Ruangan apartemen itu tenggelam dalam keheningan. Lampu kuning di sudut hanya menebarkan cahaya redup, cukup untuk menyingkap bayangan lembut di dinding yang bergoyang pelan setiap kali angin malam menyelinap lewat celah jendela. Centia sudah tertidur di ranjang, meringkuk sambil memeluk guling erat-erat. Napasnya teratur-berat, namun tenang. Seolah dunia luar tak lagi mampu mengusiknya. Jo masih di tempat yang sama, duduk di lantai bersandar pada sisi sofa. Ponselnya tergenggam di tangan, jempolnya bergerak lambat di atas layar. Dari posisiku, aku bisa melihat wajahnya dari samping-serius, tenang, jauh berbeda dari Jo yang tadi begitu banyak bercanda di lantai dansa. Keheningan itu terasa panjang-terlalu panjang. Hanya suara detak jam yang samar terdengar di antara kami. Hingga akhirnya

