pungkas Moko. *** "Koko Moko." "Hmmm..." Pagi ini Risa dan Moko sedang duduk berhadapan di cafe yang terdapat di dekat pintu terminal keberangkatan bandara yang akan dilalui Risa dan Gissa untuk ke Malaysia. Gissa, mengambil tempat duduk yang berbeda dengan kakaknya karena sedang sibuk berpamitan dengan teman-temannya lewat sambungan telepon. Penerbangan Risa masih satu setengah jam lagi, jadi ia memilih menghabiskan waktunya sebelum check in untuk menikmati secangkir minuman hangat dengan sahabatnya terbaiknya ini. "Gue di Malaysia tiga hari." Risa memasukkan satu cube brown sugar ke dalam kopinya yang masih mengepulkan asap panas. "Sepulang dari Malaysia gue ke rumah mama di Jakarta." Ayah kandung Risa yang asli Rembang meninggal sejak Risa masih berusia remaja. Beberapa tahun setelahnya, ibu Risa menerima pinangan dari seorang pengusaha sukses dari Jakarta dan ikut serta tinggal di sana dengan adik keduanya, Mita. Sedangkan Risa dan Gissa memutuskan menetap di Rembang bersama nenek mereka di rumah peninggalan almarhum sang ayah. "Gue mau bilang ke Mama Papa kalau gue," Risa terlihat mengambil nafas berat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Gue batal tunangan sama Bimbim. Semalem gue denger dari Mita kalau mama udah mulai beli baju buat persiapan tunangan gue. Gue ... gue ... gue gak mau mama semakin kecewa jika sudah terlalu banyak mempersiapkan sesuatunya." Moko mengambil salah satu tangan Risa di atas meja, ia genggam erat-erat tangan tersebut berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan untuk menenangkan hati gadis tersebut. "Butuh gue temenin ngomong sama Mama?" tawar Moko. Mengingat kedekatannya dengan Risa yang sudah berlangsung puluhan tahun, tak ayal ia juga sudah terbiasa memanggil ibu Risa dengan sebutan 'Mama'. "Gue bukan anak TK lagi Koko Moko, gue wanita dewasa yang bentar lagi umur dua puluh delapan tahun. Masa ngomong gitu aja perlu pengawal." Risa tersenyum kecil seraya mengaduk kopi hitamnya. "Lagian, emang elo mau ke Jakarta lagi demi gue?" lanjutnya lagi. "Kenapa enggak? Gue punya tempat tinggal di sana, gue juga punya beberapa studio musik di Jakarta. Setidaknya gue gak akan jadi gembel kalau tinggal di sana." jawab Moko terkekeh dengan pongah. Risa yang sedang menyeruput kopinya seketika terhenti. Ia letakkan kembali cangkir kecil itu di atas meja. "Sombong anda ya pak." gerutu Risa melihat membuat Moko tergelak kencang. Tak bermaksud sombong, tapi memang itulah kenyataannya. Moko yang sejak kecil tinggal di Rembang bersama ibu serta nenek dari pihak ibu, memang memiliki beberapa aset di Jakarta. Sebagai anak tunggal, semua aset peninggalan almarhum ayahnya yang mantan pejabat kejaksaan sudah diatasnamakan Moko. "Bukannya sombong Cha, tapi emang fakta kan. Lagian kalo Lo beneran butuh gue di sana. Gue pasti langsung berangkat ke Jakarta. Langsung." Moko kembali memusatkan perhatiannya pada Risa yang hari ini tampak lebih pucat dari biasanya, entah karena tak memakai riasan wajah atau memang karena kondisinya yang kurang baik. Risa melepaskan tangannya dari genggaman Moko untuk berganti menepuk-nepuk punggung tangan Moko. Gadis itu lantas menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "I'll take care of it by myself, Koko Moko. Lo cuma harus support dan percaya sama gue seperti biasanya." "Kapan sih gue pernah ninggalin lo Cha, never. Sampai kapanpun gue bakal setia support elo. Dengan satu syarat." Moko mengangkat telunjuknya ke udara. Risa mengernyitkan dahi sesaat. "Jangan pernah nangis lagi, jangan pernah buang sia-sia air mata elo buat cowok kaleng-kaleng macem Bimo." ucap Moko tegas. "Hmmm... sudah deh gak usah bahas Bimbim lagi. Bikin males. Udah waktunya gue sama Gissa check in nih." Risa lalu berdiri setelah memanggil sang adik. Gadis itu lantas menyandang tasnya, diikuti oleh Moko yang membantu menyeret koper besar milik Gissa hingga ke pintu keberangkatan. Moko memeluk tubuh ramping Risa dan melabuhkan kecupan ringan di kedua pipi gadis itu. "Safe flight ya cantik." "Hmm.. kamu juga hati-hati nyetirnya ya. Thanks udah dianterin." jawab Risa. "Mbak Risa doang nih yang dikecup-kecup? Padahal yang bakalan di luar negeri lama aku looh." si centil Gissa ikut bersuara sambil mengerucutkan bibir. "Elaaah ... dek, sini sini." Moko ikut mengulurkan kedua tangannya mendekati Gissa yang merajuk. "Betah-betah di sana ya dek, kuliah yang bener, gak boleh pacar-pacaran sebelum lulus." pesan Moko sambil mengacak rambut remaja itu. "Diih gak adil, mbak Risa udah pacaran bolak-balik sejak SMA, masa aku gak boleh." "Ya makanya jangan dicontoh dek, ambil yang baik-baiknya aja. Yang bolak-balik pacaran jangan ditiru." sela Risa. "Udah buruan berangkat jangan ribut." Moko menengahi dua saudari itu. Selepas Risa dan Gissa menghilang dari hadapannya. Moko mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Jemarinya bergerak lincah mencari satu nama yang akan ia hubungi dan ia ajak bertemu. Bimo. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD