4. Lebih Berat

1348 Words
Moko masih menekuri layar ponselnya demi mengirimkan pesan pada Bimo. Ia sengaja mengajak Bimo bertemu untuk memastikan sesuatu yang sejak dua hari ini mengganjal hatinya. Sampai satu suara kecil terjaring pendengaran pria tampan itu. "Eeh ... Ada om gondrong." Moko menoleh dan tersenyum ramah pada Shania, putri sambung Kinara yang masih saja memanggilnya dengan sebutan 'Om Gondrong', meskipun ia sudah memotong cepak rambutnya. Menanggalkan image gondrong yang bertahun-tahun ia sandang dengan pongah. "Haii cantik." sapa Moko ramah mendekat pada Shania dan juga Kinara yang ikut tersenyum padanya. "Salim om." Shania mengulurkan kedua tangannya sambil melompat-lompat kegirangan. "Pinter banget sih, anaknya siapa?" Moko mengulurkan tangan kanannya yang langsung disambut oleh Shania. "Masa om lupa sih, aku kan anaknya papa Aji sama mama Wenny." "Hai mamas Moko, kebetulan banget kita ketemu disini." suara lembut Kinara yang langsung mendapat perhatian Moko. Gadis yang sempat membuat Moko jatuh hati itu merealisasikan janjinya untuk memanggil Moko dengan sebutan 'mas', bukan lagi langsung panggilan nama seperti sebelumnya. "Hai Nar, iya nih tadi nganter Icha." "Risa? kak Risa maksudnya?" Moko mengangguk cepat. "Iya, dia nganter adeknya kuliah ke Malaysia." "Ooh si bungsu Magissa itu bukan sih?" tebak Kinara yang lagi-lagi diangguki Moko. Dulu setiap saling menatap dan berbicara santai dengan Kinara, Moko selalu merasa laju jantungnya seolah bekerja lebih cepat. Tapi kali ini, Moko tak merasakannya lagi. Mungkin benar kata teman-temannya, waktu akan menyembuhkan luka, termasuk luka karena patah hati. "Kamu deket banget sama Risa sekarang ya mas?" tanya Kinara lagi. "Dari dulu lah, udah deket dari orok Nar, kamu lupa." ucap Moko lantas terkekeh. "Eh.. iya sih, kalian deket udah dari jaman bayi ya, emang Bimo kemana? Kenapa gak ikut nganter kak Risa?" "Hmmm ... Mereka udah putus." jawab Moko santai. "Serius?" pekik Kinara sambil membelalakkan mata. "Iya serius." "Bukannya mereka mau tunangan ya kabarnya?" selidik Kinara lagi. "Ya otomatis batal lah Kinar, kan putus. Misteri jodoh, gak ada yang tau." jawab Moko seolah berbicara pada dirinya sendiri. Kinara, gadis yang dulu namanya selalu ia sematkan dalam doa, kini berjalan disebelahnya, makin cantik dengan aura keibuan yang mulai terpancar. Sayang, ia memilih menjadi ibu dari anak pria lain yang dulu tak pernah Moko sangka sama sekali. Buncah asmara yang dulu Moko selalu rasakan setiap berdekatan dengan Kinara, lenyap entah kemana. Moko sendiri heran dengan yang sedang ia alami, rasa untuk Kinara benar-benar hilang ditelan waktu. Bahkan kini di benak pria itu hanya ada satu nama yang selalu mengusik hatinya. Risa. "Aku duluan ya mas Moko." pamit Kinara lagi setelah Moko membantunya menggendong Shania hingga parkiran. "Yoi, hati-hati Nar." Moko melambaikan tangan sekilas sampai mobil Kinara menghilang dari pandangannya. Moko lantas menuju mobil yang terparkir di sisi timur bandara. Ingin segera bertemu dengan Bimo yang baru saja membalas pesannya. *** Menjelang makan siang, Moko berjalan pelan menuju Coffee shop tempat ia akan bertemu dengan Bimo. Pria itu mempercepat langkahnya ketika melihat bayangan Bimo dari balik pintu kaca. "Nunggu lama bro?" Moko menepuk punggung Bimo yang tengah duduk sambil menikmati lemonade di tangan kanannya. "Barusan aja Ko, deket sini juga." Bimo memutar tubuhnya sekilas untuk menyambut sahabatnya itu. Pria itu memamerkan senyum lebarnya, terlihat sekali sedang berbahagia. Berbanding terbalik dengan kondisi Risa, mantan kekasihnya yang bermuram durja. Kenapa Bimo sama sekali tak tampak sedang patah hati setelah putus dari Risa? "Lo sibuk banget kayaknya Bim, sampe susah dihubungi. Kalah deh presiden." lanjut Moko setelah memesan espresso pada pramusaji yang mendekat padanya. "Ya gitu deh Ko, ada urusan di Solo." Bimo mendesah pasrah. "Nyokap Lo?" Moko pernah mendengar selentingan kabar bahwa ibu Bimo selalu berlagak manja jika putra tunggalnya itu mulai jarang pulang ke rumah mereka di Solo. Sebagai anak satu-satunya tentu saja Bimo tak bisa menolak kehendak sang ibu jika mulai merindukan kehadirannya. Sang ibu hanya tinggal berdua dengan sang suami,tentu saja sering merasa kesepian jika Bimo lebih sibuk dengan teman-teman dan juga hobby bernyanyi nya. "Iya, siapa lagi deh Ko. Cuma nyokap yang bisa bikin gue rela bolak balik Rembang Solo." "Kenapa lagi?" "Biasalah, minta mantu." jawab Bimo seraya mengetuk-ngetukkan ujung telunjuknya di atas meja. "Ya udah buruan resmiin sama si Icha." Moko bersikap seperti tak mengetahui tentang kandasnya hubungan antara Bimo dan Risa. Menembak Moko dengan tatapan serba tahunya, Bimo dengan santai merespon. "Ckk ... elo pura-pura banget deh. Gak guna." Berdehem singkat, Moko mengangguk pelan ketika pramusaji mengantarkan minuman pesanannya. "Mengingat hubungan lo sama Risa yang udah kayak perangko, gak mungkin banget Lo gak tau tentang hubungan kami. iya kan?" sambung Bimo tersenyum miring. "Tau lah. Ngetest elo doang gue mah." Moko ikut tersenyum sambil melirik pria keturunan Jawa dan Arab itu. "Nggak cocok elo mah ngetest-ngetest gue segala." saut Bimo tersenyum miring. "Bim, I have something to ask." akhirnya Moko memutuskan untuk menanyakan hal yan mengganjal di hatinya. "About Risa?" "Hmm.." Moko mengambil nafas panjang. "Meski Risa tetap tutup mulut, tapi gue tau alasan kalian putus. Yakin karena itu kalian putus?" Moko menjeda lagi kalimatnya. Sekilas ia mengingat ketika melihat Bimo berjalan mesra dengan seorang gadis di depan Lippo beberapa waktu lalu. "Gue gak bermaksud ikut campur sih, cuma, apa ya ... gue cuma gak habis pikir aja, kalau elo tega minta putus karena hal itu. Bukannya elo cinta banget sama Icha?" "Tapi ternyata cinta aja gak cukup Ko, elo lupa gimana orang tua gue? Nyokap terutama. Apalagi gue anak tunggal di keluarga, otomatis mama berharap banyak tentang keturunan dan segala macamnya nanti. Sebelum semuanya semakin jauh, gue yang ngajak Risa test ke rumah sakit... dan yaah lo tau sendiri hasilnya." Bimo menurunkan kedua bahunya lemas. Wajahnya menunduk menatap gelas ramping yang sengaja ia tenggak separuh. "Sebelum terlambat dan nantinya Risa semakin terluka. Mending gue minta udahan aja sama Risa." lanjutnya lagi. "Setidaknya kan kalian bisa berjuang dulu, jaman sekarang udah maju Bim. Kalian bisa usaha dengan cara apapun." Bimo menggeleng cepat. "Gue yakin sama keputusan gue Ko. Please hargai." Moko mengangguk pelan, ia paham memang bukan kapasitasnya untuk terlalu jauh mencampuri urusan asmara antara Risa dan Bimo. Setelahnya, Moko dan Bimo sama-sama terdiam dan asik berkelana dengan pikiran masing-masing. Ingatan Moko seketika ditarik ke kejadian dua hari lalu. Malam hari setelah ia mengantarkan Risa pulang, dengan seksama ia memeriksa galeri ponselnya lagi. Beberapa jemarinya bergerak lincah untuk memperbesar hasil jepretannya pada kertas berlogo rumah sakit yang Risa sembunyikan tadi. Ternyata isinya adalah hasil dari pemeriksaan kesuburan yang menyatakan bahwa Risa mengalami infertilitas atau kemandulan. Test seperti ini memang kerap dilakukan oleh pasangan yang akan merencanakan hubungan yang lebih serius yang menjurus ke pernikahan. Namun Moko tak menyangka Bimo dan Risa melakukan test tersebut, padahal hubungan mereka berjalan belum sampai satu tahun. Segera menghapus foto-foto yang ia ambil, Moko meremas ponselnya dengan erat. Akhirnya ia tau apa yang menjadi penyebab sahabatnya itu menangis seharian. "Woi.. ngelamun aja, ponsel lo tuh." ujar Bimo mengendikkan dagu ke arah ponsel Moko di atas meja. Ponsel tersebut berkedip-kedip dan bergetar minta perhatian. Risa : gue udah nyampe di bandara Kuala Lumpur, lagi nunggu jemputan mama. Moko tersenyum membaca pesan dari Risa. Ia memang meminta Risa untuk mengabarinya ketika sampai di Malaysia. Moko : Good. Salam buat mama papa. Risa : Oke. Moko : kok gue udah kangen sama elo ya Cha? Risa : Basi. Baru juga berapa jam lalu ketemu. Cari pacar sono, elo serem kalau kelamaan jomblo. Moko : elo aja kenapa sih yang jadi pacar gue? Selang beberapa detik, Moko baru menyadari kalimat terakhir yang terlanjut ia kirimkan pada Risa. Ia sendiri tak mengerti kenapa jarinya refleks mengetik pesan tersebut. Risa : Insane..!! Tidur sana, kebanyakan begadang ternyata bikin otak lo geser ya. Mengusap layar ponselnya pelan, Moko diam-diam merasa lega karena sahabatnya itu masih bisa fasih mengumpat meski suasana hatinya sedang tak baik-baik saja. "Ko," panggil Bimo membuat Moko mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. "Gue berencana menetap di Solo. Yang artinya.. gue gak bisa jalan bareng lagi sama kalian. Senorita maksudnya." "Udah yakin?" selidik Moko langsung diangguki oleh Bimo. "Baguslah kalau begitu.." jawab Moko santai lantas berdiri hendak meninggalkan Bimo yang mematung melihat responnya. "Gitu aja?" Bimo menaikkan salah satu alisnya. "Elo gak keberatan kehilangan gue dari Senorita?" "Nope." Moko memaksakan senyum lantas berkata. "Karena gue lebih berat kehilangan Icha dari apapun." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD