5. Tak Pernah Bosan

1995 Words
“Bukannya kemarin lo bilang cuma tiga hari di Malaysia?” Moko mengerucutkan bibir kemudian melirik jam digital di sebelah jendela kamarnya. Memandangi keluar kamar yang sudah sangat sepi lengang karena memang hari sudah hampir tengah malam. Hampir pukul dua belas malam, jelas saja kalau jalanan di depan rumahnya sudah sangat sepi, hanya sesekali terlihat petugas keamanan perumahan yang berkendara pelan untuk menjaga keamanan di lingkungan tempat tinggalnya. “Ini udah lima hari Ca … elo kapan baliknya sih?” sambung Moko lantas berjalan pelan menuju pintu geser di balkon kamarnya yang masih terbuka, menutupnnya rapat lantas duduk di tepian tempat tidurnya. Meratapi kesepiannya selama beberapa hari ini tanpa kehadiran Risa yang biasanya ribut merecokinya. “Sabar sih Koko Moko Herpinda Moko kesayangan aku.” jawab Risa dengan suara serak. “Emang kenapa sih elo molor di sananya? jangan bilang elo nemu gebetan baru ala-ala sultan Malaysia terus bikin elo klepek-klepek jatuh cinta ya.” tuduh Moko tak berdasar sama sekali. “Pikiran lo aneh-aneh kalo kelamaan jauh dari gue ya, Ko.” terdengar kekehan pelan dari seberang sana. “Ya elo-nya juga gak ada kasih kabar, gimana gue bisa tau coba. Dari kemaren aja susah dihubungi, ini aja kalau bukan gue yang telpon duluan, mana mungkin elo hubungin. Iya kan?” Moko memilih berbaring terlentang, memandangi langit-langit kamarnya sambil sambil mendengarkan suara Risa yang berada jauh berkilo-kilo meter di sana. “Gue mendadak demam, Ko. Gue gak bisa kasih kabar juga karena tepar banget ini, sumpah pusing banget kepala gue tadi.” Demam? Moko sontak menegakkan lagi duduknya dan bersandari di sandaran tempat tidur. Raut wajahnya tiba-tiba berubah cemas ketika memikirkan sahabat terbaiknya itu sedang terkapar sakit sendirian di negeri orang. “Tapi tenang aja, gue udah mendingan, tinggal flu doang.” imbuh Risa lagi masih terkekeh pelan. “Demam? lo demam dan masih sempat-sempatnya cengengesan?” Tak menunggu lama, Moko segera mengubah panggilannya ke mode panggilan video demi bisa melihat langsung kondisi Risa yang katanya tengah tak enak badan. “Dih, gercep banget nih bapak satu ya?” seru Risa begitu melihat wajah cemas Moko di layar ponselnya. “Gue udah enakan kok, gak usah sok khawatir gitu.” “Gue bukannya sok khawatir,” elak Moko menghembuskan napas kasar. Tapi gue memang khawatir banget Risa, sambung pria itu hanya mampu ia utarakan dalam hati. Risa terlihat tersenyum tipis di sana, wajahnya masih sedikit pucat. Bibirnya terlihat kering dan sedikit memutih. Di leher gadis itu tersampir syal tebal yang dulu diberikan Moko ketika mereka berdua melihat festival jazz di Bromo. “Elo dimana?” tanya Moko ketika melihat ruangan di sekitar Risa yang Nampak asing. “Masih di hotel, kan gue batal balik Indo. Jadi masih stay di sini.” “Sama mama papa lo kan? Gissa juga?” tanya Moko begitu tak sabaran. “Nggak lah, mama sama papa udah balik dari dua hari lalu. Gissa udah masuk asrama, udah sibuk dia.” “Jadi lo sendirian aja?” kejar Moko mendekatkan wajahnya ke depan layar ponsel. Jujur, pria itu sangat tau kalau Risa tak terbiasa tinggal seorang diri, karena kadang diderasa ketakutan yang hanya ada di pikirannya. Dimanapun tinggal, setidaknya ada satu orang yang menemani gadis itu. Ketika di Rembang, Risa selalu satu kamar dengan Gissa sang adik, ketika ada show di luar kota, Risa selalu satu kamar dengan Kinara atau Ayu, rekan sesama vocalisnya. Atau jika tidak ada teman sesama perempuan, Moko lah yang selalu menjadi pawang untuk menemani Risa hingga gadis itu tertidur nyenyak. “Elo sendirian Ca?” ulang Moko ketika Risa hanya terdiam sambil mengeratkan syal di lehernya. “Iya.” jawab Risa singkat padat jelas. “Berani?” tanya Moko sanksi. “Ya menurut lo?” Risa memutar bola matanya malas. “Kenapa nggak ngajak Gissa nginep bareng dulu?” “Dia masih mahasiswa baru, Ko. Kegiatannya padet banget.” “Terus elo siapa yang ngerawat?” cecar Moko. “Gue bukan anak TK lagi. Gue bisa ngurus diri sendiri kok. Lagian gue udah minta tolong pegawai hotel buat beli obat-obatan.” “Ckk.. nggak yakin gue kalau elo bisa ngurus diri sendiri.” Moko langsung turun dari posisi rebahnya di tempat tidur, berjalan cepat untuk mencari sesuatu di laci meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Setelah mencari beberapa menit, akhirnya pria itu menemukan dokumen-dokumen perjalanan yang ia cari. “Ya udah, ya udah, elo buruan tidur sana. Istirahat yang banyak biar cepet sembuh, cepet pulang.” ucap Moko begitu melihat sorot mata Risa yang kelihatan memerah karena didera rasa kantuk. Risa mengangguk pelan. “Hmm, gue tutup dulu ya Koko Moko. Sweet dreams ….” “Hmm ... sweet dream Ca.” gumam Moko lirih ketika melihat wajah Risa yang mulai memejamkan mata. Di Indonesia saja sudah hampir pukul dua belas malam saat ini, apalagi di negeri jiran sana yang waktunya lebih cepat satu jam dari pada di tanah air. *** “Sebentaaaar!!” suara seorang gadis terdengar lemah dari balik pintu kamar hotel pagi menjelang siang hari itu. Pemuda yang berdiri di depan pintu kamar tersebut tersenyum miring lantas mendesah pelan setelah mendengar suara tersebut. Sudah beberapa menit ia berdiri di sana dan mengetuk pintu tanpa ada respon, setidaknya setelah mendengar suara sahabatnya, ia bisa merasa sedikit lega. “Siapa sih pagi-pagi ganggu aja, perasaan gue nggak ada pesen layanan hotel deh ….” gerutu si gadis masih setengah sadar saat membuka pintu kamar hotel yang ditempatinya selama beberapa hari ini. “Ini udah hampir siang nona cantik,” jawab pria dengan suara berat yang berdiri menjulang di depannya. Risa sontak mengangkat wajah untuk memastikan lagi sosok yang tengah tersenyum manis ini. Mengucek beberapa kali kedua mata kantuknya, Risa akhirnya yakin kalau pria dengan rambut cepak dan mengenakan jaket kulit yang berdiri di depannya adalah benar-benar sahabat yang baru semalam mengobrol dengannya lewat sambungan telepon. Herpinda Moko. “Mo- Mo- …” “Mon maap gue masuk aja langsung ya, kelamaan nunggu elo sadar.” guntung Moko sambil mengulurkan tangannya menyentuh kening Risa yang masih melongo melihat kedatangannya. “Kok, elo udah di sini aja pagi-pagi Ko?” menggaruk pelan rambutnya, Risa mengekor di belakang Moko setelah menurunkan telapak tangan pria itu dari keningnya. “Gue takut elo pingsan sendirian, terus nggak ada yang tau, Ca.” jawab Moko santai. Pria itu lantas meletakkan tas ranselnya di sofa tunggal dekat dengan jendela besar kamar hotel Risa. “Mak- mak- maksud gue? ngapain elo jauh-jauh nyusul gue ke Malaysia, Ko?” Risa ikut duduk di sebelah Moko. Masih dengan syal dan sweater tebalnya, gadis itu mendesak Moko agar sedikit bergeser agar ia bisa ikut merebahkan diri. “Masih belum jelas juga?” Moko malah balik bertanya. Lagi-lagi memeriksa kening Risa dengan punggung tangannya, kini Moko malah perlahan melepaskan syal tebal yang melingkar di leher Risa. Setelah Syalnya terlepas sempurna, tangan pria itu kembali menyentuh di beberapa titik dekat leher Risa. “Badan lo masih anget gini, berarti elo belum pulih bener Risa Ayuning Prabahita, astagaaaa….” decak Moko sama sekali tak mengindahkan rasa penasaran yang sangat kentara di wajah sahabatnya. “Ko..” Risa menatap Moko dengan tatapan sayu tanpa tenaga. “Buruan ganti baju yang bener, kita ke dokter.” titah Moko bangkit berdiri menuju koper yang diletakkan Risa begitu saja di sebelah tempat tidurnya. “Baju bersih lo masih ada kan?” pria itu sudah hafal dengan koper merah maroon milih Risa, jadi ia langsung membuka dan mengacak isinya. “Baju yang lo pake itu udah basah keringat gitu.” sambung Moko melirik sekilas ke arah Risa yang masih terdiam tak bersemangat. “Ko, gak usah lebay … gue minum paracetamol juga pasti sembuh.” Si manja Risa dan keras kepalanya. Untungnya Moko sudah sangat paham dengan sahabatnya itu, jadi pembelaan apapun yang Risa katakan untuk menghindari dokter tak ia gubris sama sekali. Sejak kecil dokter sudah menjadi momok sendiri bagi seorang Risa, karenanya lah gadis itu selalu enggan jika harus memeriksakan diri ke dokter. “Mau ganti baju sendiri atau gue gantiin?” ancam Moko ketika menoleh dan mendapati Risa masih belum beranjak kemana-mana. “Ckk, awas aja kalau sampai disuntik. Gue suruh dokternya nyuntik elo juga.” dengkus Risa saat berjalan pelan ke arah kamar mandi. Sambil menunggu Risa berganti pakaian, Moko menghubungi pihak hotel agar menyediakan mobil dan supir untuk mengantar mereka ke dokter terdekat. Dan, tak sampai tiga puluh menit kemudian, dua sahabat itu sudah sampai di salah satu klinik di Pandan Prima. “Tekanan darah istrinya sangat rendah pak, terlalu lelah juga sepertinya.” seru dokter jaga yang bernama Azizah tersebut kepada Moko yang dikiranya suami Risa. “Tapi dia bukan sua—” jawaban Risa tiba-tiba disela oleh dokter yang baru saja memeriksanya. “Pasangan baru kahwin ke? ke Malaysia nak honeymoon ya?” tanya dokter berkacamata itu lagi dengan senyum tipis. Logat melayunya yang bercampur dengan bahasa Indonesia terdengar kacau sekali di telinga Risa dan Moko. Risa mendesah pelan, sambil menggeleng tak percaya. Andai tubuhnya tak sedang lemas karena sakit seperti ini, pasti mulut cerewetnya sudah mencecar dokter ini habis-habisan. “Hah? Honeymoon dari ma—?” “Bapak yang sabar dulu je, setelah istrinya sehat betul baru ajak honeymoon lagi. Sekarang pastikan istri bapak minum obat yang saya resepkan ini tepat waktu dulu, biar lekas pulih.” si dokter Azizah mengulum senyum sambil melirik bergantian sepasang muda mudi di depannya, saat menyerahkan selembar resep dokter ke tangan Moko. “Tapi dok, saya tuh—” “Baik dok, saya akan pastikan istri saya minum obatnya tepat waktu.” kali ini Moko yang menyela kalimat Risa sambil tersenyum lebar pada sang dokter hingga kedua matanya menyipit bersamaan. “Astaga Mo—” “Tuh dengar sendiri kan istriku, sekarang jom kita pulang, minum obat, banyak istirahat sampai istriku lekas pulih.” Moko gegas menggunting lagi kalimat Risa meskipun gadis itu sudah susah payah mendelik sinis pada sang sahabat yang sengaja menimpali kesalahpahaman si dokter tadi. “Mari dok, terima kasih.” pamit Moko menoleh sekali lagi pada si dokter. “Sama-sama, lekas pulih ya.” dokter tersebut mengangguk singkat. Merangkul pundak Risa dengan sangat erat, Moko tak ingin sahabatnya ini tiba-tiba ambruk karena semakin senewen dengan kalimat Moko yang sengaja mengerjai dirinya. “Aah elo deh Ko, dokternya salah paham bukannya dilurusin malah ditanggepin.” lirih Risa saat menyadarkan kepala ke pundak Moko ketika mereka dalam perjalanan kembali ke hotel. “Mengaminkan doa baik dari orang apa salahnya sih Ca,” jawab Moko tanpa menoleh pada Risa. “Kan tadi dokternya doain elo biar cepet sehat.” “Tapi dia ngiranya gue istri lo.” suara Risa semakin mengecil seiring dengan kedua matanya yang perlahan menutup karena mengantuk lagi. “Emang elo nggak mau jadi istri gue?” tanya Moko sekedar penasaran. Bukannya menjawab, Risa malah balik bertanya. “Emang elo nggak bosen ngabisin hidup sama gue lagi gue lagi sejak jaman masih bayi?” “Kalau gue bosen ngapain gue bela-belain nyusul elo ke Malaysia pas elo ngedrop gini sih Ca? Kalau gue bosen ngapain juga maksa-maksa elo ke dokter sampe segitunya coba?” jawab Moko dengan nada tenang. Moko meraih pergelangan tangan Risa yang bebas lalu menepuknya pelan. Meski kulit Risa masih terasa hangat karena demam yang belum sepenuhnya turun, setidaknya Moko lega karena sudah tau penyebab sakit sang sahabat dan sudah mendapatkan obatnya. “Entah kenapa akhir-akhri ini gue malah bosen kalau sehari aja nggak denger suara bawel lo Ca, gue bosen kalau di sekeliling gue gak ada aroma badan lo yang kadang-kadang bau bedak bayi.” sambung Moko terkekeh samar. “Gue sih berharap elo nggak bosen juga sama gue Ca,” masih suara Moko yang terdengar di sekitar mereka. “Ca.. Ca…” panggil Moko pelan. Tak mendapatkan jawaban, Moko sedikit menolehkan kepalanya. Pria itu malah tersenyum tipis kemudian mengusap pelan kening sahabat baiknya yang ternyata sudah berpindah ke alam mimpi. “Kenapa hati gue jadi kebat-kebit gini kalo deket elo ya Ca?” gumam Moko pelan pada dirinya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD